Malam tiba di Lembah Senja, membawa kabut tebal yang melayang di antara pepohonan tua dan batu-batu berlumut. Cahaya bulan redup, seakan tahu bahwa keheningan malam ini menyembunyikan bahaya yang lebih besar. Di sinilah titik ritual ketiga dari Serikat Hantu Malam diyakini berada.Ryu Ten, berjalan dengan penuh kewaspadaan, diapit oleh Dion, Ketua Klan Naga Emas dan Rey, Ketua Klan Merak Putih. Mereka membawa sekelompok prajurit dari kedua klan, masing-masing siap menghadapi ancaman yang datang. Keduanya sadar bahwa Serikat Hantu Malam bukan sekadar musuh biasa.Negeri Halimun merupakan negeri yang ramah terhadap pendatang dari Khatulistiwa, sehingga Ryu Ten, Dion, dan Rey bisa dengan mudah memasuki negeri ini tanpa halangan apapun. Demikian juga dengan rombongan anggota Klan Naga Emas dan Klan Merak Putih yang memenuhi pesawat komersil menuju ke negeri ini.Saat mereka mendekati pusat Lembah Senja, energi gelap mulai terasa. Aroma dupa aneh tercium, bercampur dengan desah angin yang
Ryu Ten, Dion, dan Rey—yang kini terikat dan dijaga oleh prajurit Klan Naga Emas—bergerak menuju altar batu di tengah Lembah Senja. Meskipun pengkhianatan Rey telah mengguncang kepercayaan di antara kedua klan, mereka tidak punya waktu untuk menyelesaikan masalah itu sekarang. Aura gelap semakin kuat, menandakan bahwa ritual sudah hampir mencapai puncaknya.Saat mereka mendekati altar, sebuah gemuruh terdengar dari dalam tanah. Batu-batu altar mulai bersinar dengan cahaya merah darah, dan simbol-simbol kuno yang diukir di atasnya mulai bergerak seolah hidup. Ryu Ten berhenti sejenak, merasakan kehadiran kekuatan jahat yang begitu murni dan purba.“Kita harus menghancurkan altar ini sebelum mereka memanggil entitas dari dunia lain,” kata Ryu Ten dengan suara tegas.Dion mengangguk, meskipun luka di bahunya membuat gerakannya terbatas. “Tapi bagaimana? Energi pelindung di sekitar altar ini terlalu kuat.”Ryu Ten menatap altar dengan mata tajam. Ia mengangkat tangannya, memusatkan energi
Setelah kemenangan tipis di Hutan Gelap Darkarian, Rendy Wang dan Katrin kembali ke Kartanesia dengan tubuh letih namun semangat tetap membara. Namun, sesampainya di kota, mereka disambut oleh pemandangan yang mengerikan. Langit yang biasanya dipenuhi cahaya neon dari gedung-gedung pencakar langit kini berubah menjadi merah kelam, seolah-olah kota itu berada di ambang kiamat.Katrin menatap langit dengan cemas. “Ini bukan hal yang alamiah. Ini efek dari ritual yang nyaris selesai tadi. Mereka memang gagal sepenuhnya, tapi mereka sudah cukup jauh untuk meninggalkan dampaknya di sini.”Rendy menghela napas panjang, matanya tajam mengamati ke sekeliling. “Serikat Hantu Malam telah merencanakan ini selama bertahun-tahun. Bahkan setelah pemimpin mereka kita kalahkan, mereka masih punya rencana cadangan. Kita harus menemukan sumber kekuatan ini sebelum kota tenggelam dalam kekacauan.”"Tinggal satu titik ritual lagi yang harus kita hancurkan, Ketua! Sayangnya, titik keempat ini akan sulit k
Di tengah perjalanan, mereka menemukan jejak Renata dan Kristin—potongan kain yang dikenali Rendy dari pakaian Kristin. “Mereka ada di sini...” Rendy bergumam, mencengkeram kain itu dengan erat.Katrin menepuk pundaknya. “Kita akan menemukan mereka, Rendy. Tapi kita harus tetap fokus.”Langkah mereka membawa mereka ke ruang inti Nexus, sebuah ruangan luas dengan kubah yang dipenuhi simbol-simbol kuno. Di tengahnya, Renata dan Kristin terbaring tak sadarkan diri, tubuh mereka diselimuti lingkaran energi gelap yang mengikat Nexus.Zhao Kien, salah satu petinggi Serikat Hantu Malam yang sebelumnya dianggap tewas, berdiri di tengah-tengah mereka. “Kalian datang terlambat. Nexus akan menjadi milik kami, dan dengan kekuatannya, kami akan memulai era baru di bawah kekuasaan Serikat Hantu Malam!”Rendy memandang tajam ke arah . “Tidak akan kubiarkan!”Pertempuran terakhir dimulai. Zhao Kien melancarkan serangan bayangan yang menguasai seluruh ruangan. Katrin, Jessy, Ryu Ten, dan Rendy bersatu
Rendy Wang menghela napas panjang saat langkah kakinya menginjak tanah Khatulistiwa yang kini terlihat damai. Setelah kehancuran Serikat Hantu Malam, situasi di negeri itu berangsur kembali normal. Kehidupan di ibu kota Kartanesia kembali seperti semula, seolah-olah ancaman besar yang baru saja melanda tidak pernah terjadi.Presiden Khatulistiwa akhirnya muncul dari persembunyiannya, memberikan pidato yang menenangkan publik dan menyatakan bahwa ancaman telah "diatasi dengan baik berkat kolaborasi berbagai pihak." Tidak ada yang menyebutkan nama Rendy, Jessy, atau Klan Naga Sakti—sebuah tanda bahwa pemerintah ingin melupakan kejadian tersebut secepat mungkin dan memulai lembaran baru.Namun, bagi Rendy, kedamaian itu terasa seperti fatamorgana. Ia tahu bahwa musuh-musuhnya, meskipun telah dikalahkan, mungkin masih menyusun rencana dari bayang-bayang. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk sementara waktu kembali ke Keluarga Huang di Paradise Hill, memastikan semuanya benar-benar aman se
Saat ia dan Cindy berjalan melewati kerumunan, matanya menangkap sosok misterius di sudut ruangan: seorang wanita dengan gaun merah berkilauan, wajahnya tersembunyi di balik topeng setengah wajah yang anggun namun menyeramkan. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada Rendy.“Cindy,” Rendy berbisik, suaranya pelan namun tegas. “Siapa wanita itu?”Cindy mengerutkan kening. “Wanita mana?”Rendy menoleh ke arah sosok tersebut, namun wanita itu telah menghilang di tengah kerumunan. Kegelisahannya semakin bertambah.Beberapa saat kemudian, pelayan mendekat dan menyerahkan sebuah amplop hitam kepada Rendy. Tanpa nama pengirim, hanya tertulis: "Untuk Rendy Wang."Rendy membuka amplop tersebut dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan yang tegas:Kau pikir ini sudah berakhir? Kau salah. Aku akan kembali, dan aku akan mengambil segalanya. — Z.K.Rendy merasakan darahnya mendidih. Zhao Kien. Mungkinkah dia masih hidup? Ataukah ini hanya seseorang yang mencoba mem
Acara reuni yang awalnya hanya sebuah perayaan nostalgia berubah menjadi medan konflik pribadi bagi Cindy. Tasya, salah satu sahabat lamanya, menjadi sosok yang tak terduga dalam membakar suasana. Dengan senyum sinis dan suara yang nyaris melengking, Tasya mulai menyerang Cindy secara verbal di depan para alumni.“Cindy, kau benar-benar masih bersama Rendy Wang? Kau pantas mendapatkan yang lebih baik, seperti William misalnya. Seorang pria terhormat, sukses, dan jelas jauh dari masalah. Bukannya seorang pria yang membawa ancaman di setiap langkahnya,” kata Tasya dengan nada mengejek.Kerumunan mulai memperhatikan, beberapa tertawa kecil, sementara yang lain hanya menatap dalam diam, menikmati drama yang tak terduga ini.Cindy, yang biasanya tenang, mencoba mengendalikan amarahnya. “Tasya, ini bukan tempat untuk pembicaraan semacam itu.”Namun Tasya tak berhenti. “Oh, ayolah, Cindy. Semua orang tahu. Kau bisa hidup lebih baik tanpa Rendy. Kau hanya menundanya. Kau sudah melihat apa yan
Di sudut ruangan, suasana tampak kembali mereda, namun di balik tirai pesta yang gemerlap, bahaya mulai menyusup perlahan. Rendy merasakan sesuatu yang ganjil, aura gelap yang samar tapi nyata. Ia menyadari ada ancaman yang lebih besar daripada sekadar ucapan sinis Tasya atau rencana jahat William.Rendy mulai menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya tapi ia tetap ingin merahasiakan identitas Naga Perang agar tidak diketahui oleh Cindy sekarang. Untuk itu ia harus menjauh terlebih dahulu dari istrinya ini."Cin, aku harus pergi sebentar. Ada urusan yang harus kuselesaikan," bisik Rendy di telinga Cindy sambil mengecup lembut keningnya.Cindy memandangnya dengan cemas. "Hati-hati. Aku tak mau kehilanganmu," jawabnya lirih. Entah hanya berbasa basi dengan Rendy atau memang hatinya mulai luluh dengan keteguhan hati Naga Perang, ucapan Cindy lebih lembut dari biasanya.Rendy mengangguk, tatapannya penuh keyakinan. Tanpa membuang waktu, ia melangkah keluar dari aula reuni, menuju ke ma
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind
Tanpa ragu, Rendy Wang melangkah maju, tubuhnya masih berlumuran debu pertempuran. Portal dimensi di hadapannya berputar liar, cahaya biru kehijauan berpendar seperti ombak liar. Setelah mengalahkan Zhang Wei dan menyelamatkan Negeri Langit dari kehancuran, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan pulang. Dengan satu tarikan napas, ia melangkah masuk.Saat portal menutup di belakangnya, kegelapan langsung menyergap. Kesadarannya menghilang.Ketika membuka mata, aroma kayu tua dan udara dingin menyeruak ke hidungnya. Dia mengenali tempat ini—kamar sempit di rumah Keluarga Huang, Paradise Hill, Kota Buitenzorg. Dinding-dinding kayu masih sama, catnya mengelupas di beberapa tempat, dan kasur tipis di bawahnya berderit saat ia bangkit."Sepertinya kamar ini memang gerbang antar dimensi," gumamnya. "Setiap kali kembali ke Khatulistiwa, selalu melalui tempat ini."Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara nyaring menusuk telinganya."Untuk apa lagi pengangguran itu pulang ke rumah?" suara cemp