“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”
Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.
“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”
“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.
“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”
Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.
“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”
“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”
Rama mengangguk.
“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal
Selasa, sore itu.Sudah sejak semingguan badan Putri merasa tidak enak. Terkadang mual dan disertai muntah tidak terkendali membuat teman-teman di kampusnya merasa ada yang tidak beres. Putri bersikeras bahwa ia hanya masuk angin biasa dan sudah minum obat herbal namun kondisinya tidak juga membaik, malah semakin parah.Andrea, teman akrabnya di kampus menyarankan agar ia segera memeriksakan diri ke dokter tapi Putri menanggapinya dengan malas. Ia enggan meminum obat-obatan kimia hanya untuk sekedar masuk angin saja.Suatu ketika, Andrea bertanya kepadanya pertanyaan yang mengejutkan.“Lu main sama Hadi pake kondom kan?”Putri tersentak. Ia teringat saat melakukan hubungan yang terakhir, Hadi minta izin darinya untuk tidak mengenakan kondom, lebih enak sensasinya, katanya saat itu dan Putri yang sedang terbakar gelora asmara mengiyakannya. Tanpa berpikir panjang lagi.Putri dan Hadi sudah berpacaran selama enam bula
“Kamu kenapa baru cerita sekarang?”Hadi menghela napas panjang. Ia menatap Putri yang juga sedang menatapnya. Mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit setelah sebelumnya Hadi mengunjungi Amel di kamarnya.“Aku nunggu waktu yang tepat sebelum cerita ke kamu. Aku gak mau ini jadi beban pikiran kamu lagi.”“Tapi kamu kan lihat orang yang nabrak mama. Ini penting banget sayang, harusnya kamu cerita dari awal,” kata Putri, suaranya sedikit bergetar.“Iya,” kata Hadi sambil menengok ke kanan dan kiri. “Justru itu masalahnya.”“Maksudnya?”“Aku gak cerita karena mikirin keselamatan kamu dan…” Hadi tidak meneruskan kalimatnya, berat rasanya untuk berkata demi keselamatan anak kita juga.“Iya, aku ngerti, tapi kamu kan bisa cerita ke polisi, ini bisa jadi petunjuk buat mereka.”“Memang polisi bilang apa?”&
Juni masih merasakan sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya akibat perkelahian dengan Rama waktu itu. Luka-luka di wajahnya perlahan mulai mengering, hanya kepalanya saja yang terkadang sering merasakan pusing, kemungkinan karena sempat terbentur meja saat perkelahian itu sehingga efeknya masih terasa sampai sekarang. Yudi dan Anita yang mendengar perkelahian Juni dari Juli sempat merasa sangat khawatir dan bersikeras meminta mereka kembali ke Jakarta secepatnya untuk memeriksa Juni di rumah sakit tapi Juni menolak karena misinya belum tercapai yaitu mempelajari resep bakmi Zalma. Ia juga memberitahu ayah dan ibunya itu bahwa ia sudah dibawa ke dokter oleh Zalma dan keadaanya baik-baik saja, hanya luka ringan dan sudah diberikan obat oleh dokter. “Jun, gue mau ke kedai Rendy ya,” Juli berkata riang, wajahnya terlihat sumringah. Juni menggelengkan kepalanya sambil menatap Juli seakan baru melihat sosok makhluk astral. “Ke kedai aja dandanannya kayak mau k
Bandung, 1968Kematian Nuang Na sebulan yang lalu masih menyisakan perasaan sedih di hati Zalma. Ia sangat menyayangi neneknya itu dan neneknya pun kerap memanjakannya. Nuang Na juga adalah seorang pendengar dan pemberi nasihat yang baik. Sering kali Zalma mengadu kepadanya apabila mengalami persoalan dan Nuang Na bisa membuat ia merasa aman dan nyaman dengan segala petuahnya.Zalma memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Syam, tapi hubungan mereka tidak terlalu dekat. Selain karena perbedaan usia yang cukup jauh, lima tahun, kepribadian Zalma dan Syam pun berbeda. Zalma seorang ekstrovert sementara Syam introvert. Ayah mereka pun sering mengajak Syam ke Lembang, dimana mereka memiliki usaha peternakan sapi sehingga Zalma jarang sekali melihat Syam di rumah.“Zalma.”Suara ibunya mengagetkan Zalma. Ia buru-buru mengusap air matanya.“Iya Mah.”Mei Ling duduk di sisi tempat tidur Za
“Pasti pas di Tangkuban Perahu, Nenek foto ramai-ramai kan?” sela Juli yang langsung dipelototi oleh Juni.“Sok tahu nih.”Zalma tersenyum. Juli lalu segera mengambil foto hitam putih di atas piano dan menunjukkan ke Zalma.“Sekarang, aku coba tebak ya nama-nama orang di foto ini. Laki-laki yang tinggi agak gemuk ini Cahyo, di sebelahnya Ah Chen, di sebelahnya Nenek, nah sebelah Nenek Jauhari, betul gak Nek?”Zalma memperhatikan foto itu sebentar kemudian mengangguk.“Betul.”“Yess, aku emang berbakat nih kalau jadi detektif.”“Lu mau buka usaha makanan apa mau jadi detektif sih? Gak jelas,” Juni berpura-pura kesal.Juli tertawa terbahak.“Keren juga yah, nanti kita bakal belajar bakmi dari Mongolia Jul. Eh tapi, kan katanya gak boleh dijual ya, kok jadi dijual sih Nek bakminya? Terus Syam dimana? Kok kita gak pernah tahu Nenek ada kakak laki-l
Dimas tengah serius membaca laporan rugi laba PT. Pangan Cakrawala ketika mendadak telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja berbunyi.Ternyata Briptu Sularso.“Ya, halo Larso.”“Selamat siang Pak, Ibu Jelita bersama Bapak?”“Tadi kayaknya keluar Larso, ada apa?”“Saya coba telpon Ibu tapi gak diangkat-angkat.”“Memang ada apa Larso?”“Saya tahu siapa pembunuh Putri….”Dimas yang saat itu sedang minum hampir saja tersedak.“Siapa Larso?”“Pak Dimas tolong tanyakan ke sekretaris Ibu kemana beliau pergi, kita susul.”“Maksudnya?”“Saya jemput Pak Dimas, sekarang!”**************Telepon genggam di dalam tas Jelita kembali bergetar namun karena diletakkan di bangku yang kosong di sebelahnya, ia menjadi tidak tahu.“Jad
Wanita muda itu menatap selembar foto yang ada di tangannya sambil tersenyum. Sesekali ia mengelus wajah seorang wanita separuh baya yang ada di foto itu.“Sebentar lagi semuanya akan selesai Bu….,” kata wanita itu pelan.Ia lalu mengambil sebuah botol kecil berisi cairan bening yang ada di atas meja. Bibirnya kembali tersenyum.“Mereka akan rasakan akibatnya.”Wanita itu lalu tertawa terbahak sambil meletakkan kembali botol itu di atas meja. Terlihat sebuah tulisan di depan botol itu yang ditempel dengan menggunakan kertas berwarna putih. Sianida.***************Kedai Juni & Juli siang hari ini terlihat ramai. Beberapa pengunjung yang berasal dari perkantoran sekitar ruko nampak makan siang di sana. Belum lagi pengunjung lainnya yang memang sengaja datang untuk bersantap dan menikmati hidangan di kedai ini.“Jun, untuk bookingan nanti sore yang acara ulang tahun it
Pesta ulang tahun Abah Rudi berlangsung sangat meriah. Meski hanya dihadiri oleh keluarga dekat tapi tidak membuat suasana menjadi kaku dan membosankan. Suara gelak tawa dan canda terus menerus mewarnai pesta itu yang berlangsung dari sore sampai malam hari.Lastri menyewa sebuah villa di kawasan Lembang yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ini merupakan permintaan Abah dengan alasan biar bisa lebih dekat dengan keluarga. Lastri menyanggupi tanpa banyak bertanya.Briptu Sularso hadir di pesta itu tepat waktu. Sambutan yang diberikan keluarganya ketika ia menyapa di depan pintu sungguh luar biasa. Semua berebut memeluk dan menciumnya. Entah karena memang ini pertama kalinya ia bisa datang tepat waktu di acara keluarga atau karena rasa kangen yang sekian lama ditahan.Lastri melongokkan kepalanya di depan pintu sambil melihat ke kanan kiri, seperti mencari-cari. Tidak lama kemudian, senyum merekah di wajahnya.“Masuk Mas, disini kan dingin.”
Kamar kos itu tertata dengan rapi. Meski tidak cukup luas tapi tetap nyaman. Tidak banyak barang yang terdapat di sana, hanya ada sebuah ranjang, lemari baju, meja dan kursi kerja serta sebuah televisi ukuran 19 inch yang terletak di atas rak.Di dinding kamar itu hanya terpasang dua buah foto. Satu foto keluarga dan satu foto si penghuni kamar.Hari hampir menjelang tengah malam tapi si penghuni kamar masih tekun mendengarkan isi rekaman yang telah di dengarnya berulang kali. Sesekali ia mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting di sebuah buku kecil.Setelah selesai mencatat, ia merenung sejenak. Mengingat kembali pertemuannya di kedai kopi apartemen Paradise Land bersama dengan Dimas dan Jelita beberapa hari yang lalu.“Siapa Zalma itu Bu?”Jelita memandang Briptu Sularso, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.“Nama lengkapnya Zalma Duni, mantan istri Cahyo, suami saya.”“Apa yang terjad
Rani menatap layar di telepon genggamnya dengan serius, matanya mengikuti gerakan seseorang yang sedang menari dengan diiringi lagu menghentak. Sesekali tangan dan bahunya mengikuti gerakan orang tersebut. Setelah dirasa sudah bisa mengingat seluruh gerakan itu, Rani kemudian menutup telepon genggamnya sambil tersenyum. “Kur…!” Seorang laki-laki kurus dengan memakai seragam kemeja berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna senada dengan sedikit terburu-buru menghampiri Rani. “Iya Mbak Rani.” “Meja Ibu udah diberesin belum?” “Sudah Bu.” “Meja Bapak?” “Sudah juga Bu.” “Ya udah kalo gitu. Kamu tolong beliin nasi uduk di depan kayak biasa buat saya ya,” kata Rani sambil menyerahkan uang kepada laki-laki itu. “Baik Bu.” Laki-laki yang bernama Okur itu kemudian bergegas pergi. Setelah Okur menghilang dari pandangan matanya, Rani menatap jam di dinding. Baru jam 8 pagi, masih belum ada yang datang
Juni menatap papan nama yang tergantung di atas ruko nomor 17A itu dengan rasa haru. Tidak disangka akhirnya ia dan Juli berhasil juga membuka usaha yang selama ini mereka inginkan. Sekilas ia teringat semua yang telah mereka alami selama berada di Bandung. Juni lalu tersenyum kecil. “Woy, bengong aja!” Juni tersentak kaget mendengar sebuah suara yang berteriak nyaring di dekat kupingnya. Ternyata suara Juli yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya. “Nama kita bagus juga ya Jul kalau dipasang jadi merek gitu.” Juli menatap papan nama yang bertuliskan Kedai Juni & Juli itu sambil mengangguk. “Kayak berirama gitu ya Jun.” “Irama apaan sih maksudnya?” “Puitis gitu, kan di belakangnya huruf i semua.” “Iya juga….”, ujar Juni, “Nek Zalma, Papa sama Mama udah sampai mana Jul?” “Barusan gue telpon sih masih di jalan katanya.” Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruko yang telah berubah bentuk menjadi sebu
Jelita memandang wajah Dimas yang sedang menunduk di hadapannya dengan pandangan tajam. Mereka berdua sedang duduk di luar kedai dengan ditemani dua gelas kopi yang asapnya masih terlihat mengepul.“Mama minta kamu segera tinggalkan Rahadi!” Jelita berkata tegas.Pelan-pelan Dimas mengangkat wajahnya.“Kenapa Ma?” Dimas berkata lirih.“Hubungan kalian itu aib bagi keluarga Kusuma!”“Jadi Mama udah tahu?”“Mama sudah tahu dari dulu.”“Maksud Mama? Dari dulu kapan?”“Pokoknya Mama sudah lama tahu kamu begitu sama Rahadi.”Dimas kembali menundukkan kepalanya. Rasanya ia ingin berteriak dan segera berlari meninggalkan tempat ini.“Mama sengaja diamkan dulu, karena Mama waktu itu pikir ini semua hanya sementara, hanya karena sedang ada masalah sama Amel kamu jadi begitu, tapi ternyata Mama salah…”Dimas menelan
Briptu Sularso memandangi foto-foto yang diambil di tempat kejadian perkara di kamar hotel tempat Putri ditusuk dengan seksama. Ia lalu memandang juga foto-foto di kamar kos tempat ditemukannya tubuh Hadi yang bermandikan darah, seperti membandingkan. Keningnya berkerut.“Dua kejadian ini sepertinya saling berhubungan,” gumam Briptu Sularso pelan.Ia teringat kecelakaan yang menimpa Amel. Kecelakaan yang sepertinya disengaja.“Pertama Amel, kemudian Hadi dan sekarang Putri.” Briptu Sularso bergumam kembali sambil tangannya mengambil spidol berwarna biru dan menuliskan beberapa hal di papan tulis putih di belakangnya.Ia menulis kata Amel lalu dilingkari, di bawahnya kata Hadi juga dilingkari, di bawahnya kata Putri juga di beri lingkaran. Setelah menulis tiga kata itu, ia lalu menatap papan tulis itu sebentar kemudian menghela nafas.“Dan sekarang, Amel ditahan karena kepemilikan obat terlarang,” kata Briptu Sula
“Lu tahu dari siapa sih San?” Juni kembali mengulang pertanyaannya.“Emang udah pasti itu alamat Panti Bunda Bernyanyi San?” Juli menyambung pertanyaan Juni dengan rasa penasaran.Lagi-lagi Sandra hanya tersenyum.“Kok senyum-senyum terus sih, kita penasaran nih,” kata Juli sambil memajukan tubuhnya ke depan.“Iya...gue jelasin deh. Waktu Juni cerita soal panti ini, gue inget punya tante yang tinggal di daerah Senen, namanya tante Wenny, jadi, gue tanya aja dan ternyata tante gue itu tahu.”“Wah, gak nyangka ya, untung aja gue cerita ke elu ya San,” ucap Juni dengan wajah sumringah.“Menurut tante lu itu, pantinya masih ada San?”“Dia gak yakin sih kalau pantinya masih ada Jul, soalnya udah lama pindah dari Senen, tapi dia inget alamatnya dimana, itu juga kalau nama jalannya sekarang gak berubah ya.”“Dimana alamatnya?”&ldquo