Hari ini penanda tanganan kontrak lelang akhirnya dilaksanakan, sebelum acara dimulai— Ernest tampak memanggil Brad ke sebuah ruangan kosong untuk berbicara berdua.Di hadapan Brad, ia memberikan sebuah map pada pria itu sambil menatap Brad dengan tajam."Kita telah menyetujui hal ini sebelumnya, kau akan menutup mulut atas apa yang telah dilakukan keponakanku padamu, dan aku akan menyerahkan kontrak lelang Gail Industries ke tanganmu. Tapi sebelum itu, tanda tangani dulu kesepakatan itu!" tunjuknya pada map yang telah Brad ambil dari tangannya dan sedang dibaca oleh pria itu. Beberapa lebam masih membekas di wajah Brad saat ini. Melihat hal itu, Ernest hanya bisa menghela nafas gusar atas keberingasan Edward. Namun ia masih bersyukur bahwa keponakan bungsunya itu tidak membuat Brad Maison harus berakhir di rumah sakit.Di sisi lain, Brad tampak mengernyitkan keningnya saat membaca kesepakatan yang telah ditawarkan Ernest padanya. Kesepakatan itu menguntungkannya di awal dan sedikit
'Sial,' gerutu Brad dalam hati sambil memperhatikan Edward yang bergerak menjauh darinya. Tak lama, perhatiannya segera teralihkan pada Lean yang melangkah menghampiri dirinya. "Selamat, Brad." Lean mengulurkan tangannya pada Brad, lalu memperhatikan sisa memar yang masih terlihat di wajah mantan tunangannya itu. Gara-gara memar itu, hari ini Brad menjadi pusat perhatian. Semua yang mengikuti penanda tanganan kontrak bersama Gail Group menghampiri pria itu hanya sekedar untuk bertanya dari mana Brad mendapatkan memar pada wajahnya. Diam-diam, Lean mencuri dengar pembicaraan Brad termasuk dengan ayahnya sendiri. Takut jika Brad akan mengatakan kalau mantan tunangannya itu telah dihajar oleh Edward. Namun Brad justru mengatakan hal berbeda dengan berkata bahwa pada malam perayaan kesuksesan acara lelang, mantan tunangannya itu terlalu mabuk dan memaksa pulang dengan menyetir sendiri mobil sewaannya hingga Brad mengalami kecelakaan di jalan. Alasan yang cukup masuk akal bagi Lean,
Sore harinya, setelah meninggalkan tempat di mana ia melakukan penanda tanganan kontrak dengan Oliver, Brad terus memikirkan Lean dalam perjalanan pulang ke hotelnya. "Aku pasti bisa mendapatkanmu lagi, Lean Marquise!" entah sudah berapa kali ia menggumamkan kata-kata tersebut. Namun Brad terus mengulanginya di saat ia melirik berkas kontrak yang ia letakkan pada kursi kosong di sampingnya.Brad bahkan tersenyum penuh percaya diri bahwa ia pasti bisa mensukseskan proyek Oliver dan menuai banyak keuntungan dari proyek itu nantinya. Setidaknya, modal yang telah ia keluarkan untuk membayar nominal kontrak hari ini bisa kembali tiga kali lipat. Dengan begitu, ia bisa memulai bisnis baru di kota di mana Ernest sedang memulai bisnis besarnya. Dubai."Sebentar lagi aku akan lebih sukses dari pria itu, dan kau Edward Gail— kau akan segera menghilang dari jalanku," gumam Brad sambil tertawa licik dan melajukan mobilnya dengan kencang.***Pukul 7 malam..."Apa yang sedang kau lakukan sekarang
"Sepertinya kau sangat bahagia malam ini," celetuk Isla sambil bergelayut manja di lengan Brad yang mengajaknya untuk makan malam bersama di sebuah resto mewah."Aku hanya bahagia, bukan sangat!" Brad menoleh pada Isla dan menyunggingkan seraut senyum kaku kepada kekasihnya itu. "Aku sudah mendapatkan proyek dari Gail Industries," lanjutnya. Setelah itu, Brad mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Lalu berbicara pada seorang pelayan yang menyambut kedatangannya dan juga Isla."Itu artinya ...." Brad menganggukkan kepalanya, "Jika aku bisa menyelesaikan proyek itu dengan baik maka aku bisa membangun bisnisku sendiri di Dubai.""Oh, Brad." Isla memeluk Brad tanpa mengacuhkan tatapan dari pengunjung resto yang ia datangi bersama Brad. Namun Brad yang merasa jengah segera menarik lengan Isla yang tengah merangkul lehernya. "Apa kau tidak sadar jika kita sedang berada di tempat umum?" bisiknya memperingatkan dengan wajah gusar.Isla hanya mengerucutkan bibirnya. Dan meski ia merasa
"Tapi, bukankah ... mm ...." Kelopak mata Lean sontak melebar ketika tengkuknya ditarik mendekat dan bibirnya dibekap oleh bibir Edward usai kekasihnya itu melempar apel yang berada digenggaman tangannya ke sembarang arah. Demi menahan keseimbangannya saat Edward memperdalam kecupannya, Lean tanpa sadar mencengkram kemeja yang Edward kenakan di tubuhnya. Kemeja yang dua kancing teratasnya sengaja dibuka dan memperlihatkan dada bidang kekasihnya itu yang mengintip di sela-sela kemeja. "Uhk!" Lean mendesis lirih di mulut Edward kala lidah Edward membelit lidahnya. Terus mengeksplor ruang kecil yang ada di dalam mulutnya. Di saat yang sama, salah satu lengan Edward kini telah melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat hingga dadanya dan dada kekasihnya itu saling menempel. Tidak cukup sampai di situ, di area perutnya— ia mulai merasakan ada sesuatu yang mengeras di sana. Berkedut dan semakin membesar. Menyadari hal itu, Lean menjadi kesulitan untuk bernafas dengan baik. Tubuhn
"Hari minggu? Pukul berapa?" tanya Lean, usai ia membersihkan tubuhnya dan kini sedang mencari pakaian yang akan ia kenakan untuk pergi makan malam bersama Edward.Edward yang telah rapi hanya memperhatikan Lean dari pinggir ranjang. Tempat di mana ia menempatkan bokongnya sejak ia selesai mandi dan mengenakan pakaiannya. Sambil menunggu Lean yang belum keluar dari kamar mandi.Ia hampir kembali tergoda kala melihat Lean mengenakan pakaian dalam berwarna senada di tubuhnya. Setelan itu berwarna putih bersih dan tidak tampak seksi, namun terlihat indah di tubuh Lean yang ramping dan berisi di beberapa bagian. Pada tempat-tempat yang sangat ia suka.Lean tidak memiliki dada yang terlalu besar, tetapi bentuknya bulat dan kencang. Menandakan kekasihnya ini memang tidak pernah disentuh oleh pria lain selain dirinya. Buktinya, Lean bahkan pernah berpikir bahwa sebuah ciuman saja bisa membuatnya menjadi hamil.Mengingat hal itu, Edward pun tertawa kecil. Bingung terhadap kepolosan kekasihnya
"K-kau yakin?" "Tentu, apapun yang kau inginkan. Karena aku kini milikmu, Sayang." Lean mengerjapkan matanya berkali-kali di belakang Edward yang sedang mengendarai motornya dan akan membawanya untuk makan malam bersama saat ia mengingat percakapan terakhirnya dengan kekasihnya itu di dalam kamar apartemennya. Dan seakan tidak percaya atas ucapan Edward sebelumnya, Lean terus menatap punggung lebar sang kekasih. Punggung yang tampak kokoh dan tegap, membuat ia ingin menyandarkan kepalanya di sana. Tapi tidak sekarang, di saat sebuah helm terpasang di kepalanya. "Apa aku sedang bermimpi?" gumam Lean pelan, masih merasa bingung atas perubahan Edward yang terlalu drastis. Di sisi lain, ada kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan atas perubahan sikap kekasihnya itu. Dan meski ucapan Edward laksana mimpi indah baginya, Lean merasa sangat bersyukur jika ucapan kekasihnya itu memang benar adanya. Tiba di hadapan sebuah resto mewah, Edward menghentikan sepeda motornya dan membantu Lean un
"Lean?" Isla mencoba menegur Lean, namun tatapan matanya masih tertuju pada pria yang tengah merangkul mantan sahabatnya itu. "Aku tidak menduga jika kita akan bertemu di sini setelah terakhir kali kau mempermalukan dirimu di Zurich. Oh ya, aku dengar saat itu kau sangat mabuk dan menyeret pria sembarangan di tempat pesta untuk menemanimu setelah Brad menolakmu," sindirnya.Brad sangat ingin menghentikan ucapan Isla itu, tetapi di tempat seramai resto yang sedang dipenuhi oleh pengunjung saat ini— ia benar-benar tidak ingin menjatuhkan harga dirinya. Jadi ia hanya menoleh pada Isla dan memberi tatapan peringatan pada kekasihnya itu.Dengan wajah tak peduli, Isla mengacuhkan peringatan yang diberikan Brad padanya saat pria yang sedang ia tatap menatap balik padanya. Tatapan pria itu terlihat sangat dingin, bahkan rahang pria itu tampak semakin tegas. Tetapi ia menyukai cara pria itu menatapnya, membuat dirinya merasa tertantang untuk menaklukan pria tersebut. Karena itu, Isla pun meny
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara