Juli memandang Juni dengan takjub, mulutnya setengah terbuka.
“Lu yakin itu bener Jun?”
“Iya, gue yakin banget.”
“Kalau si Pak Badi bohong gimana?”
“Ngapain dia musti bohong Jul, gak ada untungnya juga buat dia.”
“Iya juga sih..”
Mereka kemudian terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kita perlu tanya Nenek gak ya?”
“Gak perlu Jul. Kalau kita tanya nanti yang bakal kena marah si Mang Oding sama Pak Badi, kasihan mereka.”
Juli manggut-manggut.
“Terus…kita mau cari panti asuhan itu nanti di Jakarta?”
“Iya, tadi Sandra bilang kalau dia seperti pernah dengar nama panti itu, gue udah cari di map sih gak ada.”
“Kalau di map gak ada berarti itu panti udah tutup kali Jun. Lu udah coba search di internet?”
“Udah, gak ada juga.”
“Terus kita mau car
“Ada apa Larso?” Dimas memandang Briptu Sularso dengan pandangan cemas.“Iya Larso, kenapa?” Jelita bertanya tidak sabar. Hatinya gelisah.“Anggota team saya tidak menemukan Putri di kost Hadi tapi ada saksi mata yang melihat seorang wanita yang cirinya mirip dengan foto Putri tidak jauh dari rumah sakit ini.”“Terus, saksi mata itu lihat Putri kemana?”Briptu Sularso memandang Dimas.“Menurut keterangan si saksi mata, wanita itu terlihat seperti bingung dan….”Briptu Sularso terdiam sejenak seperti sedang mencari kalimat yang tepat untuk dikatakan.“Melompat dari jembatan ke arah sungai di seberang rumah sakit ini.”Jelita menggenggam tangan Dimas dengan gemetar.“Putri lompat?” Dimas mengulang perkataan Briptu Sularso dengan rasa tidak percaya.“Saya belum bisa bilang kalau itu Putri tapi memang ciri-cirinya mirip de
Perahu karet yang ditumpangi oleh Dimas, Jelita dan Rahadi semakin mendekati pinggir sungai. Samar-samar mereka melihat ada sosok mengapung tersangkut di akar pohon. Tidak ada yang mampu berbicara atau saling bertanya apakah benar itu Putri? Semua terdiam sambil menunggu perahu itu mendekat ke sana. “Selamat siang bapak-bapak dan Ibu, selamat siang Briptu Larso,” sapa salah satu petugas yang telah menunggu di sana dengan ramah. Ia lalu menarik perahu agar lebih mendekat ke pinggir. Jelita memalingkan wajahnya dari sosok yang mengapung itu, rasanya ia tidak sanggup melihatnya. “Selamat siang Briptu Anwar,” sapa Briptu Sularso. Setelah perahu mendekat, Briptu Sularso kemudian memandang ke arah Dimas, Jelita dan Rahadi. “Silahkan Bapak dan Ibu melihat, apakah benar ini jasad Putri?” Dimas memandang sosok tubuh seorang wanita berambut panjang yang sedang dalam posisi menelungkup itu dengan sedikit ngeri. Ia belum pernah melihat may
Juli menatap Rendy yang sedang sibuk menerima pembayaran di meja kasir. Hari ini adalah Jumat sore dan memang biasanya tamu yang datang ke café JaRe lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Kemungkinan dikarenakan menjelang weekend orang-orang lebih santai sehingga bisa menghabiskan banyak waktu untuk nongkrong bersama teman atau sekedar jalan-jalan melepas kepenatan akibat rutinitas sehari-hari.“Sorry Jul, gue sibuk banget jadi baru bisa nemenin lu sekarang,” kata Rendy sambil duduk di hadapan Juli. Antrian orang yang akan membayar di meja kasir sudah tidak terlihat lagi.“Iya gak apa-apa Ren,” jawab Juli selembut mungkin.“Jadi gimana resep Nek Zalma nih? Udah berhasil dibuat dong.”Juli mesem-mesem.“Yaa kalau menurut gue sih bisa Ren tapi gak tahu nanti pas jualan gimana.”“Musti yakin Jul. Gue aja buka kedai kopi ini modal nekat. Emang sih gue pernah belajar jadi barista dan s
Putri mematikan telepon genggamnya dan meletakkannya di atas meja di samping tempat tidur. Hotel bintang tiga yang ia tempati saat ini meski memiliki ruangan yang lebih kecil daripada kamarnya di rumah tapi terasa nyaman. Designnya rapi dan minimalis. Selain itu, jauh dari keluarga justru membuat Putri merasa lebih tenang.Ketenangan, itu memang satu hal yang paling ia butuhkan sekarang.Banyak hal yang harus ia pikirkan terutama mengenai janin yang ada di kandungannya saat ini. Apa yang harus ia lakukan? Keluarganya menolak janin ini tapi ia tetap ingin mempertahankannya. Putri sadar resiko terberat yang ia harus tanggung apabila tetap mempertahankan kehamilannya adalah dibuang dari trah keluarga Kusuma yang kaya raya dan tanpa cela.Sebenarnya Putri belum siap kalau harus berpisah dari keluarganya. Ia belum mandiri dan masih mengandalkan pemasukan uang dari ayahnya dan sang nenek. Tapi apa daya, demi janin ini dan juga cintanya kepada Hadi, ia harus siap untuk
Andrea memarkirkan mobilnya masuk ke halaman Hotel Viena. Beberapa mobil nampak terparkir di sana meski tidak terlalu penuh. Andrea melihat lagi ke arah telepon genggamnya. Putri sama sekali tidak mengirim lokasi hotel ini, akhirnya ia mencarinya sendiri dengan menggunakan fitur navigasi di telepon genggamnya. Kemana sih nih anak, gerutunya dalam hati. Ia mencoba berkali-kali menelepon Putri tapi tidak diangkat. Setelah mencoba menelepon Putri sekali lagi dan tetap tidak diangkat, akhirnya Andrea memutuskan untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam hotel. Ia berpikir, mungkinkah Putri menggunakan nama samaran ketika menginap di sini? Rasanya tidak mungkin. Putri jarang mengalami hal-hal yang ekstrim dalam kehidupannya jadi ia tidak terlatih untuk berpikir sejauh itu. Putri pasti tetap memakai nama asli, apalagi sebelum check in resepsionis hotel pasti meminta tanda pengenal sehingga lebih tidak mungkin lagi Putri berani menggunakan nama samaran. “Ada yang bis
Dimas bergegas menuju ke ruangan IGD Rumah Sakit Flamboyan begitu diberitahu oleh Briptu Sularso kalau Putri sudah tiba di sana. Namun sayang, dia tidak bisa melihat anak perempuannya itu karena sudah keburu dibawa ke ruang operasi.“Malam Pak Dimas,” sapa Briptu Sularso ketika ia baru saja sampai di depan ruang IGD dan melihat Dimas sedang berdiri mematung di sana.“Malam Larso,” jawab Dimas dengan suara lemah.“Sebaiknya kita menunggu di sana aja.” Briptu Sularso menunjuk ke kursi-kursi kosong yang ada di lobby rumah sakit.Dimas mengangguk.Mereka kemudian berjalan ke arah deretan bangku kosong itu.“Apa yang terjadi dengan Putri, Larso?” Suara Dimas sedikit bergetar.Briptu Sularso memandang Dimas dengan rasa iba. Musibah demi musibah datang ke keluarga Kusuma secara bertubi-tubi. Yang satu belum selesai sudah datang lagi yang lain.“Putri kami temukan di Hotel Viena den
“Jadi Sandra ikut ke Jakarta, Jun?”“Iya Nek,” jawab Juni. Wajahnya terlihat cerah.Mereka bertiga sedang berada di ruang tamu. Tas dan koper Juni dan Juli sudah berjejer dengan rapi di dekat tembok. Terdengar suara mesin mobil sedang dipanaskan oleh Badi di halaman depan rumah.“Lagi kasmaran Nek, bunga-bunga dimana-mana….,” timpal Juli sambil tersenyum meledek.Zalma tertawa.“Perginya bareng-bareng juga hari ini?”“Iya Nek, nanti Sandra mau ke sini.”“Nenek doain hubungan kalian berdua langgeng ya Jun.”“Kita belum jadian kok Nek…”“Gimana mau jadian, lu nembak Sandra aja belum.”Juni hanya tersenyum mendengar perkataan Juli.“Semua kan butuh waktu Jul, emang elu tukang nyosor.”“Enak aja, siapa yang gue sosor coba,” ucap Juli sedikit sengit.“Lah itu s
Ruang VIP rumah duka Teratai dihias dengan sangat indah. Di dinding sebelah kanan dan kiri terpasang dengan rapi kain berwarna kuning emas dan putih, saling menjuntai satu dengan yang lain. Beberapa rangkaian bunga terpasang di ujung untaian kain-kain itu. Di bagian depan juga sudah terpasang ornamen-ornamen bunga berbentuk seperti awan-awan yang diterangi oleh cahaya matahari. Di depan ornamen itu terletak sebuah peti mati berwarna putih yang dihiasi dengan berbagai macam bunga. Peti itu masih terbuka, di dalamnya terdapat tubuh Putri berpakaian putih, wajahnya tenang dan seperti tersenyum seakan bersyukur bahwa beban hidupnya kini sudah tidak ada.Amel duduk di kursi roda di sebelah peti jenazah. Matanya yang sembab memandang wajah Putri sambil terus menangis. Kenapa ini harus terjadi? Ia berteriak dalam hati. Kenapa Putri harus pergi secepat ini?Dimas sedang berbincang dengan seseorang sementara Rama dan Jelita tampak sibuk menyambut para pelayat yang mulai berdata
Dimas tengah serius membaca laporan rugi laba PT. Pangan Cakrawala ketika mendadak telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja berbunyi.Ternyata Briptu Sularso.“Ya, halo Larso.”“Selamat siang Pak, Ibu Jelita bersama Bapak?”“Tadi kayaknya keluar Larso, ada apa?”“Saya coba telpon Ibu tapi gak diangkat-angkat.”“Memang ada apa Larso?”“Saya tahu siapa pembunuh Putri….”Dimas yang saat itu sedang minum hampir saja tersedak.“Siapa Larso?”“Pak Dimas tolong tanyakan ke sekretaris Ibu kemana beliau pergi, kita susul.”“Maksudnya?”“Saya jemput Pak Dimas, sekarang!”**************Telepon genggam di dalam tas Jelita kembali bergetar namun karena diletakkan di bangku yang kosong di sebelahnya, ia menjadi tidak tahu.“Jad
Wanita muda itu menatap selembar foto yang ada di tangannya sambil tersenyum. Sesekali ia mengelus wajah seorang wanita separuh baya yang ada di foto itu.“Sebentar lagi semuanya akan selesai Bu….,” kata wanita itu pelan.Ia lalu mengambil sebuah botol kecil berisi cairan bening yang ada di atas meja. Bibirnya kembali tersenyum.“Mereka akan rasakan akibatnya.”Wanita itu lalu tertawa terbahak sambil meletakkan kembali botol itu di atas meja. Terlihat sebuah tulisan di depan botol itu yang ditempel dengan menggunakan kertas berwarna putih. Sianida.***************Kedai Juni & Juli siang hari ini terlihat ramai. Beberapa pengunjung yang berasal dari perkantoran sekitar ruko nampak makan siang di sana. Belum lagi pengunjung lainnya yang memang sengaja datang untuk bersantap dan menikmati hidangan di kedai ini.“Jun, untuk bookingan nanti sore yang acara ulang tahun it
Pesta ulang tahun Abah Rudi berlangsung sangat meriah. Meski hanya dihadiri oleh keluarga dekat tapi tidak membuat suasana menjadi kaku dan membosankan. Suara gelak tawa dan canda terus menerus mewarnai pesta itu yang berlangsung dari sore sampai malam hari.Lastri menyewa sebuah villa di kawasan Lembang yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ini merupakan permintaan Abah dengan alasan biar bisa lebih dekat dengan keluarga. Lastri menyanggupi tanpa banyak bertanya.Briptu Sularso hadir di pesta itu tepat waktu. Sambutan yang diberikan keluarganya ketika ia menyapa di depan pintu sungguh luar biasa. Semua berebut memeluk dan menciumnya. Entah karena memang ini pertama kalinya ia bisa datang tepat waktu di acara keluarga atau karena rasa kangen yang sekian lama ditahan.Lastri melongokkan kepalanya di depan pintu sambil melihat ke kanan kiri, seperti mencari-cari. Tidak lama kemudian, senyum merekah di wajahnya.“Masuk Mas, disini kan dingin.”
Kamar kos itu tertata dengan rapi. Meski tidak cukup luas tapi tetap nyaman. Tidak banyak barang yang terdapat di sana, hanya ada sebuah ranjang, lemari baju, meja dan kursi kerja serta sebuah televisi ukuran 19 inch yang terletak di atas rak.Di dinding kamar itu hanya terpasang dua buah foto. Satu foto keluarga dan satu foto si penghuni kamar.Hari hampir menjelang tengah malam tapi si penghuni kamar masih tekun mendengarkan isi rekaman yang telah di dengarnya berulang kali. Sesekali ia mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting di sebuah buku kecil.Setelah selesai mencatat, ia merenung sejenak. Mengingat kembali pertemuannya di kedai kopi apartemen Paradise Land bersama dengan Dimas dan Jelita beberapa hari yang lalu.“Siapa Zalma itu Bu?”Jelita memandang Briptu Sularso, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.“Nama lengkapnya Zalma Duni, mantan istri Cahyo, suami saya.”“Apa yang terjad
Rani menatap layar di telepon genggamnya dengan serius, matanya mengikuti gerakan seseorang yang sedang menari dengan diiringi lagu menghentak. Sesekali tangan dan bahunya mengikuti gerakan orang tersebut. Setelah dirasa sudah bisa mengingat seluruh gerakan itu, Rani kemudian menutup telepon genggamnya sambil tersenyum. “Kur…!” Seorang laki-laki kurus dengan memakai seragam kemeja berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna senada dengan sedikit terburu-buru menghampiri Rani. “Iya Mbak Rani.” “Meja Ibu udah diberesin belum?” “Sudah Bu.” “Meja Bapak?” “Sudah juga Bu.” “Ya udah kalo gitu. Kamu tolong beliin nasi uduk di depan kayak biasa buat saya ya,” kata Rani sambil menyerahkan uang kepada laki-laki itu. “Baik Bu.” Laki-laki yang bernama Okur itu kemudian bergegas pergi. Setelah Okur menghilang dari pandangan matanya, Rani menatap jam di dinding. Baru jam 8 pagi, masih belum ada yang datang
Juni menatap papan nama yang tergantung di atas ruko nomor 17A itu dengan rasa haru. Tidak disangka akhirnya ia dan Juli berhasil juga membuka usaha yang selama ini mereka inginkan. Sekilas ia teringat semua yang telah mereka alami selama berada di Bandung. Juni lalu tersenyum kecil. “Woy, bengong aja!” Juni tersentak kaget mendengar sebuah suara yang berteriak nyaring di dekat kupingnya. Ternyata suara Juli yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya. “Nama kita bagus juga ya Jul kalau dipasang jadi merek gitu.” Juli menatap papan nama yang bertuliskan Kedai Juni & Juli itu sambil mengangguk. “Kayak berirama gitu ya Jun.” “Irama apaan sih maksudnya?” “Puitis gitu, kan di belakangnya huruf i semua.” “Iya juga….”, ujar Juni, “Nek Zalma, Papa sama Mama udah sampai mana Jul?” “Barusan gue telpon sih masih di jalan katanya.” Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruko yang telah berubah bentuk menjadi sebu
Jelita memandang wajah Dimas yang sedang menunduk di hadapannya dengan pandangan tajam. Mereka berdua sedang duduk di luar kedai dengan ditemani dua gelas kopi yang asapnya masih terlihat mengepul.“Mama minta kamu segera tinggalkan Rahadi!” Jelita berkata tegas.Pelan-pelan Dimas mengangkat wajahnya.“Kenapa Ma?” Dimas berkata lirih.“Hubungan kalian itu aib bagi keluarga Kusuma!”“Jadi Mama udah tahu?”“Mama sudah tahu dari dulu.”“Maksud Mama? Dari dulu kapan?”“Pokoknya Mama sudah lama tahu kamu begitu sama Rahadi.”Dimas kembali menundukkan kepalanya. Rasanya ia ingin berteriak dan segera berlari meninggalkan tempat ini.“Mama sengaja diamkan dulu, karena Mama waktu itu pikir ini semua hanya sementara, hanya karena sedang ada masalah sama Amel kamu jadi begitu, tapi ternyata Mama salah…”Dimas menelan
Briptu Sularso memandangi foto-foto yang diambil di tempat kejadian perkara di kamar hotel tempat Putri ditusuk dengan seksama. Ia lalu memandang juga foto-foto di kamar kos tempat ditemukannya tubuh Hadi yang bermandikan darah, seperti membandingkan. Keningnya berkerut.“Dua kejadian ini sepertinya saling berhubungan,” gumam Briptu Sularso pelan.Ia teringat kecelakaan yang menimpa Amel. Kecelakaan yang sepertinya disengaja.“Pertama Amel, kemudian Hadi dan sekarang Putri.” Briptu Sularso bergumam kembali sambil tangannya mengambil spidol berwarna biru dan menuliskan beberapa hal di papan tulis putih di belakangnya.Ia menulis kata Amel lalu dilingkari, di bawahnya kata Hadi juga dilingkari, di bawahnya kata Putri juga di beri lingkaran. Setelah menulis tiga kata itu, ia lalu menatap papan tulis itu sebentar kemudian menghela nafas.“Dan sekarang, Amel ditahan karena kepemilikan obat terlarang,” kata Briptu Sula
“Lu tahu dari siapa sih San?” Juni kembali mengulang pertanyaannya.“Emang udah pasti itu alamat Panti Bunda Bernyanyi San?” Juli menyambung pertanyaan Juni dengan rasa penasaran.Lagi-lagi Sandra hanya tersenyum.“Kok senyum-senyum terus sih, kita penasaran nih,” kata Juli sambil memajukan tubuhnya ke depan.“Iya...gue jelasin deh. Waktu Juni cerita soal panti ini, gue inget punya tante yang tinggal di daerah Senen, namanya tante Wenny, jadi, gue tanya aja dan ternyata tante gue itu tahu.”“Wah, gak nyangka ya, untung aja gue cerita ke elu ya San,” ucap Juni dengan wajah sumringah.“Menurut tante lu itu, pantinya masih ada San?”“Dia gak yakin sih kalau pantinya masih ada Jul, soalnya udah lama pindah dari Senen, tapi dia inget alamatnya dimana, itu juga kalau nama jalannya sekarang gak berubah ya.”“Dimana alamatnya?”&ldquo