Rendy jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Keringat membasahi wajahnya, mencerminkan kelelahan setelah pertarungan sengit. Selina dan Renata segera mendekatinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Kau berhasil, Rendy," ucap Renata dengan senyum lega, sambil meletakkan tangan di bahunya.Namun, Rendy tahu ini belum berakhir. Kebangkitan Naga Kegelapan hanyalah awal dari ancaman yang lebih besar. Matanya menatap jauh ke cakrawala, memikirkan langkah selanjutnya."Kita telah menang hari ini, tapi perang ini belum usai," katanya sambil berdiri perlahan, meski tubuhnya masih terasa lemah.Selina menatap Rendy dengan penuh penghormatan. "Apa langkah kita selanjutnya, Tuan Muda?" tanyanya, siap menerima perintah.Rendy memandang ke arah cakrawala. "Kita harus menemukan sumber dari kegelapan ini. Dunia belum sepenuhnya aman."Setelah kemenangan di Lembah Gerhana Abadi, Rendy, Selina, dan Renata memutuskan untuk kembali ke markas sementara di Negeri Chun Kuo. Tubuh Rendy masih terasa lem
Kabut tebal menyelimuti hutan di sekitar Kuil Tanpa Nama, menciptakan suasana yang mencekam. Tiba-tiba, dari balik kabut, muncul sesosok makhluk raksasa berbentuk iblis dengan tubuh yang terbuat dari bayangan pekat. Raungan nyaringnya menggema, membuat dedaunan bergetar dan jantung mereka berdegup kencang."Ini pasti salah satu penjaga kuil!" seru Selina, matanya membelalak saat melihat makhluk itu. Tanpa ragu, ia melompat maju, mengayunkan pedang anginnya yang berkilauan ke arah makhluk tersebut.Pedang Selina menembus tubuh bayangan itu, namun tidak ada luka yang terlihat. Makhluk itu hanya menggeram, tampak tak terpengaruh. "Serangannya tidak mempan!" teriaknya, nada suaranya mencerminkan kepanikan yang mulai merayapi dirinya.Rendy maju dengan langkah tegas, menggenggam erat Pedang Naga Elixir yang memancarkan cahaya keemasan. "Makhluk ini hanya bisa dihancurkan dengan energi murni. Biarkan aku yang menghadapinya!" katanya dengan suara penuh keyakinan.Ia memusatkan Qi Nirvana Eli
Selina melangkah maju, matanya menyala dengan tekad. Pedang anginnya berkilauan di bawah cahaya redup kuil, menciptakan bayangan yang menari di dinding batu. Dengan gerakan lincah, ia mengayunkan pedangnya, melepaskan pusaran angin yang menderu, mengurung Zhao Ming dalam badai tak kasatmata. "Tuan Zhao," suaranya tegas, menggema di antara gemuruh angin, "kekuatanmu memang hebat, tetapi kau lupa satu hal—aku adalah Elemental Naga Angin, dan aku hanya tunduk pada Naga Perang!" Di sudut lain, Renata berdiri dengan tenang, tangannya bergerak cekatan meramu energi. Dengan konsentrasi penuh, ia menciptakan perisai pelindung yang bersinar lembut, membungkus Rendy dalam cahaya hangat, memberikan perlindungan dari serangan mendadak. "Rendy," katanya dengan nada penuh keyakinan, "aku akan menjaga agar energimu tetap stabil. Jangan ragu untuk menggunakan seluruh kekuatanmu!" Tawa Zhao Ming meledak, menggema di seluruh ruangan meskipun terjebak dalam pusaran angin. "Kalian benar-benar meremeh
Panas terik menyelimuti pagi itu ketika Rendy Wang berusaha bangkit dari tempatnya beristirahat. Tubuhnya masih terasa lemah setelah pertempuran mematikan dengan Zhao Ming. Luka-luka yang membekas di kulitnya terasa seperti bara yang tertanam di daging. Namun, tekad di matanya tidak goyah. Ia menatap Renata Zhang dan Selina Khan, dua sekutu yang setia, yang tengah mempersiapkan perjalanan mereka ke Lembah Neraka Api.Renata, dengan ketenangan seorang alkemis ulung, menyiapkan ramuan penyembuh untuk Rendy. Tangannya yang terampil memeriksa luka di dada lelaki itu, sementara bau tajam dari ekstrak tanaman herbal memenuhi udara. “Kak Rendy, kau harus lebih berhati-hati. Luka ini mungkin sembuh secara fisik, tetapi Qi-mu masih rapuh. Jangan paksakan diri terlalu keras,” katanya lembut, meskipun matanya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Rendy tersenyum samar. “Kita tidak punya waktu untuk berhenti. Jika kita tidak bergerak sekarang, Zhang Wei akan kembali, dan kali ini, tidak ada yan
Angin panas dari Lembah Neraka Api terasa menusuk kulit, membawa aroma belerang yang pekat dan menyesakkan. Selina menggenggam gagang pedangnya dengan erat, matanya menyapu medan yang terbentang di depan mereka. Batu-batu berwarna merah menyala seperti bara menyebar di segala arah, dan udara di sekitarnya bergetar oleh panas yang tak tertahankan.“Tuan Muda, apakah kau yakin kita harus melanjutkan?” tanyanya dengan nada khawatir, meskipun ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Tempat ini... jauh lebih berbahaya daripada yang pernah kita hadapi.”Rendy menoleh, tatapan matanya tegas namun lembut. “Zhang Wei tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan segalanya,” jawabnya pelan, suaranya penuh tekad. “Jika kita ingin menghentikannya, kita tidak punya pilihan lain selain menghadapi apa pun yang ada di lembah ini.”Di belakang mereka, Renata menarik napas dalam-dalam. Jari-jarinya gemetar saat ia merapikan rambutnya yang lengket oleh keringat. “Aku akan mendukungmu, Kak Rendy,” katany
Di bawah langit yang dipenuhi bayangan awan gelap, Rendy Wang berdiri di aula besar Dragon Sky Tower. Suasana di sekitarnya seperti dirasuki kegelisahan; angin membawa bisik-bisik kekuatan yang tak terlihat, seakan menjadi pertanda akan datangnya sesuatu yang besar. Selina Khan berdiri tak jauh darinya, matanya yang tajam menatap Rendy dengan intensitas yang sulit diterjemahkan. Renata Zhang, di sisi lain, sibuk memeriksa peta strategi yang terbentang di meja kayu berukir naga."Zhang Wei bergerak menuju Negeri Langit," kata Selina, jari telunjuknya menunjuk sebuah titik merah di peta. Suaranya tegas, tetapi ada nada kegetiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Portal antar-dimensi itu adalah kunci. Jika dia memanggil roh-roh kuno dari Kuburan Pedang Spiritual, kita semua dalam bahaya."Renata mengangguk setuju, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam. "Dia akan menjadi kekuatan yang tak tertandingi jika itu terjadi. Kita tidak punya pilihan lain selain menghentikannya sek
Ketika pesawat mendarat di Bandara Kotabaru, Negara Andalas, langit berwarna jingga menandakan senja mulai menyelimuti kota. Rendy melangkah keluar dari pintu pesawat dengan Selina di sisinya. Suasana bandara yang ramai tidak mengurangi kesan megahnya, dengan ornamen tradisional khas Andalas menghiasi setiap sudut.Di tengah keramaian, seorang wanita berdiri mencolok, menunggu di area khusus yang dikelilingi pengawal berseragam. Seruni — cantik jelita dengan gaun putih yang membalut tubuhnya sempurna, rambut hitam panjangnya tergerai indah. Senyumnya merekah saat matanya bertemu dengan Rendy."Tuan Muda Rendy," sapa Seruni lembut, suaranya seperti alunan musik yang menenangkan. Ia melangkah mendekat, membawa aura anggun yang memikat setiap mata yang memandang. "Selamat datang di Andalas."Rendy membalas senyuman itu, mengangguk kecil. "Terima kasih, Seruni. Kehadiranmu menyambut kami adalah kehormatan besar."Namun di sisi lain, Selina berdiri terpaku. Matanya mengamati setiap gerak S
Malam itu, setelah makan malam bersama yang penuh dengan obrolan ringan dan tawa sopan, Rendy memutuskan untuk menemui Seruni secara pribadi. Ia menunggu hingga suasana rumah tenang, memastikan Selina telah berada di kamarnya. Bulan yang bersinar terang menjadi saksi keputusannya. Ia tahu, ini bukanlah percakapan yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang bisa ditunda lebih lama.Rendy mengetuk pintu kamar Seruni. Tidak lama, pintu itu terbuka, menampilkan Seruni yang masih anggun meski hanya mengenakan pakaian santai. Rambutnya yang panjang tergerai di bahu, dan senyumnya menyambut Rendy dengan hangat."Tuan Muda, ada yang bisa kubantu?" tanyanya lembut, suaranya tetap serupa alunan musik yang menenangkan."Aku perlu bicara denganmu, Seruni," kata Rendy serius. "Ini penting."Seruni mengangguk, mempersilakannya masuk. Kamar itu dipenuhi aroma bunga melati yang lembut, dengan dekorasi yang mencerminkan kecintaan pemiliknya pada keindahan alami. Rendy mengambil tempat duduk di sofa, se
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba