"Apa itu artinya Tuan Edward kini akan menuruti permintaan dari Tuan Besar?" Anton menatap pintu ruangan Edward sesaat setelah ia meninggalkan ruangan Bosnya itu. Kemudian menggedikkan pundaknya setelahnya, sedikit berharap bahwa ucapan Edward saat ia berada di ruangan Bosnya itu tadi merupakan pertanda baik jika sang Bos telah bersiap untuk melepaskan masa lalunya. Menuju ke ruangannya, Anton berhenti sebentar di depan ruangan Lean. Menatap ke dalam ruangan itu melalui ambang pintu, di mana pintu yang seharusnya berada di sana kini tengah tersandar pada dinding di belakangnya. Dari tempat ia berdiri, ia memperhatikan Lean yang tampak tengah asik mengutak-atik laptop miliknya. Wajah wanita itu terlihat serius, namun ada senyum samar yang terukir di bibir Lean saat ini. "Sepertinya dia sangat senang hari ini," gumamnya pelan, lalu mengangkat tangannya untuk mengetuk daun pintu. Tokk ...! Tokk ...! "Apakah seseorang yang berada di ruangan ini membutuhkan tenaga seorang Konsul
"Bagaimana? Kau sudah mempelajari tentang Klien kita?" lontar Edward, pada Lean ketika ia dan wanita itu baru saja meninggalkan resto Les Jardins usai makan siang bersama Oliver. Sambil mencoba mensejajari langkah lebar Edward, Lean pun menjawab. "Sudah, Tuan." Kemudian sedikit mengumpat dalam hati tentang pilihan busana yang telah ia pakai hari ini. Jika saja, pagi ini ia tahu kalau Edward akan membawanya keluar Gail Mart, ia pasti akan lebih memilih untuk mengenakan celana panjang berbahan flanel atau katun sebagai bawahannya. Alih-alih mengenakan rok sempit berpotongan A. "Tadi pagi Asisten Anton telah menjelaskan padaku apa saja yang disukai oleh Klien yang akan kita temui siang ini, dari makanan juga kebiasaannya. Dan menurutku, pilihan Kafe yang telah diusulkan oleh Asisten Anton untuk pertemuan hari ini sudah sempurna, Tuan Edward," tambah Lean lagi. "Tentu saja." Edward tiba-tiba menghentikan langkahnya tak jauh dari sedan perusahaan. Apa yang ia lakukan itu membuat Lean ya
"Apa yang telah terjadi pada Mr. Noah, Tuan Edward?" tanya Lean, dalam perjalanan pulang menuju Gail Mart sambil menatap Edward dengan tatapan penuh tanda tanya. Well, Noah Dennis bertingkah sangat aneh beberapa saat yang lalu ketika pria itu berpamitan padanya juga Edward. Bahkan, tatapan Noah yang awalnya terlihat menjijikkan— entah mengapa tiba-tiba berubah menjadi lebih hormat padanya. Noah Dennis juga tampak takut terhadap Edward, seolah atasannya itu baru saja melakukan sesuatu pada pria genit itu. "Apa yang terjadi pada siapa?" tukas Edward balik bertanya, kemudian memasang wajah dingin di samping Lean. Jangan salahkan dirinya jika ia menggertak Noah Dennis sebelumnya. Nyatanya, pria sialan itulah yang telah memancing kemarahannya terlebih dahulu. Pria yang hanya memiliki sedikit kelebihan tapi dengan angkuhnya menganggap bahwa dia bisa membeli siapapun. Dan, jika Noah bukan rekan bisnisnya, Edward pasti akan dengan senang hati merontokkan satu atau dua gigi pria itu agar N
"Kau ada acara malam ini, Lean Marquise?" tanya Edward, ketika ia akan berpisah dengan Lean di depan pintu unit wanita itu. Mendengar pertanyaan itu, Lean sontak mengernyit. Namun sesaat setelahnya, ia lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan Edward? Ada apa? Apakah ada sesuatu yang harus kukerjakan?" lontarnya balik bertanya. Dengan wajah kikuk Edward mengusap tengkuknya. Padahal, baru sebentar tadi rasanya ia ingin mengatakan sesuatu pada Lean, namun kata-kata itu seolah menguap ke udara. Entah mengapa pasca pembicaraannya dengan Noah Dennis di Kafe sore tadi, hingga kini moodnya menjadi sering turun naik. Terkadang, ia rasanya ingin marah pada Lean. Dan sedetik kemudian— ia justru ingin mengajak Sekretarisnya ini untuk berkencan. "Ada, temani aku makan malam!" titah Edward. "Hah?! Anda serius?" tanya Lean dengan mata membola tak percaya. "Tentu saja. Anggap ini sebagai perayaan untukmu karena pertemuan kita hari ini dengan Noah Dennis telah berjalan dengan mulus.""T-tapi,
"Lupakan!" Edward segera menyambar lengan Lean, menyeret wanita itu untuk mengikuti dirinya. Ketika Lean menghentikan langkahnya di depan rak sepatu, ia bahkan dengan santai mengambil satu-satunya sepatu kets yang ada di rak tersebut. "Aku harus memakai sepatu ini?" tanya Lean tak percaya, sambil menunjuk ke arah sepatu pilihan Edward. "Kau tidak memiliki sepatu lain yang cocok untuk penampilanmu sekarang." Edward menggedikkan pundaknya, namun matanya menyisir setiap sepatu yang Lean miliki. Kebanyakan dari sepatu-sepatu itu memiliki model pantofel untuk kerja atau heels untuk pergi ke pesta. Jadi, menurutnya hanya kets pilihannya saja yang cocok untuk Lean pergunakan saat ini. "T-tapi, ini sepatu untuk olah raga," cicit Lean, melirik sepatu kets miliknya dan hidden sock yang terdapat di dalam sepatu itu. Edward mengalihkan pandangannya dari rak sepatu ke arah Lean, memperhatikan wanita itu dari atas hingga ke bawah. "Not bad, kalau kau memiliki sepatu booth, itu jauh lebih baik.
"Cih, apa kau ingin membahas hal ini sekarang?" Edward menatap Lean dengan satu alis terangkat naik, sementara senyuman sinis terukir di sudut bibirnya. "Tentu," tantang Lean, membalas tatapan Edward sambil melipat kedua tangannya di dada. Please, ia sudah cukup bersabar selama beberapa hari ini dalam menghadapi sikap Edward. Dan jika keberaniannya kali ini akan membuat Tuan Besar Gail membatalkan perjodohan mereka, biarkan saja. "Sekarang, tolong Anda katakan padaku, apa yang sedang kupikirkan, Tuan Edward?"Edward menyipitkan matanya, setelah berhari-hari ia memelihara Lean dan menganggapnya bak seekor kucing kecil yang tidak akan pernah menggigit. Tanpa ia duga, kali ini ternyata wanita itu berani menunjukkan taringnya. 'Menarik,' bisik Edward dalam hati. Bersamaan dengan itu, seraut senyum smirk samar muncul di sudut bibirnya. Walau begitu, tatapan matanya pada Lean tetap dingin. Oh, yeah. Selain Rosalia, baru kali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang berani menunjukkan w
"Hmm." Edward berdehem pelan kala sepeda motor yang ia kendarai melewati Murbei Library, tempat di mana kenangan manisnya bersama Rosalia dimulai.Ia, hanya melihat papan nama yang terdapat di pinggir jalan itu sekilas. Menyunggingkan senyum di bibirnya, kemudian memacu sepeda motornya lebih cepat lagi menuju sebuah resto di ujung jalan yang berada di pertigaan jalan.Setibanya di depan resto yang ia tuju, sebuah resto dengan nuansa klasik ala Bangsawan. Edward pun menghentikan motornya secara mendadak, membuat Lean yang berada di belakangnya sontak semakin mengeratkan pelukannya.Merasakan apa yang wanita itu lakukan, Edward langsung menaikkan kaca helmnya. Melirik ke arah tangan Lean yang saling bertautan di pinggangnya."Aku tidak keberatan jika kau ingin memelukku lebih lama lagi, tapi kita sudah sampai," lontarnya, sembari mengangkat pandangannya. Menolehkan kepalanya sedikit dan melirik Lean melalui pundaknya.Di belakang Edward, Lean tersentak mendengar ucapan Edward itu. Dan d
"Akan kutunggu jawabanmu hari senin pagi." Sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dan menatap langit-langit kamar apartemennya— Lean memikirkan ucapan Edward saat ia dan Edward berpisah di depan pintu apartemennya. Saat itu, wajah Edward masih tampak menyimpan kemarahan padanya. Namun pria itu sama sekali tidak menyinggungnya bahkan setelah Lean meminta maaf atas ucapannya pada Edward tentang Rosalia saat mereka berada di resto. Edward, justru hanya memintanya untuk tidak lagi mengungkit tentang hal itu dan memerintahkan Lean agar beristirahat. "Edward Gail." Lean mengeja nama atasannya itu sembari mengangkat tangannya ke atas, membayangkan wajah pria itu ada di hadapannya. Tersenyum, memperlihatkan dua cerukan yang berada di pipinya juga deretan gigi-giginya yang putih. Lean, juga membayangkan saat Edward mengedipkan mata padanya, lalu ketika pria itu memeluknya di atas lantai apartemennya. Terkadang, sikap Edward sangat hangat dan membuatnya terbuai, tapi semudah membalik
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara