Suamiku berkata dengan marah. Dia seharusnya merendahkan suaranya, tetapi malah berbicara dengan begitu kuat, sampai-sampai aku mendengar semuanya."Ayah, pokoknya kita sudah sepakat. Aku bantu kamu dan Ibu bercerai, kamu kasih aku 200 juta. Aku benaran butuh uang itu." Terdengar suara putraku.Seketika, telingaku berdengung. Cerai? Dua ratus juta?"Tentu saja. Aku selalu menabung selama ini. Tapi, kamu juga nggak boleh menentang kalau aku menikahi Tika."Aku tidak sanggup mendengar obrolan mereka lagi. Aku merasa diriku sangat menyedihkan. Hanya karena mendengar suamiku jatuh sakit, aku langsung menyerahkan uangku. Bagaimana bisa aku memercayai mereka semudah itu?Aku berkeliaran di jalan sepanjang sore. Aku memikirkan sangat banyak hal dan memutuskan untuk bercerai. Aku tidak memberi tahu siapa pun tentang ini, termasuk sahabatku.Kali ini, tekadku sudah buat. Aku berpura-pura tidak terjadi masalah. Aku membeli sup ayam, lalu pergi ke rumah sakit.Suamiku masih berbaring di ranjang d
"Dua puluh juta?" Aku mengangkat alis dan langsung menggeleng. "Aku dan ayahmu punya aset bersama, termasuk rumah itu. Kami sudah menikah bertahun-tahun. Bukannya seharusnya dibagi rata kalau cerai? Aku nggak setuju kalau cuma 20 juta."Dulu, kami bertiga saling menyayangi. Kini, kami bertengkar karena uang. Sebenarnya aku tidak berniat meminta banyak. Bagaimanapun, semua itu akan menjadi milik putra kami. Namun, aku ingin membuat mereka marah.Setelah berdebat untuk waktu yang lama, aku akhirnya berkata, "Begini saja, aku ambil uang itu. Sisanya termasuk aset bersama. Sebaiknya diberikan kepada putra kita saja. Sisanya kamu bawa untuk menghidupi wanita simpananmu."Mata putraku pun berbinar-binar. Dia tidak menyangka akan ada hal sebaik ini. Kami akhirnya bercerai. Tiga puluh hari lagi, kami akan pergi mengambil akta nikah.Karena kami sama-sama menyetujui perceraian ini, semuanya pun berjalan lancar. Aku menelepon sahabatku. "Aku sudah cerai! Cepat kemari and bantu aku pindahan!"Sah
"Kamu ini cuma ingat ibumu kalau butuh. Kalau ada yang menjaga anakmu, mana mungkin kamu teringat ibumu? Waktu kalian makan kue, kenapa nggak ingat ibumu? Kamu ini merusak pemandangan saja! Ibumu nggak punya waktu! Bukannya kalian bilang kalian bisa hidup tanpa ibumu? Kenapa malah menjilat ludah sendiri? Pergi sana! Ibumu nggak mau membantu kalian!"Sahabatku langsung membantuku mengusir putraku. Pintu ditutup. Sahabatku mengamatiku dengan serius. Setelah memastikan aku tidak merasa kasihan pada mereka, dia pun menghela napas lega.Hatiku memang tidak tergerak. Hanya saja, aku pasti merasa kasihan kepada putraku untuk sesaat. Namun, semua itu tidak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang kuterima selama ini.Kami berdua lanjut merencanakan perjalanan ke luar negeri kami. Beberapa hari kemudian, putraku datang lagi dengan membawa anaknya. Mereka terlihat sangat kasihan."Ibu, aku benaran nggak bisa jaga Levin lagi. Rumah sangat kacau. Tolong jaga dia untuk beberapa hari." Usai berbicar
Aku tidak merasakan apa-apa saat mendengarnya.Setibanya di depan rumah, kami mendapati pintu tidak tertutup rapat. Dari dalam, terdengar suara pertengkaran.Kami awalnya ingin meninggalkan Levin begitu saja, tetapi sahabatku merasa penasaran. Dia menarikku untuk tidak pergi supaya bisa menonton drama seru ini."Semua ini gara-gara kamu! Semuanya baik-baik saja waktu ada Ibu! Sekarang kamu ditipu sampai cuma kolor yang tersisa! Memalukan sekali! Gimana bisa aku punya ayah sepertimu?""Memangnya aku bisa apa sekarang? Kamu juga nggak sadar kalau dia adalah penipu, 'kan? Lagian, bukan cuma aku yang mendesak ibumu pergi. Kamu juga sama. Pokoknya aku nggak mau tahu apa-apa. Kalian nggak mungkin mengabaikanku begitu saja, 'kan? Aku sudah tua!"Suara pertengkaran terus terdengar. Sahabatku mengelus rambut keritingnya sambil berjalan masuk dengan santai."Eh, ada yang berantem ya? Aku datang di waktu yang salah. Raffi, bukannya kamu baru nikah? Kenapa? Kamu ditipu sampai cuma kolor yang tersi
Sopir yang menabrakku menelepon orang rumahku berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Aku rasa, mereka seharusnya sedang sibuk. Sibuk merayakan ulang tahun cucuku.Setelah aku diobati, sopir mengantarku pulang. Sebelum masuk, aku sudah mendengar tawa dari dalam. Sepertinya, ada aku atau tidak di rumah ini sama saja.Untuk sesaat, aku agak linglung. Kunci di tanganku terjatuh. Orang-orang baru menyadari keberadaanku.Aku mengira mereka akan merasa bersalah, tetapi mereka malah melihatku dengan ekspresi datar."Kenapa kamu baru pulang? Ngapain saja di luar? Kenapa nggak menghadiri acara ulang tahun cucu sendiri?" keluh suamiku.Aku memaksakan senyuman sambil menatap cucuku. "Levin, Nenek membelikanmu ...." Kalung emas."Ibu, kita sudah siap makan. Kamu terlambat. Bantu kami bersihkan ya. Kamu lihat saja masih ada makanan apa di dapur." Sebelum aku selesai bicara, menantuku sudah menyelaku dan membawa anaknya pergi.Putraku sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak peduli pada ibunya.
Usai berpesan, putraku langsung keluar dan menutup pintu. Saat berikutnya, terdengar suara menantuku. "Masak pun nggak bisa. Kita jadi harus makan di luar. Dasar malas!"Putraku membujuk istrinya dan suasana kembali tenang. Mereka pun pergi kerja.Segera, yang terdengar adalah dengkuran suamiku. Dia tidur dengan sangat lelap. Atas dasar apa?Kenapa aku yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah? Kenapa mereka langsung memarahiku cuma karena aku tidak masak satu kali? Apakah mereka tidak melihat pengorbananku selama ini?Seketika, aku merasa sangat lelah. Dengkuran suamiku yang memekakkan telinga masih terdengar. Pikiranku dipenuhi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan hari ini.Aku merasa aku seperti dikurung di ruangan yang kedap udara dan suhunya lebih dari 40 derajat. Aku merasa sesak, tetapi tetap bangun dari ranjang.Setelah mengganti pakaian dengan susah payah, aku pergi membangunkan cucuku. Anak kecil paling sulit dibangunkan, terutama cucuku ini.Setelah membangunkannya denga
Sahabatku mematikan kompor, lalu berkacak pinggang dan menyuruhku menjawab panggilan."Ibu! Kenapa kamu nggak antar Levin ke sekolah? Gurunya meneleponku! Gimana bisa kamu lupa soal ini! Sekolah sangat penting! Gimana bisa kamu membuat kesalahan seperti ini!"Aku membuka mulut dan hendak menjelaskan, tetapi sahabatku tiba-tiba merebut ponselku."Cih! Ayahmu sudah mati ya! Dia nggak bisa antar cucunya ke sekolah? Semua-semua mau ibumu! Kamu kira ibumu pembantu? Pembantu sekalipun digaji! Memangnya apa yang kamu kasih ke dia? Dasar nggak tahu malu! Ibumu nggak mau tinggal sama kalian lagi! Terserah kalian siapa yang mau mengerjakan pekerjaan rumah!"Sahabatku sudah mau berusia 60 tahun, tetapi dia masih sangat galak saat marah. Dia terlihat lebih berenergi daripadaku.Makiannya itu membuat kekesalanku sirna. Air mataku menetes. Aku menepuk-nepuk sahabatku dan berkata, "Ayo makan, aku sudah lapar."Tanpa perlu aku bicara panjang lebar, sahabatku ini bisa memahamiku. Aku berniat tinggal di
Aku tidak merasakan apa-apa saat mendengarnya.Setibanya di depan rumah, kami mendapati pintu tidak tertutup rapat. Dari dalam, terdengar suara pertengkaran.Kami awalnya ingin meninggalkan Levin begitu saja, tetapi sahabatku merasa penasaran. Dia menarikku untuk tidak pergi supaya bisa menonton drama seru ini."Semua ini gara-gara kamu! Semuanya baik-baik saja waktu ada Ibu! Sekarang kamu ditipu sampai cuma kolor yang tersisa! Memalukan sekali! Gimana bisa aku punya ayah sepertimu?""Memangnya aku bisa apa sekarang? Kamu juga nggak sadar kalau dia adalah penipu, 'kan? Lagian, bukan cuma aku yang mendesak ibumu pergi. Kamu juga sama. Pokoknya aku nggak mau tahu apa-apa. Kalian nggak mungkin mengabaikanku begitu saja, 'kan? Aku sudah tua!"Suara pertengkaran terus terdengar. Sahabatku mengelus rambut keritingnya sambil berjalan masuk dengan santai."Eh, ada yang berantem ya? Aku datang di waktu yang salah. Raffi, bukannya kamu baru nikah? Kenapa? Kamu ditipu sampai cuma kolor yang tersi
"Kamu ini cuma ingat ibumu kalau butuh. Kalau ada yang menjaga anakmu, mana mungkin kamu teringat ibumu? Waktu kalian makan kue, kenapa nggak ingat ibumu? Kamu ini merusak pemandangan saja! Ibumu nggak punya waktu! Bukannya kalian bilang kalian bisa hidup tanpa ibumu? Kenapa malah menjilat ludah sendiri? Pergi sana! Ibumu nggak mau membantu kalian!"Sahabatku langsung membantuku mengusir putraku. Pintu ditutup. Sahabatku mengamatiku dengan serius. Setelah memastikan aku tidak merasa kasihan pada mereka, dia pun menghela napas lega.Hatiku memang tidak tergerak. Hanya saja, aku pasti merasa kasihan kepada putraku untuk sesaat. Namun, semua itu tidak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang kuterima selama ini.Kami berdua lanjut merencanakan perjalanan ke luar negeri kami. Beberapa hari kemudian, putraku datang lagi dengan membawa anaknya. Mereka terlihat sangat kasihan."Ibu, aku benaran nggak bisa jaga Levin lagi. Rumah sangat kacau. Tolong jaga dia untuk beberapa hari." Usai berbicar
"Dua puluh juta?" Aku mengangkat alis dan langsung menggeleng. "Aku dan ayahmu punya aset bersama, termasuk rumah itu. Kami sudah menikah bertahun-tahun. Bukannya seharusnya dibagi rata kalau cerai? Aku nggak setuju kalau cuma 20 juta."Dulu, kami bertiga saling menyayangi. Kini, kami bertengkar karena uang. Sebenarnya aku tidak berniat meminta banyak. Bagaimanapun, semua itu akan menjadi milik putra kami. Namun, aku ingin membuat mereka marah.Setelah berdebat untuk waktu yang lama, aku akhirnya berkata, "Begini saja, aku ambil uang itu. Sisanya termasuk aset bersama. Sebaiknya diberikan kepada putra kita saja. Sisanya kamu bawa untuk menghidupi wanita simpananmu."Mata putraku pun berbinar-binar. Dia tidak menyangka akan ada hal sebaik ini. Kami akhirnya bercerai. Tiga puluh hari lagi, kami akan pergi mengambil akta nikah.Karena kami sama-sama menyetujui perceraian ini, semuanya pun berjalan lancar. Aku menelepon sahabatku. "Aku sudah cerai! Cepat kemari and bantu aku pindahan!"Sah
Suamiku berkata dengan marah. Dia seharusnya merendahkan suaranya, tetapi malah berbicara dengan begitu kuat, sampai-sampai aku mendengar semuanya."Ayah, pokoknya kita sudah sepakat. Aku bantu kamu dan Ibu bercerai, kamu kasih aku 200 juta. Aku benaran butuh uang itu." Terdengar suara putraku.Seketika, telingaku berdengung. Cerai? Dua ratus juta?"Tentu saja. Aku selalu menabung selama ini. Tapi, kamu juga nggak boleh menentang kalau aku menikahi Tika."Aku tidak sanggup mendengar obrolan mereka lagi. Aku merasa diriku sangat menyedihkan. Hanya karena mendengar suamiku jatuh sakit, aku langsung menyerahkan uangku. Bagaimana bisa aku memercayai mereka semudah itu?Aku berkeliaran di jalan sepanjang sore. Aku memikirkan sangat banyak hal dan memutuskan untuk bercerai. Aku tidak memberi tahu siapa pun tentang ini, termasuk sahabatku.Kali ini, tekadku sudah buat. Aku berpura-pura tidak terjadi masalah. Aku membeli sup ayam, lalu pergi ke rumah sakit.Suamiku masih berbaring di ranjang d
Aku mendengar tangisan Levin di ujung telepon sehingga tidak meragukan perkataan putraku. Aku langsung memercayainya.Perasaanku sungguh campur aduk sekarang. Berbagai kenangan di masa lalu membanjiri benakku. Setelah dipikir-pikir, sepertinya kesalahan mereka bisa dimaafkan?Sahabatku mengantarku ke rumah sakit. Di dalam bangsal, tampak suamiku berbaring di ranjang dengan lemas. Putraku berjaga di sampingnya. Matanya berkaca-kaca dan sembap.Sahabatku pun tidak berbicara kasar lagi. Aku menepuk putraku dan berujar, "Kamu pulang saja. Biar aku yang jaga ayahmu."Putraku mendongak dan menatapku seperti melihat penyelamat. Sambil menahan air matanya, dia mengangguk.Dengan bantuan sahabatku, cederaku sudah pulih. Aku tidak tidur semalaman menjaga suamiku.Aku lelah hingga mengantuk. Pagi harinya, putraku membawakanku sup. Ini adalah hal yang tidak pernah terjadi."Ibu, kita carikan pengasuh untuk Ayah saja. Jangan sampai kamu kelelahan. Kami juga nggak punya waktu menjaganya. Aku nggak t
Sahabatku mematikan kompor, lalu berkacak pinggang dan menyuruhku menjawab panggilan."Ibu! Kenapa kamu nggak antar Levin ke sekolah? Gurunya meneleponku! Gimana bisa kamu lupa soal ini! Sekolah sangat penting! Gimana bisa kamu membuat kesalahan seperti ini!"Aku membuka mulut dan hendak menjelaskan, tetapi sahabatku tiba-tiba merebut ponselku."Cih! Ayahmu sudah mati ya! Dia nggak bisa antar cucunya ke sekolah? Semua-semua mau ibumu! Kamu kira ibumu pembantu? Pembantu sekalipun digaji! Memangnya apa yang kamu kasih ke dia? Dasar nggak tahu malu! Ibumu nggak mau tinggal sama kalian lagi! Terserah kalian siapa yang mau mengerjakan pekerjaan rumah!"Sahabatku sudah mau berusia 60 tahun, tetapi dia masih sangat galak saat marah. Dia terlihat lebih berenergi daripadaku.Makiannya itu membuat kekesalanku sirna. Air mataku menetes. Aku menepuk-nepuk sahabatku dan berkata, "Ayo makan, aku sudah lapar."Tanpa perlu aku bicara panjang lebar, sahabatku ini bisa memahamiku. Aku berniat tinggal di
Usai berpesan, putraku langsung keluar dan menutup pintu. Saat berikutnya, terdengar suara menantuku. "Masak pun nggak bisa. Kita jadi harus makan di luar. Dasar malas!"Putraku membujuk istrinya dan suasana kembali tenang. Mereka pun pergi kerja.Segera, yang terdengar adalah dengkuran suamiku. Dia tidur dengan sangat lelap. Atas dasar apa?Kenapa aku yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah? Kenapa mereka langsung memarahiku cuma karena aku tidak masak satu kali? Apakah mereka tidak melihat pengorbananku selama ini?Seketika, aku merasa sangat lelah. Dengkuran suamiku yang memekakkan telinga masih terdengar. Pikiranku dipenuhi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan hari ini.Aku merasa aku seperti dikurung di ruangan yang kedap udara dan suhunya lebih dari 40 derajat. Aku merasa sesak, tetapi tetap bangun dari ranjang.Setelah mengganti pakaian dengan susah payah, aku pergi membangunkan cucuku. Anak kecil paling sulit dibangunkan, terutama cucuku ini.Setelah membangunkannya denga
Sopir yang menabrakku menelepon orang rumahku berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Aku rasa, mereka seharusnya sedang sibuk. Sibuk merayakan ulang tahun cucuku.Setelah aku diobati, sopir mengantarku pulang. Sebelum masuk, aku sudah mendengar tawa dari dalam. Sepertinya, ada aku atau tidak di rumah ini sama saja.Untuk sesaat, aku agak linglung. Kunci di tanganku terjatuh. Orang-orang baru menyadari keberadaanku.Aku mengira mereka akan merasa bersalah, tetapi mereka malah melihatku dengan ekspresi datar."Kenapa kamu baru pulang? Ngapain saja di luar? Kenapa nggak menghadiri acara ulang tahun cucu sendiri?" keluh suamiku.Aku memaksakan senyuman sambil menatap cucuku. "Levin, Nenek membelikanmu ...." Kalung emas."Ibu, kita sudah siap makan. Kamu terlambat. Bantu kami bersihkan ya. Kamu lihat saja masih ada makanan apa di dapur." Sebelum aku selesai bicara, menantuku sudah menyelaku dan membawa anaknya pergi.Putraku sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak peduli pada ibunya.