Langkah panjangku langsung menuju sasaran. Mereka sejenak menghentikan aktifitasnya merebut motor Nisa."Siapa kamu dan apa urusanmu dengan motor ini!" Laki-laki bertato itu seketika menghardik."Kalian tak tahu siapa wanita ini! Dia itu istri ku, urusanmu dengannya juga urusanku!" Aku tak kalah garang."Hhaaha ... Terserah kamu yang penting aku dapatkan motor ini secepatnya." Mereka masih memaksa.Aku memandang Nisa, wajah dia sudah terlihat ketakutan."Siapa mereka?" tanyaku.Dia mengeleng, "aku ngga kenal, Mas. Mungkin dia perampok!" "Hei! Jangan bilang kami perampok. Kami hanya menjalankan tugas untuk menagih hutang!"Kali ini aku kembali menatap Nisa, "kamu punya hutang?"Dia kembali mengeleng, "mungkin mereka salah orang.""Mana kami salah! Jelas-jelas motor ini yang keluar dari rumah Santi!""Tunggu-tunggu, kalau tidak salah kemarin kan yang datang kerumahku kan?"Mereka saling pandang dan mengingat ingat."Oh, benar. Kamu lelaki yang tiba-tiba datang dan langsung di tarik mas
Belum sempat untuk memukul dia berteriak dan jatuh pingsan."Syasya!" Sontak aku langsung melepaskan tongkat golf begitu saja. Kutepuk-tepuk pipinya. Dia masih saja menutup matanya. Duh! Bagaimana ini?Kucari minyak angin, tak kutemukan. Biasanya ada di atas kulkas. Nyatanya hilang bersama kulkasnya. Kemana lagi ini aku mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat untuk membangunkan Syasya yang pingsan.Ah, aku punya ide! Aku mengeluarkan dompet, kebetulan hari ini abis gajian dan tadi sempat ke ATM untuk mengambil tunai. Kutaruh lembaran merah satu lembar di kening. Masih belum sadar. Dua tiga hingga lima.Plok! Dia langsung menangkap uang yang di keningnya.Alhamdulilah! Akhirnya sadar juga. Syasya terlihat tersenyum penuh gembira."Kamu kenapa di gudang dan kenapa barang-barang di rumah ini hilang?" Cecarku langsung pada Syasya tanpa jeda."Anu, Mas. Tadi aku cari matras buat alas tidur. Soalnya kasur serta dipannya di bawa rentenir yang menagih hutang Mbak Nisa!"Apa? Kali ini aku yan
PoV NisaAku di buat kalap, siapa yang tak murka melihat isi rumah telah raib. Kelakuan siapa lagi kalau bukan si Syasya alias Santi. Wanita jalang yang telah menipu Mas Arman habis-habisan. Rasanya ingin sekali aku meremasnya. Menjadikan dia segulung kertas dan kubuat bola hingga aku tinggal menendang saja!Setelah aku berduel sengit, aku memilih masuk kekamar, Al dan El menangis membuat aku yang tengah membuat perhitungan dengan Mas Arman dan istrinya itu terhenti.Hufh! Kulkas, TV, sofa juga beberapa perabotan yang kira-kira kayak jual sudah raib. Aku memandang penuh kesedihan. Sudah tak kulihat batang hidung manusia tak bersyukur itu. Biarlah! Semoga mereka tak kembali lagi kesini.[Nis, ada waktu? Kita Dinner yuk!] Wa dari Pak Denis kubaca. Dia ngajak makan malam? Ada apa gerangan.[Maaf, Pak. Apa ada perlu dengan kantor. Saya sedang dirumah sendiri dan tak ada siapa-siapa. Ngga bisa ninggalin anak-anak.] jawabku.Tak ada balasan. Hanya centang berwarna biru. Apa Pak Denis marah
Kedubrag!"Aduh!"Aku menengok, ternyata Syasya jatuh tersungkur."Tolong, Mas!" Pintanya. Sebenarnya aku enggan untuk membantu tapi aku bukan manusia durjana yang kejam."Ayo!" Aku mengulurkan tangan. Diraih tangan ku olehnya, aku mencoba untuk membangkitkan ya tapi tanpa sepemikiran ku. Syasya menarik tanganku hingga akupun terjerebab jatuh diatasnya."Awwhh," pekik Syasya manja, aku sebagai lelaki normal tentu saja darahku berdesir."Astaghfirullah!" Segera aku beranjak berdiri. Aku tak boleh kalau dengan jurus rayuannya. Dia hanya sedang memancingku untuk kembali padaku. Tidak! Aku sudah putuskan untuk menebus kesalahanku pada Nisa."Ayo, berdiri!" Aku membalik badan."Mas, lemas. Aku dari pagi belum makan!" ucap Syasya masih dengan nada lembut. Mungkin benar kalau itu terjadi. Bukankah para preman itu datang tadi pagi?Akhirnya aku putuskan untuk membantunya berdiri. "Sebelum pergi, ajakin aku makan dulu yuk!" Kembali dia merayu."Apa kamu mau aku pingsan di jalan? Terus ada yan
"Setan alas! Tuyul! Genderwo!" Rancauku ketika tiba-tiba hujan turun menguyur tubuhku."Bangun! Ngapain tidur di mari?!" Ibu berteriak. Ternyata bukan hujan tapi ibu yang menyemprotkan selang padaku."Ketiduran, Bu. Habisnya gedor pintu ngga ada yang buka. Tidur apa pingsan!" Cebikku."Hei! Ngomong sama orang tua jangan ngawur. Pake nyumpahin pingsan segala. Mau aku jadiin bregedel?!""Iya, Bu. Maaf!""Lagian ngapain kemari, kan kamu punya rumah? Apa kamu di usir Nisa? Bukankah dia setuju dengan kehadiran Syasya?" Ibu menatap penuh selidik."A-anu, Bu. Putramu ini sudah jadi duda." Aku mlehoy, hampir menangis."Apa? Kemana istrimu semua. Mati!""Ibu! Kenapa sumpahin mereka mati?""Noh! Siapa yang sumpahin. Kan kamu sendiri yang bilang jadi duda.""Ya bukan berarti mati kali, Bu. Aku jadi duda cerai!"Ibu menyempitkan mata. Mungkin dia heran, kenapa aku yang punya dua istri menjadi duda."Tunggu-tunggu! Kalau bicara yang jelas jangan buat Ibumu yang tua ini ngga mudeng.""Bu, anakmu in
Kriett ...Tanganku sudah mengepal siap untuk menonjok jika benar Pak Denis yang datang. Tak peduli lagi urusan pekerjaan. Bukankah laki-laki yang baik tak mengkaitkan masalah pribadi dengan pekerjaan?Ups!Laki-laki muda dengan baju seragam berhasil menghindar dari pukulanku. Dengan cekatan ia menangkis tanganku."Ada apa, Pak? Kenapa mau memukulku?" tanyanya tanpa melepaskan tanganku dari pegangannya."Maaf, Mas. A-aku kira yang datang penjahat." Dia melepaskan tanganku. Apes benar, beruntung dia menghindar, kalau tidak bisa berurusan panjang karena memukul orang."Saya mengantar pesanan ini atas nama Ibu Nisa Anggraini." Dia melihatkan sebuah kertas. Tertulis ada sebuah TV, Kulkas, Sofa dan lain-lainnya."Oh, iya benar. Dia istri saya. Sebentar saya panggilkan.""Baik, Pak. Saya akan menurunkan semua dan meminta Ibu melunasi pembayaran."Aku mengangguk, ternyata Nisa punya uang juga untuk membeli semua perabotan ini kembali."Nis!" panggilku. Si pemilik nama keluar kamar."Itu ada
"Be-benar kamu ngga hamil, Nis?" Aku mengulangi pertanyaannya lagi, berharap ia meralat apa yang telah ia ucapkan barusan.Dia menatapku aneh, seolah apa yang aku tanyakan itu sebuah hal mustahil."Kenapa aku harus berbohong? Bukankah kamu tahu kalau aku pasang implan di lengan kiri? Kamu sendiri kan yang antar dan itu masanya lima tahun!"Deg!Aku baru ingat jika apa yang di katakan Nisa benar. Aku yang mengantarnya saat memasang alat k*ntrasepsi itu. Aku makin jadi gemetaran. Menandakan jika testpack itu pasti milik Syasya.Aku tak boleh tinggal diam, aku harus segera mencari Syasya dan menyuruh ia mengugurkan kandungannya. Lagian bukan seratus persen kan dia anakku? Terus pasti dia minta pertanggungjawaban padaku.Segera aku meletakkan jamu tadi dan mengembalikan pada meja, aku harus segera mencari Syasya untuk membuat dia tak bertindak lebih jauh.Bugh!"Aduh!" Rengek Ningsih, ternyata karena aku tergesa-gesa aku menabraknya. Hingga dia kesakitan."Kamu ngga papa, Sayang?" tanya l
Syasya masih memegangi perutnya dengan kedua tangan. Aku mengambil motor dengan tergesa, membuat kakiku menabrak motor lain. Ngilu! Tapi aku juga khawatir dengan kondisi Syasya. Bagaimana kalau dia sampai pendarahan dan meninggal? Apa itu artinya aku melakukan pembunuhan?"Ayo, Sya, buruan!" Ajakku menghentikan motor tepat di depannya."Aduh! Mas ini udah di ubun-ubun aku ketoilet dulu ya!" Syasya hampir saja melangkah pergi ketika aku langsung mencekalnya."Kenapa ketoilet lagi, nanti kamu justru kehabisan tenaga. Ayo! Kita langsung ke klinik biar di tangani!"Segera Syasya tak dapat menghindar karena tangannya aku pegangi dengan erat. Segera membawa menuju jok belakang motor. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan pegangan erat Syasya. Bahkan sesekali ia meremas pingangku, mungkin dia merasakan sakit yang teramat. Maafkan aku, Sya! Runtukku dalam hati.Perjalanan yang aku tempuh memakan waktu setengah jam. Membuat terasa begitu lama. Terlebih Syasya yang terus merau
5 Bulan kemudian.Acara resepsi pernikahanku di gelar di sebuah gedung bertingkat. Aku bangga, sekaligus bahagia dapat menambatkan hati kembali pada sosok keren dan setia seperti Mas Denis."Gimana pengantinnya? Apa sudah siap! Sebentar lagi akan nikah akan di lakukan." Seorang wanita yang kutahu karyawan kepercayaan Mas Denis memberitahu.Aku makin deg-degan di buatnya. Walau ini hal yang kedua kali aku lalui tapi nyatanya tak menyurutkan rasa nervous yang kualami."Sudah siap, Mbak?"Aku memandangi diri pada cermin. Riasan yang natural namun elegant, bahkan aku sampai tak mengenali diriku. Sungguh MUA yang profesional."Makasih ya, Mbak," ucapku tulus.Dua orang telah menungguku untuk menuju ruang akad nikah. Satu menggandengku dan satunya lagi memegangi bajuku yang terjuntai kelantai beberapa meter.Sungguh aku merasa bak Cinderella yang sedang menunggu singgasana. Derap langkah kaki berpacu dengan jantung yang makin tak menentu."Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan untuk tak s
PoV Nisa.Aku fokus pada tangan Pak Denis. Botol itu? Bukankah itu botol obatku. Ya Allah! Kali ini aku kecolongan. Aku lalai dan berakibat orang lain tahu bahwa aku mengkonsumsi obat penenang. Memang sekarang itu aku mudah sekali lupa, bahkan kadang juga linglung. Apa ini efek samping dari obat itu!Saat aku hentikan mereka yang akan berkelahi, kepalaku sudah mulai berdenyut. Sakit sekali. Jangan sampai aku kambuh, aku tak ingin semua ini terbongkar. Aku kuat, aku tegar!Kusupport diriku, namun tekanan batin makin menjadi. Terus menuju kepala, makin pusing. Rasa ingin berontak dan puncaknya benar. Aku berteriak bak orang gila. Pasti mereka kaget, karena tahu bahwa aku sebenarnya gila. Ya aku yakin setelah ini pasti aku di masukan ke RSJ.Kepala serasa di putar-putar. Makin pusing tak karuan. Melihat Pak Denis dan Mas Arman sudah tak jelas hingga semuanya gelap, pekat. Apakah aku meninggal?Tut ... Tut ... Tut ... Aku membuka mata, namun kepalaku terasa berat. Kulihat sekeliling tapi
Allah!Beberapa kali aku menyebut asma Allah, sungguh hati ini perih melihat kenyataan ini. Apa aku sangat kejam? "Ya Allah! Hukumlah aku! Jangan hukum Nisa, semua masalah berawal dariku!" Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit. Tak peduli jika ada orang yang memperhatikanku dalam.Pak Denis mendekat. Ia memegang kerahku. Aku pasrah saja. Memang aku pantas jika harus di pukul sekalipun."Apa ini yang kamu mau dari Nisa? Apa ini yang kamu inginkan, hah! Lihatlah, dia itu ibu dari anak-anakmu! Tak sedikitlah kamu iba?!" Pak Denis melepaskanmu hingga aku terjengkang kebelakang.Dia seperti sangat geram, bahkan tak kalah frustasinya. Dari itu aku sadar jika Pak Denis mencintai Nisa.Aku masih merundungi nasib di depan ruang ICCU. Nisa belum sadarkan diri. Kata dokter ada pembekuan otak akibat terlalu sering mengkonsumsi obat penenang dengan dosis tinggi. "Nisa sadarlah, aku janji akan melakukan apapun asal kamu sembuh. Aku ingin melihat kamu kembali bersama anak-anak. Aku akan pergi m
PoV Denis."Denis, kapan kamu nikah?" tanya Om Beni saat tengah kumpul keluarga."Nanti, Om. Belum ada yang cocok!" jawabku jengah, karena selalu hal itu yang di tanyakan saat bertemu. Seperti ngga ada pertanyaan lain saja!"Sampai kapan, Den! Usia kamu sudah tak muda lagi loh!" sambung Om Beni. Malas sekali meladeninya, ini yang membuat aku malas saat berkumpul dengan keluarga. Papa hanya diam, hanya dia orang yang tak pernah menuntut ku tentang pernikahan. Sedangkan Mama! ia sebenarnya lebih cerewet dari Om Beni."Den, Mama kenalin sama anak temen mama ya, Mama kenalin sama si A, Mama kenalin sama si B!" Sampai pusing aku dengarnya. Sekali dua kali aku ikuti kemauan mama.Sesi perkenalan lancar, sesi pendekatan? Rata-rata gagal total karena mereka menganggap aku aneh, mencintai mahluk berbulu. Kucing!Kadang ada yang juga masih mau menerima tapi aku tahu dia hanya pura-pura. Aku yakin orang tuanya memaksa untuk tetap bersabar sampai menikah denganku. Aku dengar saat mereka tengah m
"I-itu hanya masalah kecil saja, Man. Tak perlu di ungkit lagi!" jawab Ibu makin membuat penasaran. Apa mereka punya hubungan atau mereka mantan kekasih."Bu, menceritakan masa lalu pada anaknya itu ngga salah. Anggap saja sejarah!" Aku masih coba membujuk.Ibu mengeleng kepala dan melanjutkan menyiram tanaman."Kamu itu! Udahlah, sana pergi makan!" Ibu mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tak peduli, aku harus tahu masa lalu mereka."Jangan-jangan Ibu dan Bapak Nisa pernah ...." Aku tak melanjutkan kata-kataku, tapi dua jariku kusatukan menandakan bahwa mereka pernah berdekatan."Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu sama Mertuamu itu pernah pacaran begitu?" Aku mengangguk.Ibu menonyol kepalaku, "kamu itu pikirannya negatif Mulu!"Aku terkekeh, "abis Ibu tak mau cerita!""Baik, biar ibu ceritakan. Tadinya ibu sudah berusaha memaafkan karena melihat besarnya cintamu pada Nisa. Tapi, karena kamu memaksa ....""Udah ayo cerita, Bu! Jangan kepanjangan ceramahnya!" Kupotong ucapan Ibu yang bel
PoV NisaAku harus mencari pengganti Ningsih, dia bilang kemarin sempat cek pakai testpack di kamar mandiku dan terlihat dua garis walau agak buram. Saat aku mencarinya, ketika dia menyuruhku untuk mamastikan. Nyatanya sudah tak ada.Beruntung dia, setelah lama mengidamkan anak dalam pernikahannya akhirnya ia dapatkan juga. Penuh syukur.Namun, tetap berimbas padaku, aku harus mencari baby sitter baru untuk anakku. Karena Ningsih ingin benar-benar bed rest.Kesal dengan semua ulah Mas Arman! Dia itu makin menyebalkan. Beruntung aku punya teman macam Pak Denis, kita itu satu alur. Sama-sama pecinta kucing."Kamu suka kucing dari dulu, kenapa tak memelihara?" tanya Pak Denis waktu kami tengah bermain dengan ratusan ekor kucing yang super gembul.Aku menggaruk kepala, seketika ada kutu hinggap."Anu, Pak! Suamiku tak suka, bahkan dia jijik katanya." Kukatakan saja sejujurnya. "Benarkah?" Pak Denis terlihat tak yakin, sesaat sepertinya ia tengah berfikir."Bagaimana kalau kamu bawa aja b
"Ti-ti-tidakkkk! Aku tak mungkin bisa! Ti-ti-tidakkkk, Nisa!"Brughh!Aku terperanjat kaget saat meja kerjaku di gedor. Aku yang tengah bermimpi indah kembali dengan Nisa menjadi bubar.Sorot mata Bu Maria yang notaben-nya sueeper galak di tambah tak suka dengan sikapku menunjukan ekstensinya."Mau kerja apa mau tidur! Ngigau lagi, mau saya pecat?!"Duh kan keluar semua tanduknya, ibu gembrot yang memang tidak mempunyai anak. Mungkin karena judes jadi anakpun enggan singgah! Eh, ngga boleh suuzon."Maaf, Bu. Saya ketiduran karena semalam begadang. Mohon maaf, ngga akan saya ulangi." Aku memohon walau semua kulakukan karena terpaksa. Terpaksa karena masih butuh pekerjaan ini dan juga ingin dekat dengan Nisa."Bu!" Panggil seseorang yang sudah sangat aku hafal suaranya. Siapa lagi kalau bukan istriku Nisa."Iya sebentar. Saya ingin kasih peringatan pada karyawan satu ini! Dia itu suka molor di jam kantor!"Nah dia mau memperpanjang. Gaya banget, jabatan kita cuma beda satu level, sok-so
"Masya Allah, Astaghfirullah, Nisa ... Ini apa-apaan?!" Teriakku di depan pintu. Bergidik ngeri saat mahluk berbulu mendekat kearahku dan mengendus kakiku dan ini bukan cuma satu!Ngeong!Ngeong!Suara khasnya membuat aku pusing, terlebih mereka mendekat kearahku dan bermain di kakiku. Seolah aku orang tua mereka."Nisa! Singkirkan mereka dariku!" Kembali aku teriak karena si pemilik nama belum juga menunjukan batang hidungnya.Terlihat Nisa mendekat, dia juga tengah mengendong satu kucing gemuk."Apa si, Mas? Teriak-teriak begitu!" dia menjawab tanpa dosa dan mulai berjalan menjauh."Nisa! Jangan kurang ajar! Bukankah aku sudah melarang kamu membawa binatang menjijikan ini? Kenapa justru kamu bawa pasukannya? Kamu mau jadi pembangkang!" Seruku tak terkendali. Aku benar-benar geram akan ulahnya."Memangnya sekarang kamu siapa, Mas? Melarang aku membawa mahluk terimut yang Allah ciptakan," ucapnya sambil mencium kucingnya. Aku bergidik ngeri.Ihhh!"Tapi aku kan masih tinggal di sini d
Syasya masih memegangi perutnya dengan kedua tangan. Aku mengambil motor dengan tergesa, membuat kakiku menabrak motor lain. Ngilu! Tapi aku juga khawatir dengan kondisi Syasya. Bagaimana kalau dia sampai pendarahan dan meninggal? Apa itu artinya aku melakukan pembunuhan?"Ayo, Sya, buruan!" Ajakku menghentikan motor tepat di depannya."Aduh! Mas ini udah di ubun-ubun aku ketoilet dulu ya!" Syasya hampir saja melangkah pergi ketika aku langsung mencekalnya."Kenapa ketoilet lagi, nanti kamu justru kehabisan tenaga. Ayo! Kita langsung ke klinik biar di tangani!"Segera Syasya tak dapat menghindar karena tangannya aku pegangi dengan erat. Segera membawa menuju jok belakang motor. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan pegangan erat Syasya. Bahkan sesekali ia meremas pingangku, mungkin dia merasakan sakit yang teramat. Maafkan aku, Sya! Runtukku dalam hati.Perjalanan yang aku tempuh memakan waktu setengah jam. Membuat terasa begitu lama. Terlebih Syasya yang terus merau