"Ada apa?" tanya Edward, sambil memperhatikan wajah Lean di dalam mobil sedan yang sedang melaju kencang menuju apartemen mereka. Sejak ia berbicara pada Brad beberapa saat yang lalu, hingga ia menyeret Lean untuk meninggalkan pria itu yang tiba-tiba berubah menjadi patung batu setelah ia mengatakan pada Brad bahwa Lean adalah wanitanya— sejak itu pula Lean memasang wajah datar padanya. "Bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan merahasiakan hubungan kita dari semua orang jika aku bersedia melayani mu?" protes Lean. Edward berdehem singkat, "Aku sudah mematuhinya, kecuali terhadap keluarga juga para sahabat. Dan karena pria itu berkata kalau dia adalah sahabatmu, aku pikir Brad tentu saja harus tahu tentang hubungan kita," sahutnya, membela diri. "Tapi ....""Atau kau benar-benar tidak rela jika dia mengetahuinya? Apa kau masih menyukai pria itu, Lean Marquise?" sosor Edward cepat, menatap Lean ke iris mata wanita itu. Mencoba mencari kejujuran di sana tentang apa yang Lean rasak
Pukul 7 malam, di dalam kamar apartemennya, Lean termangu sambil mematut dirinya di depan cermin. Sudah 10 menit ia berdiri di sana, gugup dan juga resah. Bingung bagaimana harus menghadapi Edward nanti.Padahal, semua telah kekasihnya itu persiapkan. Dari tempat yang akan mereka kunjungi untuk menghabiskan malam bersama serta reservasi untuk dinner di sebuah resto, semua sudah diselesaikan oleh Edward. Tugasnya hanyalah, ia hanya harus melayani kekasihnya itu nanti. Seharusnya, itu tidak sulit. Mengingat bagaimana selama ini Edward selalu bisa membuatnya luluh kepada pria itu hanya dengan sentuhannya saja. Namun, ia tetap merasa sangat gugup sekarang. Bahkan, suara bel apartemennya yang tiba-tiba berbunyi, berhasil membuat ia terlonjak. Sambil menggigit bibirnya, Lean menyambar tas tangannya. Kemudian pergi untuk membukakan pintu bagi Edward. Yah, kekasih plus atasannya itu telah menghubunginya beberapa menit yang lalu bahwa Edward akan menjemputnya. "Hmm." Suara deheman pelan l
Seakan menyadari kesalahannya, Wilhelm pun mengulurkan tangannya pada Lean. "Senang bisa bertemu denganmu, Nona Marquise," ucapnya sopan. Sembari tersenyum kaku, Lean menyambut uluran tangan pria itu. "Senang mengenalmu juga, Mr. Wil," tukasnya. "Ah." Wilhelm terkekeh pelan, "Panggil saja aku, Wil! Jangan terlalu formal!" ia lalu mengajak Edward dan Lean untuk masuk ke dalam resto milik keluarganya. Aroma daging panggang yang lezat langsung menyapa indera penciuman Lean saat seorang pelayan resto lewat tak jauh darinya. Membuat ia hampir meneteskan liur. Reaksi Lean yang terus menatap ke arah seorang pelayan yang baru saja melewati mereka, membuat Edward menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya. Tanpa wanita itu sadari, sebenarnya Edward terkadang memperhatikan apa yang Lean makan. Ada beberapa sayuran yang tidak wanita ini sukai, tapi daging panggang— Lean tampak sangat menyukainya. Dari Lean, Edward kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh area dalam restoran. Hampir
"Makan malam Anda telah siap Tuan dan Nona!" bersama tiga pelayan yang mengikutinya dari belakang, Wilhelm menegur Edward dan Lean yang sedang saling tatap. Edward segera menegakkan tubuhnya setelah sahabatnya itu mendengar teguran darinya, sedangkan Lean langsung memalingkan wajahnya. Dari samping meja yang ditempati oleh sepasang kekasih itu, Wilhelm mengulum senyum melihat reaksi Lean. Wanita cantik itu terlihat malu. Berbeda dengan sahabatnya yang justru sangat santai. "Letakkan makanannya di hadapan Tuan Edward dan Nona Lean!" titah Wilhelm pada ketiga pelayan yang mengikuti dirinya. Ketiga pelayan itu mengangguk patuh dan bergegas melaksanakan perintah tersebut. Asap mengepul dari dua piring yang ada di hadapan Edward dan Lean, aroma daging panggang yang lezat ikut menguar ke udara. Perut Lean bergemuruh saat aroma lezat itu menyapa indera penciumannya. Membuat ia mengumpat dalam hati karena suara tersebut terdengar oleh Edward dan Wilhelm yang sontak terkekeh pelan.
"Baik, Tuan." Tergopoh-gopoh Adolf berjalan cepat memanggil para pelayan. Sementara Edward hanya memijat pelipisnya melihat tingkah kepala pelayannya itu. Sesaat kemudian, Edward melirik ke arah Lean dan mengulurkan tangannya. "Apa kau pusing?" tanyanya, mengingat bahwa beberapa saat yang lalu Lean telah minum wine bersamanya. Padahal, wanita ini tidak memiliki ketahanan terhadap alkohol. "Sedikit." Lean tersenyum pada Edward, kemudian menyambut uluran tangan kekasihnya itu. Edward menggenggam erat tangannya dan mengajak Lean untuk duduk di sofa. "Maafkan aku, seharusnya kita sudah berada di kamar sekarang," ucap Edward dengan wajah penuh penyesalan. Lean menggeleng pelan, "Jangan khawatir, aku bisa menunggu." Ia lalu menjatuhkan bokongnya di sofa panjang. Di sampingnya, Edward turut duduk bersamanya. Bahkan, tanpa Lean duga, pria itu menarik kepalanya dengan lembut dan membawa kepala Lean ke dadanya yang bidang. Ini pertama kalinya Lean merasa benar-benar memiliki seorang ke
"Nak, boleh aku berbicara kembali dengan putraku?" "Tapi aku masih ingin berbicara dengan menantuku, Carlisle!"Kelopak mata Lean melebar menyaksikan pertengkaran kecil yang dilakukan oleh kedua orang tua Edward. Mereka terlihat manis di matanya, lucu dan menggemaskan. Ia bahkan tidak menduga bahwa Edward yang dingin dan arogan telah dibesarkan oleh sepasang suami istri yang tampak hangat. "Berikan teleponnya!" Edward segera mengambil ponselnya dari tangan Lean. Tidak ingin kekasihnya itu melihat kekonyolan ayah dan ibunya lebih lama lagi. Ia juga beranjak dari sofa dan memberi isyarat pada Lean untuk tetap duduk tenang di sana. Sembari menjauhi sang kekasih, Edward menegur ayah dan ibunya. "Cukup! Hentikan, Bu!" bisiknya di balkon dengan tatapan lurus ke layar ponselnya. Tingkahnya itu sontak saja membuat Edward mendapatkan pelototan dari ayahnya. "Jaga sikapmu, Edward Gail!" tegur Carlisle, ayah Edward. Pada putra bungsunya. "Arrgh! Aku sedang berkencan sekarang, Yah. Tapi Ay
"Kamar Tuan sudah siap, Tuan Edward," lapor Adolf, memecah kebisuan Lean dan mengejutkan Edward. Dan dengan dua gelas es jeruk di tangannya, ia pun menghampiri Lean. Memberikan salah satu gelas yang ia bawa pada wanita cantik itu, lalu gelas lainnya pada Edward. "Tadi Nona meminta minuman dingin padaku sewaktu aku ingin mengatakannya pada Tuan, jadi aku pergi untuk mengambil minum terlebih dahulu, Tuan," tambah Adolf, sembari menunduk di hadapan Edward. "Tidak masalah, Adolf. Terima kasih. Sekarang kau sudah bisa beristirahat. Untuk malam ini, aku sudah tidak lagi membutuhkan bantuanmu." Dengan isyarat matanya, Edward meminta Adolf agar segera meninggalkan ia dan Lean. Mengerti akan isyarat tersebut, Adolf langsung berpamitan pada Lean. Ia juga meminta semua pelayan yang masih terjaga agar bergegas masuk ke kamar mereka masing-masing. Karena sejak ia bertugas di villa Edward sebagai kepala pelayan, Adolf sudah mengerti bahwa Edward sama sekali tidak menyukai keributan di saat majik
Di sebuah Klub Malam, duduk di depan meja bar dengan mata memerah, Brad kembali memesan segelas whisky pada bartender. Sudah lima gelas whisky yang ia tenggak, namun panasnya cairan tersebut yang melewati batang tenggorokannya— masih tidak mampu mengalahkan rasa panas hatinya saat ini karena penolakan Lean dan ucapan Edward tadi sore padanya di hall."Whisky Anda, Tuan."Dengan cepat Brad mengambil segelas whisky yang disodorkan kepadanya dan melemparkan sejumlah tip kepada bartender yang telah melayaninya. Kemudian menenggak whisky dari gelasnya hingga setengahnya. Setelahnya, Brad meletakkan gelas yang ada di genggaman tangannya dalam gerakan kasar ke atas meja bar.Takk!Ia lalu mengusap bibirnya dengan punggung tangannya sambil mengingat ucapan Edward padanya."Lean Marquise adalah wanitaku!""Brengsek!" Brad meninju permukaan meja bar, membuat semua orang yang berada di sekitarnya sontak menatap ke arahnya dengan wajah bingung. Namun tampilan Brad yang tampak mabuk akhirnya membu
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara