Seluruh mata yang berada di ruang makan serentak tertuju ke arah Ajeng saat perempuan itu menyampaikan usulnya.“Alexa siapa, Jeng?” tanya Megan ingin diperjelas.“Sahabat aku, Mi. Dia juga kerja sebagai sekretaris di perusahaan pacarnya, tapi mereka putus. Karena ngerasa nggak enak dia resign dari sana. Radev kenal kok sama dia,” terang Ajeng sejelas-jelasnya.Megan manggut-manggut tanda mengerti. “Ya udah, Dev, tunggu apa lagi? Dari pada susah-susah mencari orang baru lebih baik sama orang yang sudah dikenal dengan baik,” ucapnya menasehati.“Gue setuju, Dev,” kata Raihana menimpali. “Gue yakin karena dia sahabatnya Ajeng maka dia nggak mungkin aneh-aneh.”Radev menggelengkan kepala menolak ide yang dilontarkan padanya. Ia merasa tidak akan cocok dengan sahabat sang tunangan, apalagi di matanya Alexa setipe dengan Ajeng.“Tuh kan, Dev, Mami dan Rai aja setuju, masa kamu enggak?” ucap Ajeng yang merasa menang karena mendapat dukungan.“Aku nggak bakal cocok sama dia, Jeng. Aku dan di
Radev membanting pintu mobil Rachel dengan kesal setelah masuk ke dalamnya. Akibat terus dipaksa, Radev akhirnya terpaksa mengantar Ajeng pulang. Radev menggunakan mobil adiknya karena itulah satu-satunya yang tersisa di halaman rumah. Sedangkan mobilnya dan mobil anggota keluarga yang lain sudah masuk ke dalam garasi.Sambil menguap Radev mulai mengendara meninggalkan rumahnya. Tidak hanya matanya yang berat, ternyata setir mobil adiknya juga berat sehingga ia merasa sedikit kesulitan. Mungkin di antara anggota keluarganya hanya Rachellah yang hidupnya tidak terlalu berlebihan. Hanya adiknya itu satu-satunya yang memakai mobil yang sama selama lebih dari lima tahun. Radev tidak habis pikir entah mengapa Rachel begitu setia pada city car-nya itu di saat yang lain mengganti tunggangan mereka seperti berganti pakaian.“Dev, kamu beneran ngantuk ya?” tanya Ajeng saat melihat Radev tidak berhenti menguap.Radev menjawab pertanyaan retoris itu dengan dengkusan. Ia malas bicara apalagi deng
Dingin dan kepala yang terasa berat. Itu yang dirasakan Radev saat mencoba membuka mata. Awalnya semua tampak buram, tapi pelan-pelan semua kian jelas. Sunyi. Tidak ada suara apa pun.Radev tidak tahu sedang berada di mana hingga akhirnya menyadari begitu banyak alat-alat medis bergelantungan di tubuhnya. Termasuk alat bantu pernapasan yang terhubung ke hidungnya.Tapi, apa yang terjadi? Kenapa dirinya bisa berada di sini? Di mana Starla? Bagaimana kondisi Starla saat ini dan calon anak mereka?Starla adalah hal pertama yang memenuhi kepalanya. Ia tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Starla.Dua orang perempuan berpakaian putih-putih yang baru saja masuk ke ruangan menghampiri Radev. Salah seorang dari mereka memeriksanya. Sedangkan yang lain terlihat menghubungi entah siapa.”Pasien sudah sadar, Dok.” Itu kalimat yang berhasil Radev dengar.Mendengar kata ‘pasien’ membuat Radev jadi tahu keberadaannya saat ini. Pasti dirinya sedang berada di rumah sakit. Lalu Radev berusaha sebisa
Radev memalingkan muka ke arah lain, menghindari Ajeng yang ingin menyuapinya makan. Penolakan Radev membuat perempuan itu menghela napas.“Ayolah, Dev, makan dulu sedikit. Kalau kamu terus begini gimana bisa sehat. Ingat nggak dokter bilang apa?”Radev diam saja. Tidak menanggapi Ajeng yang berkicau di sebelahnya. Sampai perempuan itu menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya.“Kata dokter kamu harus banyak makan biar ada energi. Karena itu sangat membantu untuk proses penyembuhan. Jangan kayak anak kecil dong, malu ah sama Alexa.”Alexa yang duduk di sofa tersenyum sekilas lalu pura-pura sibuk dengan gawai di tangannya.“Nanti aku suap sendiri, kamu pulang aja.” Radev akhirnya bersuara.“Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendiri di sini, Dev. Mami nyuruh aku nemenin kamu di sini.” Ajeng bersikeras bertahan di tempat.Radev berdecak kecil. Bukan Ajeng yang dibutuhkannya, tapi Starla. Namun hingga detik ini ia masih belum bisa bertemu dengan Starla. Kekasihnya itu juga tidak mungkin
“Dev, kamu masih di sana? Kamu bisa dengar suara aku kan, Dev?” tanya Starla meyakinkan bahwa mereka masih terhubung lantaran tidak mendengar suara pria itu.“Iya, La, aku dengar suara kamu.” Radev menjawab pertanyaan Starla pelan.“Terus kenapa nggak jawab pertanyaan aku?”“Pertanyaan yang mana?”“Kenapa kamu nggak pernah datang ke sini dan handphone kamu juga nggak bisa dihubungi? Kamu-nya juga nggak pernah menghubungi aku.”Rentetan pertanyaan dari kekasihnya lagi-lagi membuat Radev terdiam. Ia belum menyiapkan jawabannya. Padahal semestinya ia bisa mengantisipasi. Tentu saja Starla akan menanyakan hal tersebut mengingat situasi mereka saat ini.“Dev?” panggil Starla karena lagi-lagi tidak mendengar suara Radev. Lalu telinganya menangkap suara batuk pria itu sebelum Radev memulai penjelasannya.“La, handphoneku hilang jadi aku nggak bisa menghubungi kamu.”“Hilang di mana? Kok bisa?” tanya Starla heran.“Entahlah, mungkin aku terlalu teledor.”“Terus sekarang kamu pake handphone da
Starla memakukan mata pada televisi layar lebar yang menyala di hadapannya. Sudah sejak tadi dirinya di sana. Duduk termangu dengan tatapan lurus, tapi sebenarnya pikirannya jauh mengelana ke mana-mana. Pada Radev, pada keuarganya, pada teman-temannya, pada kehidupan di luar sana. Pada kebebasan yang saat ini tidak lagi menjadi miliknya.Berada sendiri di apartemen ini apalagi dengan begitu banyak batasan yang diberikan Radev membuat Starla merasa hidup di dimensi lain. Starla terasing dari peradaban, dari hiruk pikuk dunia luar, dari pergaulan dengan manusia. Sejak tinggal di apartemen ini Starla tidak sekali pun ke luar. Langkahnya hanya sebatas pintu depan unitnya. Radev sudah melengkapi segala kebutuhannya sehingga Starla tidak perlu repot-repot dan tidak punya alasan untuk ke luar.Suara bel yang merasuki pendengarannya membuat Starla tersentak. Dengan refleks pandangannya beralih ke arah pintu. Detak jantungnya mengencang tiba-tiba.Siapa yang bertamu? Tidak mungkin Radev. Starl
Ajeng mendorong kursi roda yang diduduki Radev setelah menurunkannya dari mobil berdua dengan Raihana setibanya mereka di rumah.“Bentar,” ujar Radev agar Ajeng menahan dorongannya.“Kamu mau apa, Dev?”Radev menumpukan kedua tangannya ke bagian kiri dan kanan kursi roda lalu menurunkan kaki dari pijakan. Ia mencoba untuk berdiri tapi belum apa-apa ia sudah meringis sehingga membuatnya kembali terduduk.“Astaga, Dev, dokter kan udah bilang kaki kamu belum kuat, jadi jangan dipaksa. Bukannya sembuh ntar yang ada malah makin parah,” repet Ajeng mengomeli Radev.Pun dengan Rai. Ia ikut gemas melihat adiknya yang tidak sabaran ingin segera berjalan. Alih-alih akan bisa berdiri sendiri, malah dengan bantuan penyanggah atau tongkat pun Radev masih belum sanggup menginjakkan kakinya.“Dev, lo kalo mau sehat, mau cepet bisa jalan, dengerin tuh kata dokter, jangan ngelawan. Sabar dikit, okay?”Radev menjawab dengan mengesahkan napasnya. Tidak sepatah kata pun dilontarkannya. Bukan apa-apa, Rad
Dengan perlahan Radev menggerakkan kursi rodanya setelah berhasil menaikinya dengan susah payah. Pria itu mencoba keluar dari kamar walau dengan sedikit kewalahan.Atmosir sepi begitu terasa mengisi setiap sudut rumahnya yang megah saat Radev melalui bagian demi bagian rumah itu. Entah ke mana perginya orang-orang. Mungkin sibuk di kamar masing-masing.“Mas Radev mau ke mana?”Suara yang berasal dari belakangnya itu memaksa Radev untuk menoleh. Ia mendapati asisten rumah tangganya sedang berdiri memandangnya.“Kata ibu, Mas Radev nggak boleh ke mana-mana dulu. Istirahat saja di kamar.”Itu yang Radev lakukan setiap hari. Tidur di kamarnya sambil membunuh waktu dengan menonton film di saluran streaming sampai-sampai membuatnya bosan setengah mati.“Mami sama papi mana, Bi?”“Ada di kamarnya, Mas Radev. Mau Bibi panggilkan?” Pembantunya menawarkan diri.“Nggak usah, Bi, biar aku yang ke sana.” Radev siap-siap menggerakkan kursi rodanya kembali, tapi si Bibi menahannya, menyuruh Radev du
"Pokoknya kalian wajib datang. Gue nggak mau ya nerima alasan apa pun.""Apa pun?""Ya, apa pun!" tegas suara di seberang sana penuh penekanan.“Ya udah, gue tanya Kaka dulu ya, dia mau apa nggak.”"Ya pasti mau lah. Kalau nggak mau gue pecat dia jadi adek ipar."Rachel tertawa lalu memutus panggilan."Siapa, Ra?" tanya Bjorka yang baru keluar dari kamar mandi."Rai.""Raihana?"Rachel mengiakan dengan anggukan kepala.Bjorka tidak bertanya lagi. Masih dengan mengenakan handuk dia membuka lemari mencari bajunya di sana. Biasanya Rachel yang menyediakan. Tapi karena tadi asyik teleponan dengan Rai, Rachel jadi lupa."Ka, Rai minta kita hadir di acara nikahannya." Rachel menyampaikan isi pembicaraan dengan Rai tadi.Setelah bertualang dari pelukan satu laki-laki ke laki-laki lain, akhirnya Rai memantapkan hati untuk menikah. Bukan pernikahan yang pertama memang. Dan mirisnya lagi adalah calon suami Rai berumur hampir dua kali lipat dari usianya. Saat Rachel protes, "Lo yakin mau nikah s
Prosesi pernikahan Rachel dan Bjorka akhirnya berjalan dengan lancar dan baru saja berakhir.Rachel tidak merasa lelah sedikit pun meski rangkaian acara tersebut berlangsung hampir lima belas jam lamanya. Yang ada hanya perasaan bahagia.Perlahan pikirannya mulai mereka ulang lagi adegan demi adegan yang terselenggara tadi. Mulai dari prosesi akad nikah yang mengharukan sampai acara resepsi yang mewahnya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.Zoia yang mulai saat ini ia panggil dengan sebutan Mama mengusahakan semuanya agar sempurna. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk pernikahan kliennya, dan tentu saja saat pernikahan anak sendiri harus luar biasa.Seperti yang Rachel sepakati dengan Bjorka, Bjorka akan menunggunya di ballroom. Setelah mendengar komando dari MC, Rachel kemudian masuk diiringi oleh para bridesmaid. Yang menjadi bridesmaid adalah Starla, model-model Lavender Manajemen serta para sepupu Bjorka.Setelah menapakkan kaki di ballroom, wajah Rachel tertimpa lampu flas
Bagi orang-orang mungkin keputusan Bjorka untuk menikahi Rachel hanya dalam jangka waktu satu bulan setelah status mereka berpacaran adalah keputusan yang paling gila. Mungkin mereka juga menganggap Bjorka tidak berpikir panjang. Tapi demi apa pun Bjorka sudah memikirkan semua ini.Setelah jadian malam itu Bjorka mulai memikirkan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Rachel. Bjorka sudah mengenalnya bertahun-tahun. Ia tahu persis bagaimana sifat dan karakter Rachel. Dalam waktu satu bulan itu juga ia mulai merasakan chemistry demi chemistry di antara mereka yang tidak pernah ia temukan saat dulu bersama Nicole. Perlahan Bjorka menyadari bahwa ia lebih cocok dengan Rachel. Maka saat menyampaikan pada mamanya bahwa ia sudah punya pacar dan juga mengatakan ingin menikahi pacarnya itu mamanya terkejut oleh kenekatan Bjorka. Mungkin Bjorka memang nekat. Tapi nekat yang ini bukan tanpa alasan. Nekat yang ini juga akan ia pertanggungjawabkan.Setelah meyakinkan kedua orang tuany
Starla menatap Rachel sambil senyum-senyum sendiri menyaksikan tingkah adik iparnya itu.Saat ini Rachel sedang mematut diri di cermin sambil memindai diri dari puncak kepala hingga bawah kaki. Rachel mengenakan dress berwarna peach dan masih merasa ada yang kurang. Ini entah dress ke berapa yang ia coba sejak tadi.Malam ini Bjorka akan mengajak ke rumahnya. Dan status sebagai kekasihnya yang Rachel sandang saat ini membuatnya merasa harus memberikan yang terbaik. Rachel memang sudah ribuan kali mondar-mandir ke rumah Bjorka, namun itu sebagai sahabat. Malam ini adalah untuk pertama kalinya ia akan menginjakkan kaki di sana sebagai pacar Bjorka. Dan rasanya gugup bukan main."Gimana, Ra? Masih belum juga?" tanya Starla melihat Rachel yang masih bimbang akan mengenakan baju yang mana."Ini sih bagus, tapi agak ketat di bagian dada," jawab Rachel."Atau coba yang ini."Rachel menerima midi dress floral berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru yang Starla sodorkan la
"Please, Ka, jangan sekarang." Rachel menolak ketika Bjorka mengatakan akan membawa ke rumahnya dan mengenalkan pada orang tuanya bahwa saat ini Rachel adalah kekasihnya.Sudah satu bulan mereka berpacaran namun tidak seorang pun tahu perubahan status tersebut karena sejak awal mereka mengetahui keduanya bersahabat. Semua berjalan sebagaimana biasa."Kenapa nggak boleh?" Bjorka menatap Rachel lekat, ingin tahu apa alasannya.Tentu saja Rachel tidak siap dengan semua ini adalah karena ia khawatir respon yang akan diterimanya dari orang tua Bjorka. Selama ini mereka bisa menerima Rachel sebagai teman anak mereka. Namun hal yang sama belum tentu akan terjadi jika mereka tahu bahwa Rachel adalah kekasih putra mereka. Rachel tidak akan pernah lupa ucapan mamanya Bjorka yang pernah ia dengar dengan tidak sengaja. Dari sana sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan sikap mereka pada Rachel."Bukan nggak boleh tapi aku rasa belum saatnya," jawab Rachel mengatakan alasannya."Jadi kapan saatnya
Satu tahun kemudian.365 hari telah berlalu. Bjorka kehilangan jejak Nicole. Sejak Nicole resign Bjorka tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Bjorka tidak pernah mencari tahu atau menghubunginya. Karena jika keep in touch dengannya semua akan semakin sulit.Hari-hari terasa begitu berat, hampa dan sunyi. Ternyata begini rasanya patah hati. Sampai detik ini Bjorka masih memikirkan perkataan Nicole waktu itu.Pintu kamar Bjorka diketuk. Lalu kepala Papanya menyembul. Javas tampak sudah rapi dengan Polo shirt hitam dan jeans biru pudar. Walau sudah bapak-bapak tapi papanya masih muda. Papanya bahkan jarang mengenakan celana kain selain ke kantor."Nggak malmingan, Ka?""Mau malmingan sama siapa, Pa?"Javas mendekat lalu duduk di pinggir tempat tidur tempat Bjorka berbaring."Masa udah mau kepala tiga masih jomblo aja," ledek Javas padanya."Ya mau gimana, nggak ada yang mau sama aku.""Yaelah, Ka, Ka ... Baru kehilangan cewek satu kali letoynya sampai satu tahun." Papa menoyor kepala Bjorka
Radev tidak menjawab pertanyaan Rachel. Aura dingin yang menguar dari ekspresinya membuat Rachel jadi ketakutan. Dulu Radev sudah menasihatinya agar jangan terpengaruh oleh Megan. Tapi yang terjadi Megan berhasil memanfaatkan Rachel. Megan tahu Rachel adalah anak yang patuh dan penurut. Kelemahannya itu digunakan Megan untuk menekan Rachel."Dev, lo tahu dari mana?" tanya Rachel sekali lagi masih dengan ekspresi yang sama. Takut-takut seperti tadi."Nggak penting gue tahu dari mana. Yang penting adalah gue tahu.""Lo tahu dari Kaka?""Sahabat gue bukan orang munafik. Dia pandai menjaga rahasia. Dia nggak bakal koar-koar ke mana-mana sekalipun sama gue."Rachel menggigit pipi bagian dalam. Kalau memang bukan dari Bjorka lantas dari mana Radev tahu? Apa selama ini Radev mengawasi pergerakan Rachel dari jauh? "Udah berkali-kali gue kasih nasihat. Lo mesti hati-hati sama Mami. Tapi nyatanya dia berhasil menjebak lo.""Sorry, Dev, gue emang salah. Abisnya gue kasihan sama Mami. Lagian wak
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Marvel. Langit seakan berduka dan turut menangis. Satu demi satu para pelayat sudah mulai pulang. Takut kena gerimis yang akan menjelma menjadi hujan deras.Rachel masih terpaku memandangi gundukan tanah di hadapannya. Jasad Marvel sudah terkubur jauh di dalam tanah sana namun Rachel masih belum bisa menghentikan air matanya.Saat ini hanya tinggal Rachel, Radev, Starla dan Bjorka di pemakaman tersebut. Teman-teman dari Lavender Manajemen serta rekan kerja Radev sudah pulang. Sedangkan Megan dan Rai tidak mau datang sama sekali meskipun ini adalah untuk terakhir kalinya."Ra, sudah. Kita sama-sama ikhlasin Papi biar beliau tenang di alam sana," bujuk Radev mengusap punggung Rachel."Gue masih nggak percaya kalau Papi bunuh diri, Dev. Seharusnya nggak begini. Papi mengambil jalan pintas karena ngerasa nggak ada yang mendukungnya, dia ngerasa sendiri," ratap Rachel dengan perasaan sedih yang tidak kunjung habis. Mata gadis itu merah dan bengkak akibat
Sidang akan dimulai ketika Bjorka, Nicole dan Rachel masuk ke dalam ruangan.Rachel melihat Marvel mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan ceking. Membuat Rachel ingin menangis melihat kondisi sang ayah. Di saat-saat begini seharusnya pria itu mendapatkan support dari orang-orang terdekatnya. Terutama istrinya. Yang terjadi, istrinya malah meninggalkannya dan meminta cerai darinya. Lalu pacaran dengan pria lain yang kaya-raya.Rachel tidak sempat berbicara dengan Marvel. Tapi mereka sempat saling mengirim tatapan. Marvel bersyukur. Semua orang meninggalkannya. Hanya putri bungsunya yang selalu setia mengunjungi dan memberi support.Sidang atas kasus penyuapan itu dimulai. Diawali oleh pembacaan susunan acara oleh panitera. Selama itu pula detak jantung Rachel tidak karuan. Semoga saja hukuman untuk papinya tidak terlalu berat.Jika diibaratkan dengan kata-kata, mungkin Rachel sudah begah oleh sidang demi sidang yang disaksikannya. Hari ini sua