Lean terpaku mendengar ucapan ayahnya itu. Bahkan, ia tidak berani menatap ayahnya setelah ayahnya mengurai pelukan mereka.Tingkah Lean itu tentu saja tidak lepas dari netra Edward, begitu pula dengan cara Leon menatap putri bungsunya. Sikap ayah dan anak itu membuat ia bertanya-tanya dalam hati, sejauh mana Leon telah memperlakukan Lean secara tidak adil?Saat Leon mengalihkan pandangan ke arahnya, Edward menatap pria itu dengan wajah datar. Membuat Leon yang menerima tatapan tersebut sontak menurunkan pandangannya."Anda sudah makan malam, PAMAN?" sindirnya dengan menekankan kata paman di akhir kalimatnya. Untuk memberitahu Leon bahwa Lean adalah miliknya, dan ia tidak ingin seorang pun menindas wanita itu di hadapannya, meski orang itu adalah ayah Lean sendiri."Be-lum, Tuan Edward," sahut Leon tergugu."Kalau begitu, mari!" Edward menyunggingkan senyum di bibirnya, namun bagi Leon senyum itu justru terlihat sedikit menakutkan. Selain itu, penampilan dan ucapan Edward yang terdeng
Lean meremas celana bahannya, menutup matanya dan mendorong kepalanya ke depan hingga bibirnya menyentuh sesuatu yang terasa sedikit keras. Tidak selembut bibir Edward yang ada di dalam pikirannya. Membuat ia reflek membuka matanya dan menurunkan pandangannya pada satu jari panjang yang sedang menutup bibirnya. Melihat jari tersebut, Lean mengalihkan tatapan matanya ke wajah Edward yang hanya berjarak lima jari dari wajahnya. Ia, menatap sang atasan yang sedang tersenyum geli dengan pandangan penuh tanda tanya."Aku berubah pikiran, jika ciuman itu tidak tulus— maaf." Edward menggedikkan pundaknya, "Aku tidak bersedia menerimanya." Dengan jari telunjuk yang masih menempel di bibir Lean, ia mendorong wajah Lean perlahan agar menjauh darinya. Setelah Lean kembali berdiri tegak, Edward segera mengangkat jari telunjuknya dari depan bibir Lean. Lalu menempelkan bagian jari yang telah menempel di bibir Lean sebelumnya ke bibirnya sendiri."Aku sudah menerima bayaranku, sekarang kau tidak
Alih-alih menjawab, Edward justru memikirkan ucapan Bill. Baru menyadari jika belakangan ini ia sudah tidak lagi terlalu memikirkan Rosalia. Pikirannya bahkan telah teralihkan pada sesosok makhluk cantik yang bernama Lean Marquise. Tapi … sejak kapan hal itu terjadi?Di seberang Edward, Bill semakin penasaran saat ia melihat ekspresi yang Edward tampilkan di wajahnya saat ini. Ia, ingin tahu siapa wanita yang telah berhasil menarik perhatian keponakan sahabatnya itu. "Jadi ….""Aku akan pulang sekarang." Edward tiba-tiba beranjak dari sofa. Membuat Bill yang menyaksikan reaksinya itu menjadi sangat terkejut. Selain itu, ia memang tidak pernah menghabiskan hanya satu botol whisky saja di Klub Malam Bill. "Masukkan saja semua tagihannya ke dalam tagihanku!" titahnya pada Bill yang sedang melotot padanya."Hei, aku belum selesai," sungut Bill geram. Tahu jika Edward sedang berusaha menghindar dari pertanyaannya."Aku sudah selesai, Bill." Edward meraih jas miliknya yang berada di sandar
Pukul 10 pagi, di Gail Mart. Di dalam ruangannya, Edward sesekali melirik ke arah ponselnya yang sengaja ia letakkan ke atas meja kerjanya. Sejak terakhir kali ia saling berbalas chat dengan Lean pagi ini, hingga sekarang wanita itu belum juga membalas chat darinya setelah ia memanggil Lean sebagai wanitanya."Hmm, apakah dia sedang marah padaku?" Edward memperhatikan layar ponselnya dengan sebal, namun tampilan layar itu tetap berwarna hitam kelam. Gusar menunggu balasan dari Lean, ia pun memanggil Anton agar datang ke ruangannya dengan menggunakan interkom telepon ruangannya yang berada tak jauh dari ponselnya.Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari arah pintu ruangannya yang sedang tertutup rapat, disusul oleh suara Anton setelahnya."Tuan Edward?""Masuklah!" titah Edward setengah berteriak, pada Anton yang berada di balik pintu. Berselang beberapa detik, pintu langsung terbuka. Anton masuk dengan wajah serius, melangkah menghampiri meja kerja sang Bos setelah menutup pi
Lean sontak membalikkan tubuhnya saat ia mendengar suara itu yang sangat familiar baginya. "Brad?" iamengerutkan keningnya kala ia menemukan Brad telah berdiri tak jauh darinya. Seperti biasa, mantan tunangannya itu selalu mengenakan setelan mewah dan rapi di tubuhnya. Rambut Brad juga tersisir klimis ke belakang, menunjukkan kesan angkuh yang selalu melekat di kepribadian mantan tunangannya itu. "Kau … apa kau datang ke Kota L demi menghadiri acara pelelangan yang akan diadakan oleh Gail Group?" lontarnya tak percaya. Brad menggedikkan pundaknya, "Begitulah," tukasnya. Ia, lalu memperhatikan Lean. Sedikit suprise saat melihat Lean tampak sangat cantik hari ini, entah sejak kapan mantan tunangannya ini belajar merias dirinya. Tapi ia menebak kalau Lean mungkin belum lama mempelajarinya, sebab dulu— Lean tidak pernah menggunakan make up di wajahnya saat mereka masih bersama. "Apa kau yang telah ditugaskan untuk mengurus acara lelang nanti?" tanyanya kemudian, sambil menatap wajah
Edward memicingkan matanya pada Lean, sama sekali tidak menyadari kehadiran Oliver yang telah berdiri di belakangnya."Apa yang kau lakukan, Ed?"Teguran bernada dingin itu sontak mengejutkannya, sementara Lean— langsung menunduk pada Oliver saat Edward membalikkan tubuhnya."Berhentilah menggangguku, Kak!" protes Edward pada saudara lelakinya."Apa kau tidak sadar kalau kau lah yang telah menghalangi jalanku?" balas Oliver dengan wajah dingin. Sesaat setelahnya, ekspresinya seketika berubah kala Oliver melemparkan pandangannya ke arah Rosalia. Senyuman lembut bahkan terukir di bibirnya. "Bagaimana kabarmu, Rosi? Maaf tadi pagi aku telah berangkat bekerja ketika kau datang untuk menjemput Rose. Oh ya, di mana dia?" Oliver lalu mengedarkan pandangannya. Mencari sosok sang istri yang seharusnya juga berada di hall saat ini."Aku baik, Oliver." Rosalia balas tersenyum pada pria itu, tanpa mengacuhkan tatapan Edward yang tampak cemburu ketika ia berbicara dengan saudara pria itu. "Apa ka
Mendengar ucapan Rose yang bernada menyindir, Edward reflek melemparkan pandangan kesal pada wanita itu. Mengacuhkan Oliver yang sedang berdiri di samping istrinya itu dan tengah menatap ke arahnya."Sebaiknya, urus wanitamu, Kak!" tukasnya pada Oliver tanpa melihat sama sekali pada saudara lelakinya itu.Usai berbicara, Edward pergi begitu saja meninggalkan aula. Di sisi lain, Oliver langsung menegur Rose atas ulah istrinya itu."Apa kau tidak tahu betapa sulitnya membujuk Edward agar dia mau menyetujui perjodohannya dengan Lean Marquise?" cetusnya, "Sekarang, kau semakin memperburuk situasi," tambahnya lagi.Meski memarahi sang istri, Oliver sengaja berbicara dengan suara yang sangat pelan pada Rose. Cukup hanya untuk didengar olehnya juga Rose saja. Selain itu, ia melakukannya untuk menghindarkan Rose dari rasa malu.Sedangkan Rose, hanya bisa menatap suaminya dengan wajah sebal. Tanpa ingin membalas ucapan Oliver sama sekali. Lagipula, ia sudah mulai mencintai Oliver sejak suamin
Degg!Edward tertegun menatap Rosalia. "Pergilah, Ed! Jangan sampai kau kehilangan wanitamu," tukas Rosalia lagi."Rosi!""Edward!" balas Rosalia dingin, dengan tatapan mata yang sangat serius. "Kalau kau tidak pergi sekarang, kau pasti akan menyesali keputusanmu ini."Edward menyugar rambutnya dengan gusar. Setelahnya, ia mengumpat sangat keras, "Sial!" teriaknya geram. Lalu pergi meninggalkan Rosalia.Rosalia hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah keponakan suaminya itu. Tapi ia senang karena akhirnya ia berhasil membujuk seorang Edward yang sangat keras kepala."Huft! Semoga saja dia tidak membuat keributan di aula," cicitnya, sembari melangkahkan kakinya untuk menyusul Edward.Lima menit kemudian, Edward yang telah tiba di aula langsung menghampiri Lean yang tengah makan berseberangan dengan Brad. Wanita itu makan dengan tenang, sementara Brad tampak terus memperhatikan Lean. Ia bisa melihatnya dari posisi kepala Brad yang tegak lurus, meski pria itu duduk dengan posisi membe
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara