“Menikah siri?” ulang Bima terheran dengan tawaran selingkuhannya itu.“Iya, kita bisa menikah siri, Sayang.”“La-lalu bagaimana kalau Mira sampai tahu? Enggak, aku enggak bisa melakukan ini,” Bima menggelengkan kepalanya berkali-kali.Vania melingkarkan kedua tangannya dari belakang tubuh Bima. Lantas, dia menyandarkan kepalanya di punggung lelaki itu. Kali ini Bima tidak menepis sama sekali sentuhan Vania. Dia memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam, membiarkan getaran cinta itu kembali menyeruak ke dalam dirinya.“Apa kamu benar-benar akan meninggalkanku dan anak kita? Apa kamu enggak ingat malam-malam indah yang pernah kita lalu bersama, Sayang? Aku merindukan semua itu,” Vania mengecup pelan punggung Bima sehingga warna lipstiknya membekas di kemeja kerja Bima.“A-aku bingung, Van…” Bima tergagap.“Kamu enggak perlu bingung. Nikahi aku dan kita rahasiakan semua ini dari Mira. Kali ini, kita akan bermain sangat aman. Sayang, interior apartemenku sebentar lagi rampung. Ja
Napas Lela menderu cepat. Kedua bola mata wanita tua itu menyiratkan keterkejutan yang luar biasa.“Jelaskan apa yang dimaksud dengan video perselingkuhan itu?!” Pekik Lela. Sementara itu, Rika langsung membawa Kiran, yang nampak kaget dengan suara tinggi neneknya, keluar dari rumah.“Bu, i-ini hanya salah paham,” Bima nampak begitu kelabakan mendapati Lela yang menghiraukan dirinya. “Bu…jangan terlalu percaya apa kata-kata Mira. Dia sedang diliputi api cemburu.”Lela tidak menggubris anaknya itu. Dia menghampiri menantunya yang bersimpuh di lantai.“Apa yang terjadi, Mira?!” Tanya Lela.Mira menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia berusaha bangkit dan menyeret pel
PRAK!Beberapa lembaran kertas menyentuh keras permukaan meja. Sementara itu, Mira hanya menatap dengan sinis.“Itu adalah dokumen kesepakatan perceraian kita yang harus kamu tanda tangani,” ucap Bima dingin.Mira menatap suaminya dengan sorot yang tajam. “Kesepakatan? Kamu bahkan enggak mendiskusikannya denganku sama sekali, Mas. Apa itu masih bisa dibilang kesepakatan?”“Sudahlah. Jangan banyak omong. Tinggal tanda tangani saja, maka kamu akan mendapatkan keinginanmu. Bercerai dariku dan menjanda. Benar kan?” Sudut dagu Bima menengadah ke atas.Lantas, Mira menyambar kertas-kertas itu dan membacanya dengan seksama. Sontak keningnya mengernyit dalam begitu mendapati poin-poin yang dibuat B
“Van, kurasa pemberianmu tadi itu agak berlebihan,” Bima menukas dari balik kemudi.Vania memamerkan senyumannya yang lebar seraya menyunggingkan dagunya tinggi-tinggi. “Yah, sebenarnya aku agak tekor sih membelikan mereka perhiasan mahal seperti itu. Tapi yang penting rencanaku berhasil. Kamu lihat sendiri kan mata mereka langsung berbinar-binar saat melihatnya?”“I-iya sih,” Bima mengusap-usap tengkuknya dengan satu tangan.“Nah, sekarang tugasmu adalah merencanakan makan malam kita dengan ibumu serta Rika,” Vania mengatupkan kedua tangannya dengan riang.“Yah, baiklah. Tapi…”Kedua alis Vania langsung beradu seraya menatap Bima heran. “Tapi kenapa?”Bima nampak terdiam sesaat. “Perhiasan-perhiasan itu kan cukup mahal. Kurasa aku enggak bisa menggantikannya dalam waktu dekat.”“Astaga, Bima! Aku enggak memintamu untuk menggantikan hadiah itu. Jadi, kamu tenang aja, oke?” Vania menjulurkan tangannya dan mengusap pelan dagu Bima.Sontak Bima langsung bernapas lega. Jujur, dia tidak in
Setelah tiga kali sidang, akhirnya ketuk palu hakim memutuskan bahwa Bima dan Mira resmi bercerai.Hakim memutuskan hak asuh anak mereka jatuh sepenuhnya pada Mira dan Bima wajib menafkahi Kiran sebesar lima juta rupiah setiap bulannya.Sebelum benar-benar keluar dari ruangan, pandangan Bima dan Mira saling beradu. Wajah sumringah Bima nampak terpancar sementara Mira sendiri lebih merasa lega karena sudah lepas dari lelaki brengsek itu.Sambil melangkah pelan, Mira menuju ke pekarangan depan pengadilan tinggi agama. Di luar dia melihat banyak orang-orang yang mengantri untuk mendaftarkan perceraian. Sebenarnya dia miris dengan pemandangan itu, tapi dirinya sendiri juga bercerai.Mira menarik napasnya dalam-dalam. Embusan angin menyapu dahinya, memberikan sedikit kesejukan baginya. Sambil menunggu Bella yang akan datang menjemputnya, dia memandangi punggung Bima dari kejauhan.“Bahkan dia enggak menoleh sama sekali padaku,” gumam Mira dalam hati.Sebuah SUV hitam melipir di depan Bima.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Mira bergegas pergi ke toko kue. Dia ingin membelikan Bima keik coklat kesukaannya sebagai permintaan maaf.Sepanjang perjalanan ke toko kue, pikiran Mira berkecamuk. Dia memang mencintai Bima tapi haruskah dia memberikan hal yang berharga pada dirinya ke Bima, padahal mereka kan belum menikah? Namun, saat Mira hendak ke kosannya Bima, hujan keburu turun. Akhirnya dia mengurungkan niatnya dan kembali pulang kosan.Begitu sampai di kosan, Mira berusaha menghubungi Bima. Namun teleponnya tidak diangkat dan pesannya yang bertubi-tubi itu tidak dibalas sama sekali.Mira lantas menghempaskan tubuhnya di ranjang. Matanya menengadah ke langit-langit kamarnya. Selama ini, Bima bersikap manis dan baik padanya. Pria itu selalu menjaganya dan memberikan rasa nyaman.Tapi akhir-akhir ini Bima memang sering minta macam-macam. Dari ciuman bibir yang liar sampai meraba-raba daerah sensitifnya. Saat mereka menonton bioskop minggu lalu, Bima sengaja mengelus paha Mira
Tengah malam, Mira terbangun. Cacing-cacing di perutnya meronta minta makan. Setelah melirik ke Kiran yang nampak tertidur pulas, Mira pun turun dari ranjang.Di dapur, dia mencari sisa sup makan malam tadi. Namun sayangnya, begitu dia membuka tutup panci, supnya habis tidak bersisa. Sambil menghela napas, tangan Mira menjangkau lemari makanan, mencari mi instan, atau apa saja yang bisa dimakan.“Astaga, Mira…” kedua mata Arianti membelalak saat mendapati anak perempuan satu-satunya itu menyantap lahap semangkuk mi yang mengepul di meja makan. “Mama pikir ada maling.”Arianti terbangun karena dia mendengar suara-suara dari arah ruang makan yang bersebelahan dengan dapur. Mira hanya cengengesan menanggapinya.Lantas, pandangan wanita setengah baya itu menelisik ke jejeran piring di hadapan Mira. Dia pun berkacak pinggang. “ Mir, Mama enggak salah lihat kan? Makan mi pakai nasi dan dua telur ceplok? Lalu ada segelas susu juga?”“Lapar, Ma.” tandas Mira sambil menyuapkan telur ke dalam m
Bunyi mesin kasir yang memindai barang belanjaan pembeli di depan Mira terdengar berkali-kali.“Mbak, sekalian sama minyaknya deh,” titah ibu itu saat Mira memindai barang yang terakhir.Mira pun bergegas mengambil minyak di rak yang cukup jauh dari kasir.“Eh, Mbak. Minyaknya dua,” ucap ibu itu lagi saat Mira hendak kembali ke meja kasir. Sambil menghela napas kesal, Mira terpaksa menuruti permintaan pelanggan.“Semuanya jadi 318.000 rupiah,” tukas Mira pada akhirnya.Begitu pelanggan itu menghilang dari balik pintu, Mira langsung menghampar di balik kasir. Sudah lebih dari tiga jam dia berdiri, belum lagi bolak-balik mengecek stok barang yang kosong. Apalagi hari ini pengunjung minimarket
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an