Beberapa hari berlalu, setelah sebelumnya tidak berani melihat cermin, hari ini April putuskan ingin melihat wajahnya. Ia harus tahu sebelum memikirkan akan ke mana setelah ini.
Melangkah ke luar kamar, ia celingukan mencari kaca. Tidak ada. Ia pun ke dapur. Setelah melihat ke sana ke mari pandangnya terjatuh pada sebuah cermin kecil tergantung di dinding, dekat keran pencuci tangan.
Astaga!
Seketika seperti terhenti bernapas, lihat bayangan wajahnya yang jauh berbeda. Di atas pipi ada bulat besar kehitaman, di pelipis juga, bibir hitam membesar, belum lagi hidung …!
Ini bukan aku! Bukan!
April mundur, membuang pandang. Napasnya menderu.
Ia tidak percaya itu wajahnya. Sesaat kemudian ia kembali memberanikan diri melihat lagi, masih menampak
“Maaf Pak Danang, tadi hapene bunyi terus, saya angkat. Itu dari saudaranya tanya alamat sini.”“Oh, inggih, mboten menapa, Bu.” Telepon genggam milikku disodorkan oleh salah seorang pengelola panti.Aku habis dari kamar kecil di belakang, tadi benda berlayar lebar, yang dibelikan Almira ini ketinggalan, tergeletak di ruang bayi, seusai aku video call sama Naya dan Syifa, karena tadi mereka mau lihat Adam.Kuperhatikan itu nomor baru yang masuk.Siapa?Apa Dina ganti nomor? Atau saudara di sini, yang tahu aku tinggal di Jawa tapi tidak menemui mereka?Karena belum isi pulsa aku tidak telepon balik, ponsel kukantungi dalam saku celana.Sekarang ini masih harus gerak bersihkan halaman depan. Tadi angin kencang pasti
Ia bangun, berdiri, tangannya cepat membuka cadar begitu saja. Tampaklah mata dan pipinya basah. Tercenung sejenak aku melihat wajahnya. Hidung bengkak seperti bekas disengat, mulutnya juga jadi tebal dan hitam, seperti pembekuan darah di bibir atasnya. Beberapa bagian wajah April juga terlihat banyak perubahan. “Ini berarti benar mantan istrinya Bapak?” Wanita berkerudung teman April tadi bicara. “Dia ini terlunta di jalan, Pak. Kasihan, numpang tidur di emperan toko saudara saya. Kebetulan saya memang sedang mau ke Jawa, nah Mbak ini minta tolong belikan tiket kapal juga, trus minta antar ke sini. Kasihan mau ketemu anaknya yang Bapak bawa.” Aku terperangah, merasa tidak percaya sampai sulit berucap. “Saya pulang.” Ia menyentuh pundak April. “Semoga masalahnya selesai, Mbak.” April masih tergug
“Ada apa lagi?” “Mas Danang, dengarkan aku. Maafkan aku, Mas …!” Lama-lama orang ini membuat muak. “Telepon cuma mau bilang itu saja, hah?” “Gimana, Mas-“ “Apanya yang gimana? Semua sudah dijawab. Berulang-ulang malah, apa kamu ini tidak punya malu?” “Mas, aku minta alamat Almira, kita harus bica-“ “Tidak usah! Tidak ada yang perlu dibicarakan!” Kukibas tangan ke udara, lekas menutup sambungan telepon, kumatikan sekalian hapenya biar tidak terus diganggu. April makin lama terasa seperti hantu, gentayangan di kota ini untuk menerorku. Ia sudah tinggal di yayasan yang ajarkan keterampilan gratis untuk penghuninya, diajar keras sampai mereka bisa hidup mandiri setelah keluar, tapi memang dasar April
Almira sempat nengok Adam sebentar, sebelum bertugas ke klinik yang jadi gabungan ia dan teman-temannya buka praktik. Aku menolak saat ia tawarkan Adam dipindah ke kliniknya, biarlah di sini saja. Biaya rumah sakit tentu lebih murah dibanding klinik, aku juga tidak mau membuat Almira malu di depan temannya karena kami. Ia meninggalkan uang untuk biaya Adam. “Ayah punya uang, Nak, tidak usah.” Aku menolak, tapi Almira memaksa. Terpaksa kuterima. Hari sebentar lagi gelap, aku merasa amat lelah. Kepala mulai tegang lagi, kuputuskan pulang saja, ada April di ruang ini. “Kamu jaga Adam,” ujarku lemah. Selain lelah raga, pikiran yang berkecamuk juga menambah lemah dayaku. April memang lebih baik di sini, ia memang mau ke mana pulang coba? Kabur dari yayasan, setelah pinjam uang 50 ribu dari seseorang di sana. Bodoh sekali! Apa s
Belum separuh jalan ke klinik, kok, perasaanku tidak enak. Kuputar arah kendaraan kembali ke rumah. Sambil fokus mengemudi aku mencari kontak Santi. Dua kali panggilan baru dijawab, yang angkat Simbok. “Santi mana, Mbok?” “Lagi di ruang bapake, Bu Almira.” “Oh, ya sudah, memang aku mau suruh ke sana.” “Iya, sepertinya ada suara ribut-ribut. Ini Adam sama saya di kamar tamu.” “Ribut? Iya, iya, ini aku pulang.” Kututup telepon. Ada apa? Mungkin ini jawaban perasaanku yang tidak enak. Kalau lihat wajah Kak April rasanya aku menaruh perasaan lain. Sesuatu yang sulit kujelaskan. Semoga Ayah baik-baik saja.
Kusenyumi Mas Angger sebelum bicara. “Yah, begini. Al mau meluruskan. Mungkin Ayah sudah salah paham sampe sakit begini. Aku tahu Mas Angger sama Santi-“ “Ugh! Ti-dak ma-u deng-al …!” Ayah mengibas angin, melambai tangan gemetar dengan reaksi tegang. Melarangku melanjutkan bicara. Kutarik napas panjang, harus tenang untuk meyakinkan kalau Ayah sudah salah paham. Lengannya ku elus perlahan. “Malam itu aku sama Mas Angger kena diare, Yah …” Kutatap matanya, meyakinkan kalau kataku ini benar. “Mas Angger ke luar dari kamar mandi, aku masuk. Eh, aku belum tuntas dia sakit perut lagi, padahal sudah minum obat. Kuminta tunggu, dianya sudah gak tahan, terpaksa mau ke dapur padahal Mas Angger ini paling sulit pake kloset jongkok.” Aku melihat reaksi Ayah tampak cukup kage
PoV Soraya “Mama bisa gak di sini aja, nungguin sampai Denok lahiran ….” Mengerucut bibir mungil, dari pemilik pipi yang tembam ini. “Mama tiap bulan pasti ke sini, Nok.” Ku usap gemas pipi Denok, masuk kehamilan trimester tiga kulitnya terlihat makin bersih bercahaya. Bungsuku terlihat cantik dengan badan berat bertambah 9 kiloan. "Kalau bisa tinggal, Ma. Gak usah balik ke Jogja." "Mama belum bisa putuskan. Tapi insyaAllah kamu lahiran mama di sini." "Yaah ...!" Nada kecewa Denok kusenyumi saja, benar kata Jerry istrinya makin manja selangit. Aku dan Mas Mahesa sekarang ada di Kalimantan, setelah semua urusannya beres kami bisa pergi bersama kali ini. Baru tiba kemarin siang, tadi malam nginap di rumah Denok. Ini lagi di mobil akan
“Dik, nomor baru.” Seperti biasa, Mas Mahesa menyodorkan ponselnya padaku. Aku yang tengah akan rebah ke pembaringan kembali duduk. Sejak diblokir nomor sebelumnya, perempuan itu menggunakan nomor lain. Chat berisi puisi syahdu, selalu begitu yang ia kirimkan. Aku memperbaiki posisi duduk, bersandar pada punggung bed. Sementara Mas Mahesa membaringkan diri di sebelahku, menggenggam jemari kiri ini lembut. Kangmas, belum cukupkah ini bagimu? Apa kau tak merasa detak jantungku? Irama setiap embusan napas Bahkan derasnya setiap aliran darahku? Semuanya menyebut namamu di hatiku Isi chat begini hanya aku yang baca. Mas Mahesa tidak mau merusak pikirannya
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga