Alyn melangkah cepat, derap kakinya menggema di sepanjang koridor. Amarah menguasai dirinya, hatinya terasa mendidih. Tidak ada lagi keraguan di dalam benaknya. Semua petunjuk mengarah pada Bryan.Sesampainya di depan kantor Bryan, Alyn berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam amarahnya yang semakin memuncak. Namun, usahanya sia-sia. Wajah Rio yang diarak polisi terbayang jelas di benaknya.Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangan dan membuka pintu dengan keras. Bryan, yang duduk di belakang meja, tersenyum tipis begitu melihat Alyn masuk."Alyn," katanya dengan tenang, seolah-olah sudah menunggu kedatangan gadis itu. "Ada yang bisa kubantu?"Tatapan dingin Bryan seakan memperkuat keyakinan Alyn bahwa dia bersalah. "Apa yang kau lakukan, Bryan?" suara Alyn bergetar, campuran kemarahan dan kepedihan. "Kau menjebak Rio! Apa kau pikir aku takkan mengetahuinya?"Bryan berdiri dari kursinya, tangannya memasukkan pena ke dalam saku. Senyumnya tak pudar, malah semakin
Berita tentang temuan bahan berbahaya di pabrik Wijaya Group menyebar dengan cepat, seperti api yang tak bisa dipadamkan. Semua media utama mulai memberitakan skandal besar yang bisa menghancurkan reputasi perusahaan.Dalam sekejap, nama Wijaya Group yang selama ini dikenal sebagai raksasa bisnis mulai tercoreng. Di setiap tayangan berita, foto Rio terpampang, disertai dengan keterangan yang menggiring opini publik bahwa dia adalah dalang di balik masalah ini.Di kantor Wijaya Group, suasana terasa mencekam. Polisi datang dengan surat perintah penggeledahan, tak memberikan waktu bagi siapapun untuk bersiap-siap atau bersembunyi. Para karyawan saling berbisik dengan tatapan cemas, sementara beberapa di antara mereka mulai khawatir akan kelangsungan karier mereka.Lantai eksekutif yang biasanya sibuk dengan rapat penting kini dipenuhi petugas kepolisian yang memeriksa setiap sudut ruangan. Setelah beberapa waktu, salah satu petugas menemukan sesuatu yang membuat semuanya berubah. Sebuah
Felix membuka pintu apartemennya dengan tangan yang gemetar, lelah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sejak pagi, panggilan dari ayahnya terus masuk ke ponselnya, tapi semua itu ia abaikan. Tak ada energi tersisa untuk berdebat atau mendengarkan perinth, yang ia butuhkan hanyalah ketenangan, waktu untuk berpikir jernih setelah hari yang kacau.Namun, ketenangan itu tak kunjung ia temukan begitu memasuki apartemen. Pemandangan di depan matanya semakin menambah kekesalannya. Barang-barang bertebaran di lantai, Ericka bahkan tidak terlihat di mana pun, tidak ada senyum yang menyambutnya, tidak ada tanda kehidupan.Felix menghela napas panjang, menjatuhkan dirinya ke sofa yang dipenuhi barang-barang Ericka."Padahal sudah kubilang," gumamnya, memijit pelipisnya dengan frustrasi. "Kalau dia tak mau panggil layanan kebersihan, sebaiknya pakai pembantu saja." Namun, Ericka tampaknya lebih memilih membiarkan segala sesuatunya berantakan daripada mendengarkannya.Dia melirik ke se
Jinu berhenti sejenak, langkahnya tertahan di depan pintu. Dia menoleh dengan ragu, melepaskan tangan Ericka yang masih menggenggam lengannya erat.“Nona,” suaranya pelan namun tegas, “kau benar-benar akan meninggalkannya demi aku?”Ericka menatap Jinu dengan mata yang masih dipenuhi amarah dan kesedihan. Ia menggelengkan kepala perlahan, seolah mencoba mengabaikan keraguannya. "Aku sudah tidak tahan lagi, Jinu. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, terjebak dalam pernikahan yang hampa. Kau... kau membuatku merasa dihargai. Kau mendengarkanku."Jinu menghela napas panjang, mengusap tengkuknya yang mulai berkeringat. Tatapannya berubah, bukan lagi sekadar asisten yang selalu ada di sampingnya. “Tapi kau harus berpikir matang, Nona. Apakah ini benar-benar yang kau inginkan? Aku hanya asisten, bukan orang yang bisa memberimu semua yang Felix miliki.”Ericka menundukkan kepalanya, suara Jinu yang realistis membuat hatinya terasa semakin berat. "Aku... aku tidak butuh s
"Alyn, kenapa kau melakukannya lagi?" suara tegas ayahnya, Tuan Anggara, menggema memasuk kamar Alyn. Suaranya selalu mampu menusuk hati Alyn, membuat dadanya sesakDia berbalik perlahan, menatap sosok tinggi ayahnya yang kini berdiri di pintu kamarnya. Wajah Tuan Anggara seperti biasa, dingin dan tegas, seperti orang yang tidak pernah merasa terganggu oleh apapun kecuali pekerjaannya. Namun, kali ini ada sedikit ketegangan di matanya, sesuatu yang membuat Alyn merasa semakin terbebani.“Aku melakukannya karena aku tidak punya pilihan lain, Ayah,” jawab Alyn, suaranya tenang namun sarat dengan kepahitan. “Aku tidak bisa terus berada di sini dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.”Tuan Anggara mendekat, matanya mengamati koper yang sudah tertata di sudut kamar. “Ini bukan pertama kalinya kau lari, Alyn. Dulu, kau pergi karena konflik dengan Felix, dan bagaimana akhirnya? Kau kembali dengan luka yang lebih dalam, lebih kecewa. Kau benar-benar ingin mengulang semua
Di malam yang sunyi itu, Alyn duduk di tepi ranjangnya. Lampu meja yang remang-remang memberikan bayangan lembut di sudut kamarnya, sementara ia memegang erat sebuah foto lama. Di foto itu, terlihat sosok kecil dirinya bersama ibunya yang tersenyum hangat, memeluknya dengan penuh cinta. Kenangan masa kecil yang dulu begitu manis, kini terasa semakin jauh dan terasing.Alyn menghela napas panjang, membiarkan keheningan malam menyelimuti pikirannya. Pandangannya tak pernah lepas dari foto itu. Wajah ibunya yang penuh kasih seakan berbisik kepadanya, menguatkan hati yang sedang dilanda gelisah."Ibu..." bisiknya pelan, seolah ibunya bisa mendengarnya meski jarak memisahkan mereka. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan di pipinya. "Aku tahu semua ini tidak mudah. Tapi aku berjanji... Aku akan mengambil kembali hakku."Dia menatap lekat foto ibunya, mengingat betapa kuatnya wanita itu. Ibu yang selalu melindungi dan membesarkannya dengan kasih sayang, mes
Keesokan harinya, suasana di kota terasa lebih hiruk-pikuk dari biasanya. Berita mengenai penangkapan Ericka menyebar seperti api, menghiasi headline di setiap media. Di layar televisi, wajah dingin Ericka saat diborgol terpampang jelas, diiringi laporan mengenai tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Alyn Anggara.Namun, berita itu bukanlah satu-satunya hal yang menggemparkan publik. Tepat di sampingnya, sebuah skandal baru mulai mencuat, pernikahan rahasia antara Alyn dan Felix Wijaya. Foto-foto pernikahan mereka yang selama ini tersembunyi, sekarang bertebaran di mana-mana. Artikel demi artikel muncul, mengupas habis kehidupan pribadi mereka, seolah seluruh dunia terobsesi dengan kisah cinta terlarang itu.Selain itu, isu perselingkuhan Jinu dan Ericka juga mencuat ke publik. Ponsel Alyn tak berhenti berdering sejak pagi. Notifikasi dari media, pesan dari teman-teman, bahkan keluarganya, semua membanjiri layar. Setiap media berlomba-lomba mengungkap lebih banyak tentang ke
Alyn menatap cermin sebentar, memperbaiki napasnya yang berat. Di balik segala kerumitan yang sedang terjadi, ibunya pasti sudah mendapatkan informasi terbaru. Jika ada seseorang yang dapat menjawab pertanyaannya, itu adalah dia.Dengan langkah cepat, Alyn meninggalkan rumah ayahnya. Mobil yang ia kemudikan melaju kencang di jalanan yang sepi, seakan mencerminkan kegelisahan hatinya. Keputusannya sudah bulat.Ibunya selalu berkata bahwa waktu akan menjawab semua. Tapi Alyn tidak bisa menunggu lagi, waktu itu adalah sekarang.Alyn berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya tampak tegang, namun matanya menyiratkan keinginan kuat untuk berbicara. Ibunya yang sedang duduk di kursi, langsung bangkit saat melihat putrinya."Alyn, kenapa kau datang ke sini?" suara ibunya terdengar cemas. "Di luar sangat berbahaya, para wartawan mungkin mengejarmu."Alyn menatap ibunya dengan tatapan yang penuh ketegangan. "Aku harus bicara, Bu."Ibunya terdiam sejenak, tampak ragu. "Ib
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny