"Nggak usah sungkan gitu, Kamu tinggal bilang saja perlu berapa, nanti saya transfer!" Napasku memburu mendengar pembicaraan Mas Yuda dengan seseorang di ponsel. Dengan siapa dia sedang berbicara? Kenapa mudah sekali dia mengirim uang pada orang lain? Sedangkan dengan kakaknya sendiri kenapa sulit sekali? Dari nada bicaranya jelas bukan sedang bicara dengan klien atau relasi bisnis. Firasatku mengatakan, saat ini Mas Yuda sedang bicara dengan seorang ... wanita. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdetak cepat. Mas Yuda memutar kursinya dan tersentak ketika melihatku sudah berdiri di depan pintu. Dengan gelagapan suamiku itu memutuskan panggilan ponselnya. "Sibuk, Mas?" tanyaku seraya berjalan mendekatinya, tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa. Berusaha meredam rasa panas yang tiba-tiba mengalir di dadaku. Ingin rasanya bertanya. Tapi Aku mau Mas Yuda sendiri yang bercerita. Namun jika memang ada yang dia sembunyikan. Aku akan menyelidikinya sendiri. "Hai, Sayang! S
"Salma, minggu depan rumah kita di kampung Bawal sudah siap ditempati. Kamu jadi pindah ke sana?" "Kalau kita pindah, Apa Ayah mau ikut dengan kita?" "Ayah biar di rumah lama saja. Banyak pelayan di sana. Aku malah khawatir Kak Rio akan menguasai rumah itu jika Ayah juga ikut." Astaga Mas Yuda kenapa berpikiran seperti ini? Begitu bencikah dia dengan Kak Rio? "Terserah Mas aja." "Ya sudah, yuk balik ke kantor! Kamu nanti pulang duluan Sama supir! Kerjaanku masih banyak." "Kenapa nggak minta Syifa aja yang mengerjakannya, Mas?" "A-apa S-Syifa ...?" "Ya. Syifa. Bukankah dia sekretariismu sekarang?" "Ya. Nanti kerjaan lainnya Syifa yang mengerjakan. Pekerjaan yang tertunda ini memang harus aku sendiri yang handle." Aku hanya mengangguk lemah. Karena biasanya sesibuk apapun, Mas Yuda tidak pernah membiarkan aku pulang sendiri. Ya ampun, kenapa aku jadi sensitif begini? Huff ... Setelah makan, Mas Yuda mengantarku ke lobby hingga mobil yang aku naiki melaju meninggalkan kanto
Saat perjalanan pulang sungguh hati ini tidak baik-baik saja. Walau belum terbukti dengan jelas, namun firasatku mengatakan ada sesuatu yang disembunyikam oleh Mas Yuda. Syifa, Wanita itu terlihat lugu dan pendiam. Jauh berbeda dengan Selvi. Justru kemarin aku lebih tenang ketika pengganti Selvi adalah wanita berhijab seperti Syifa Setidaknya dia bisa menjaga penampilannya di kantor. Di depanku Syifa juga bersikap sopan dan ramah. Apa mungkin wanita itu memiliki hubungan khusus dengan Mas Yuda? Apa mungkin Syifa itu seorang pelakor? Tanpa terasa mobil sudah memasuki gerbang rumah. Sepintas aku seperti melihat tiga orang laki-laki berbadan tinggi besar berkulit hitam di dekat pos security. Siapa mereka? Kenapa sepertinya wajah mereka tidak ramah? "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam. Sudah pulang Salma?" "Sudah, Yah." Aku mencium tangan Ayah Surya yang sedang duduk sendirian di teras saat aku pulang. Mobil Mira ada di depan. Sepertinya Mira dan Kak Rio ada di dalam. "Ayah,
Aku rasa jika Kak Rio menemui mereka dan bicara baik-baik, mungkin mereka juga akan sopan," sahutku, walaupun baru kali ini aku melihat debt kolektor menagih hutang. Karena sebelumnya belum pernah berhubungan dengan orang-orang seperti ini. Kak Rio menghembus napas kasar, lalu dengan langkah berat laki-laki yang mirip dengan Mas Yuda itu berjalan menujiu ruang tamu. Sementara Mira mengikutinya dari belakang. Wanita cantik itu sempat melirikku kesal dengan sudut matanya. Aku duduk di ruang keluarga yang terhubung dengan ruang tamu. Namun terhalang oleh pemisah ruangan yang berupa ukiran kayu jati. Jadi aku bisa mendengar jelas pembicaraan mereka. "Bagaimana ini, Pak Rio? Anda jangan main-main sama kami. Hutang-hutang anda sudah lewat jatuh tempo cukup lama. Jika hari ini Anda tidak membayar, kami akan laporkan ke polisi!" "B-beri saya waktu, Pak," sahut Kak Rio gemetar. "Kami sudah beri bapak waktu cukup lama. Malah Pak Rio hilang-hilang terus kalau kami datangi. Istri Anda kan ar
Pov Yuda Aku merasa ada yang berbeda dari sikap Salma. Apa dia curiga? Ya, sepertinya istriku itu mulai curiga bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu. Bagaimana ini. Aku tidak mungkin menceritakan hal ini pada Salma sekarang. Bukannya aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada istriku itu. Namun belum saatnya aku bicara. Semuanya serba rumit. Aku tak ingin membebani pikirannya. Pekerjaanku makin menumpuk. Sepertinya aku harus punya asisten pribadi yang handal. Mungkin Rein bisa mencarikannya untukku Saat ini satu perusahaanku sudah dikelola oleh Rein. Aku senang semangat hidup sahabatku itu telah kembali. Semoga Laki-laki itu bisa move on dari cinta pertamanya dan menemukan kembali cinta yang baru. "Permisi, Pak. Ada yang harus saya kerjakan lagi?" Tiba-tiba Ayu masuk ke ruanganku yang kebetulan pintunya tidak ditutup. Aku melirik arlojiku, ternyata sudah hampir malam. "Kamu pulang duluan saja. Saya sebentar lagi juga pulang." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi pulang.
Pov Yuda"Begini, Pak Rio. Besok kami akan ke sini lagi. Kami akan bawa polisi. Jika Bapak Rio belum juga bisa membayar hutang-hutangnya, terpaksa Bapak akan kami bawa ke kantor polisi!" "Tolong jangan besok, Pak!" Rio terus memohon. "Tidak ada waktu lagi, Pak. Sebaiknya bapak pikirkan untuk membayarnya besok.. Kami permisi!" Sepeninggal para penagih itu, aku meminta semua kumpul. Atas permohonan Salma, demi kesehatan Ayah, aku akan membantu Rio menyelesaikan masalahnya. "Bagaimana Yuda. Apa kamu jadi membantu Rio?" tanya Ayah. "InsyaAllah. Rio, Aku tau, Kamu masih memiliki satu hotel bintang lima di Bandung. Aku sudah menyelidiki semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kenapa tidak kamu jual saja itu untuk membayar sebagian hutang-hutangmu?" Rio tampak gelagapan. Ayah dan Mira melotot padanya. Selama ini dia bilang ke semua orang bahwa aset yang dia miliki telah habis terjual. "Apa maksudmu menyembunyikannya dariku, Mas?" Mira nampak sewot. "Hotel itu sudah hampir bangkrut
Sepanjang malam mata ini sangat sulit terpejam. Mas Yuda bilang, siapkan mental. Haduh, kira-kira apa yang sebenarnya telah terjadi? Sungguh aku takut jika yang aku khawatirkan terjadi. Rasanya ingin cepat pagi saja. Dan segera mengetahui apa yang selama ini telah disembunyikan oleh suamiku. Entah pukul berapa semalam aku terlelap. Pagi ini Mas Yuda berjanji mengajakku ke suatu tempat. Walau hati ini rasanya tidak karuan, aku tetap melakukan tugasku menyiapkan segala keperluan Mas Yuda. Suamiku itu tetap bersikap mesra. Seperti tidak terjadi apa-apa. "Sudah siap, Sayang?" tanyanya ketika aku juga sudah rapi dengan stelan celana tunikku. "Sudah, Mas. Aku cek Raihan sebentar ke kamar sebelah. Tadi sih masih tidur." "Stok ASI nya sudah kamu siapkan? Kita mungkin agak lama." Lama? Maksudnya? Apa aku akan pergi jauh? "Salma? Kok malah melamun?" "Oh, eh ... nggak apa-apa , Mas. Stok ASI nya banyak kok" jawabku sedikit gugup. "Syukurlah.. Ya sudah. Aku tunggu di bawah." Laki-laki
"Kenapa, Sayang? Kok diam?" Aku menghella napas panjang. "Aku ... punya firasat nggak enak, Mas." Mas Yuda yang sedang menyetir, tangan kirinya meraih jemariku dan mengecupnya sesaat. "Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak," lirihnya. "Kenapa Mas nggak cerita aja sekarang?" "Aku ingin agar kamu melihat dan bertemu langsung dengan seseorang." Jantungku semakin berdebar. Apa aku akan bertemu dan berbicara langsung dengan Syifa? Apa aku sanggup dengan apa yang akan aku dengar nanti? Aku semakin bertanya-tanya ketika mobil Mas Yuda memasuki area parkir salah satu rumah sakit ternama di kota ini. "Kita ke rumah sakit, Mas?" tanyaku heran. Mas Yuda mengangguk. Nampak wajahnya mulai tegang. Mas Yuda sudah tidak banyak bicara. Dari area parkir di lantai lima, kami masuk ke dalam lift. Mas Yuda menekan angka tiga,. Kenapa wajah suamiku ini berkeringat. Aku semakin cemas. Kembali jantungku berdegup kencang. Aku tak lagi berani bertanya. Sebaiknya mempersiapkan hati untuk menerima
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot