Siang ini kembali aku mengantar lima puluh bungkus nasi rames ke proyek.
Seperti biasa aku membawanya dengan menggunakan gerobak bersama Raihan yang juga berada di dalamnya. Bocah lucu itu sangat mengerti kesulitan yang aku hadapi. Anak itu justru senang berada dalam gerobak beserta beberapa mainannya. Sementara beberapa kantong plastik berisi puluhan nasi bungkus aku gantung pada tepi gerobak, agar tidak disentuh oleh Raihan.Aku telah sampai di gerbang masuk proyek. Perlahan kudorong gerobak melewati beberapa pekerja yang istirahat. Kembali terlihat mobil mercy hitam milik Yuda terparkir sempurna di depan kantor proyek. Semoga saja aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Entah mengapa, sejak kejadian di rumah ibu mertua beberapa hari yang lalu, tanpa kusadari, wajah tampan laki-laki itu selalu terbayang di benakku.Pandangan mataku menelusuri sekitar para pekerja untuk mencari Mandor Haris, namun tidak terlihat sama sekali."Permisi ..., Mandor Haris kemana, Pak?" Aku mencoba bertanya pada salah satu pekerja."Nggak lihat, Neng. Coba masuk aja di dalam."Apaa? Masuk ke dalam? Lalu ketemu Tuan Yuda?Tidak!Aku nggak mau ketemu pria itu lagi. Cara dia menatapku membuatku tak bisa tidur. Apa dia memang selalu seperti itu jika menatap wanita?"Hei kenapa ada perempuan di sini? Siapa kamu?" Seorang wanita cantik dengan riasan wajah tebal memakai dress pendek tanpa lengan, keluar dari kantor proyek. Wajahnya yang angkuh memandangku dengan tatapan tak suka."Saya Salma, Bu. Mau bertemu Mandor Haris. Ini Nasi bungkus pesanannya,"Jawabku seraya menunjuk beberapa kantung nasi pada gerobakku."Ibu, ibu! Kamu pikir aku Ibumu? Panggil saya Nona!" sahutnya ketus.Astaga! Wanita ini ...! Aku hanya bisa mengurut dada melihat sikapnya."Iy-iyaa, maaf, Nona. Mandor Harisnya apa ada di dalam, Nona?""Mana saya tahu kemana Mandor Haris. Kamu pikir saya siapa, ha?"Ya Tuhan, wanita ini kenapa ketus sekali? Jelas aku tidak tahu siapa dia. Aneh."Biasa aja kali, Non. Saya kan cuma nanya," ujarku malas seraya memutar bola mataku."Hei perempuan miskin! Baru jadi tukang nasi bungkus saja sudah kurang ajar kamu!" teriaknya.Wanita tinggi berkulit putih itu menghampiriku seraya berkacak pinggang. Teriakannya membuat para pekerja menoleh pada kami.Aku membuang napas kasar. Malas rasanya menghadapi orang-orang seperti ini. Sebaiknya aku titipkan saja pada salah seorang pekerja di sini."Untuk apa kamu turunkan nasi-nasi itu?" tanya wanita itu seraya menaikkan alisnya dan mata melotot padaku. "Saya mau titipkan saja pada Bapak ini, Nona," sahutku tanpa menoleh dan terus memberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka. "Tidak usah! Bawa pulang saja lagi nasi-nasi itu. Dan mulai besok kamu nggak usah lagi antar nasi bungkus itu ke sini. Proyek ini tidak mau berlangganan dengan pedagang kurang ajar seperti kamu. Dasar orang miskin tidak sopan!" "Nasi-nasi ini sudah dibayar, Nona. Mana mungkin saya bawa lagi," sahutku kesal. Karena sikap dan teriakan wanita itu, Raihan jadi ketakutan dan menangis. Gegas aku meraih Raihan dari dalam gerobak dan menggendongnya. "Sudah sana cepat pergi! Berisik, tau nggak!" bentaknya lagi membuat tangis Raihan semakin kencang. Aku kesulitan mendiamkan tangis Raihan yang semakin keras. Anak ini terus mengamuk dan berkali-kali gendongannya terlepas. Para pekerja melihatku dengan wajah serba salah dan bingung. Mungkin mereka hendak m
POV Yuda Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita yang menolongnya. "Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup." "Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga. Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini. "Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui." "Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan! Wanita itu mendorong gerobak sambil menggendong anaknya. Bahkan dia sampai berlari agar Ayah bisa segera tertolong." Lagi-lagi Ayah mengulang-ulang kembali kekagumannya pada wanita itu. Aku jadi penasaran. Seperti apa wanita itu?
Siang ini di proyek. Baru saja aku menutup panggilan ponsel dari salah satu relasi bisnisku di Amerika. Bisnis yang sangat penting hingga aku harus meluangkan waktu beberapa lama untuk membicarakan perkembangan kerjasama kami. Tiba-tiba saja Aku mendengar keributan di luar kantor. Masalah apa lagi yang diciptakan oleh Tania? Suaranya terdengar hingga ke ruanganku. Apakah dia memarahi para pekerjaku lagi? Padahal sudah berkali-kali kutegur untuk tidak ikut campur dalam proyekku. "Ada apa ribut-ribut?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku tertegun ketika mataku bertemu pada wajah oval wanita cantik berhijab itu. Wanita si penjual nasi itu dengan cekatan mendorong gerobak sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sungguh luar biasa. Wanita yang kuat dan tak kenal lelah. Kekagumanku semakin bertambah padanya. Lagi-lagi debaran itu kurasakan saat menatap wajahnya yang cantik. Sepertinya wanita itu mulai menguasai hati dan pikiranku. Astaga! Kenapa aku jadi teringat dengan cerita Aya
"Yuda ... Ayah sudah menemukannya!" Ayah menghampiriku dengan wajah sumringah, ketika aku baru saja pulang dari kantor. Aku mencium tangan Ayah dengan takzim. Ayah adalah satu-satunya yang paling berharga aku miliki di dunia ini. Di usianya yang sudah senja, Aku belum bisa membahagiakannya. Ayah sangat ingin aku segera menikah. Namun Ayah tidak pernah setuju setiap aku memperkenalkan teman dekat wanitaku padanya. Aku menghempaskan tubuhku pada kursi empuk di samping Ayah. "Tadi Ayah bilang menemukan siapa?" tanyaku seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke siku. "Ayah sudah bertemu dengan wanita yang menolong Ayah waktu itu." "Lalu?" tanyaku lagi, sambil melangkah ke lemari pendingin dan meraih sebuah minuman kaleng, lalu meneguknya. "Pokoknya kamu harus segera menikahi wanita itu." "uhuk ... uhuk ... uhuk ...!" Spontan aku terbatuk-batuk karena tersedak. "Hei, hati-hati minumnya!" Ayah menepuk-nepuk ringan punggungku. "Ayah, memangnya sudah kenal be
"Yuda ... Yud ..., bangun sudah subuh!" Aku terjaga mendengar suara Ayah mengetuk-ketuk pintu kamarku. Tidak biasanya Ayah mau membangunkan aku. Biasanya laki-laki itu tak peduli aku sudah bangun atau belum. Sejak Ibu tiada, Ayah mengajarku untuk mandiri dan bertanggung jawab. Hingga aku bisa sukses seperti sekarang ini. "Ada apa, Yah? Tumben pagi-pagi bangunin aku.," tanyaku setelah membuka pintu. "Loh, katanya kita mau menemui wanita yang menolong Ayah waktu itu." "Ayaah, ini masih subuh kali," sahutku asal seraya merebahkan kembali bobotku pada ranjang. "Eeh ..., salat subuh dulu, sana! Kok, malah tidur lagi!" Ayah menarik lenganku hingga aku kembali terduduk. "Yudaa, kamu akan berterima kasih sama Ayah, jika telah melihat gadis itu. Parasnya cantik, walau sederhana. Sikapnya juga sangat santun. Walau dia bukan dari keluarga berada, tapi dia mampu menghargai dirinya sendiri." Lagi-lagi Ayah memuji wanita itu."Sana siap-siap. Setelah salat, Ayah tunggu di meja makan." Aya
Cinta datang dengan sendirinya.Cinta tidak bisa dipaksakanCinta bisa menerima kekuranganCinta membutuhkan pengorbanan Sambil menggendong Raihan, Aku masih menata meja dengan lauk-pauk. Pembeli masih sepi. Mungkin karena pasien puskesmas belum banyak yang datang. Setelah semua tertata rapi, aku mulai menyiapkan pesanan makan siang untuk proyek dan karyawan puskesmas. Beruntung Mak Isah mau membantuku.Sejak kemarin wanita setengah baya namun masih cekatan itu mulai membantuku berjualan. Mak isah anaknya sudah besar-besar. Dia juga janda sepertiku. Jadi sejak pagi sudah bisa datang membantuku memasak. Menurut Mandor Haris, mulai hari ini akan ada yang mengambil pesanan nasi untuk proyek. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi mengantar ke sana. Apalagi sampai bertemu wanita sombong itu. Dasar orang kaya, mentang-mentang bebas, seenaknya saja menghina orang tak punya. "Salma, bagaimana kabarmu?" Tiba-tiba Bang Adam sudah berdiri di hadapanku. "Baik, Bang." Sejak malam dia mel
Seorang perawat membantu Pak Surya untuk duduk di brankar dan bersandar pada dinding ruang UGD ini. Aku menyuapi beliau dengan sabar. Kasian sekali Pak Surya ini. Andaikan beliau adalah bapakku, tidak akan aku biarkan beliau pergi seorang diri seperti ini. Tiba-tiba sebuah ponsel yang berada di meja samping brankar, bergetar. "Apakah itu ponsel Bapak? tanyaku. Pak Surya mengangguk pelan. Segera kuraih ponsel itu dan memberikannya pada Pak Surya. "Ini, Pak." "Angkatlah. Mungkin itu anakku yang menghubungi." Aku menarik kembali ponsel yang tertera nama 'My Son' pada layarnya. Kemudian menerimanya. "Hallo ...! Ayah ... Ayah dimana? Maafkan aku, Yah!" Terdengar suara seseorang yang sedang panik di seberang sana. Kenapa sepertinya aku mengenal suara berat itu? "Hallo, Bapak Anda sekarang ada di puskesmas kecamatan bawal." "Siapa Anda? Bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya laki-laki itu lagi. "Sebaiknya anda segera datang ke sini!" sahutku, kemudian menutup panggilan ponsel itu.
"Ehm ... kalian sudah saling kenal rupanya?" Suara Pak Surya tiba-tiba mengejutkan kami. Aku langsung membuang pandangan ke arah kiri. Sementara Yuda lantas menoleh pada Ayahnya. Ternyata benar. Tuan Yuda adalah anak Pak Surya. "A-ayah, maafkan Aku !" Yuda langsung menghambur memeluk Ayahnya. "Untuk apa kamu menyusulku? Biarkan saja aku mati!" "Tolong jangan bicara seperti itu, yah! Maaf kan Aku ....Aku mohon!" "Gara-gara perempuan murahan itu, kamu sampai lupa pada Ayahmu," geram Pak Surya tanpa menoleh sedikitpun pada Yuda. "Maafkan Aku, yah! Sekretarisku sedang cuti. Aku agak kesulitan dalam mengatur jadwal dan menerima tamu saat ini." "Halah! Kamu pikir Ayahmu bodoh? Seharusnya perempuan murahan itu tidak diizinkan masuk!" "Ayah ... Aku kan sudah bilang, sekretarisku sedang cuti. Jadi ...." "Diam kamu!" Sontak Pak Surya membentak anaknya.."Ayah ..., sabar ya! Nanti tekanan darahnya naik lagi," bujukku lembut. Pak Surya merebahkan kembali tubuhnya di brankar. Sementara
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot