Rein muncul bersama seorang perawat. "Bagaimana, Rein? Apa Aku bisa masuk ke kamar Mas Yuda sekarang?" Wajahku berbinar melihat anggukan Rein. "Ayolah cepat, Rein!" Aku memandang Rein dengan tatapan memohon. Sabrina melirik kami dengan tatapan tak suka. Wanita itu mendengkus kesal. "Ingat, kamu bukan lagi istri Yuda!" ketusnya. Tanpa mempedulikan ucapan dokter itu, aku dan Rein mengikuti langkah perawat itu menuju pintu masuk tempat Mas Yuda berada. Sebelum masuk, aku dan Rein diminta perawat itu untuk menggunakan pakaian khusus. Bagai dejavu, aku kembali berada di situasi delapan tahun yang lalu. Ketika Mas Yuda terbaring tak berdaya karena kecelakaan itu. Langkahku terhenti tepat di samping Mas Yuda terbaring. Perlahan tanganku terangkat untuk menyentuh wajah yang selalu kurindukan siang dan malam. Namun aku sadar, kini kami bukan lagi suami istri. Ingin rasanya membelai wajah tampan yang telah mengisi hatiku itu. Andai saja saat ini kami masih sah sebagai suami istri, te
"Astaga! Mau apa kamu?" Aku terlonjak melihat Elkan berada di dapur. Ternyata yang menarikku barusan adalah Elkan. Mau apa dia? Elkan berdiri di dekat pintu dapur yang baru saja dia kunci. Matanya menatap dalam padaku. "Jangan macam-macam, El!" desisku. "Bagaimana Yuda?" "Kalau mau membicarakan Yuda, kenapa harus tutup pintu?" tanyaku ketus. "Maafkan aku Salma, Aku sudah tak bisa lagi menahan diri." Haah?? Aku tersentak mendengar ucapan Elkan barusan. Apa maksudnya? Apa Elkan akan berbuat sesuatu yang tidak pantas padaku? "Maksudmu apa?" Aku memandangnya dengan tatapan nyalang. Elkan berdiri semakin dekat. Tubuhnya yang tinggi semakin mengikis jarak diantara kami. "Elkan, Stop!" Aku meletakkan kedua tanganku di depan mencoba menghalangi Elkan. Sialnya, kedua tanganku malah menempel di dada bidangnya Secepat kilat kembali menarik kedua tanganku. "Aku ... nggak bisa lihat kamu dekat-dekat dengan pria lain. Aku nggak bisa lihat kamu dekat dengan Rein," tegasnya dengan tatapa
POV Sabrina "Pulanglah, Sabrina! Kasihan Tristan." Aku berdecak kesal mendengar permintaan ibu.Entah untuk yang ke berapa kalinya ibu menghubungiku dalam beberapa hari ini. Lagi-lagi alasannya karena Tristan. Padahal Sejak kecil Tristan sudah terbiasa aku tinggal. Bahkan hingga berbulan-bulan. "Maaf, Bu. Bukankah Tristan sudah biasa aku tinggal pergi dalam waktu yang cukup lama? ini hanya alasan ibu saja, kan?" Walau Tristan bukan anak kandungku, tapi sejak kecil anak itu memanggilku Mami. Yang dia tau aku adalah ibu kandungnya. Tapi Ibulah yang merawatnya sejak aku mengadopsinya. Waktu itu aku tidak tega melihat bayi kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Tristan dirawat beberapa hari di rumah sakit tempat aku bertugas. Setelah sembuh, Aku membawanya pulang dan mengadopsinya. Beberapa bulan kemudian aku melanjutkan pendidikan ke luar negeri meninggalkan Tristan bersama Ibu dan pengasuhnya. Aku hanya pulang sesekali menengok mereka. "Lalu demi laki-laki itu kamu r
Napasku memburu memandang Mas Yuda yang berdiri di hadapanku. Keringat mulai bercucuran di dahiku. Bulir bening yang telah membendung siap akan tumpah membasahi kedua pipiku. "Pergilah, Elkan akan menemanimu!" Mas Yuda mengusirku dengan tatapan dinginnya. "Apa salahku, Mas? Aku nggak mau pergi dengan Elkan. Dia jahat, Mas. Kemarin aja aku dipeluknya. Da lancang, Mas. Pokoknya Aku nggak mau dekat-dekat dia lagi." Aku terus meracau sambil memohon pada Mas Yuda yang kemudian berbalik membelakangiku. "Elkan tidak jahat. Tapi dia justru sangat mencintaimu. Sudahlah, cepat kalian pergi!" tegas Mas Yuda tanpa menoleh sedikitpun. Saat ini aku hanya bisa memandang punggung tegapnya yang semakin kurus. Rambutnya pun mulai panjang dan tak terurus. "Aku pergi!" Tiba-tiba dia melangkah semakin menjauh tanpa menoleh padaku walaupun hanya sesaat. "Mas ... Mas Yuda! Mas Yuda ...., Mas!" Aku menjerit sangat keras memanggil namanya. "Bu ..., Bu Salma! Buka pintunya, Bu!" "Salma ...! Ada apa kam
"Yuda, apa kamu tidak mengerti bagaimana perasaan Salma? Dia sangat mencintaimu." Elkan berusaha meyakinkan Mas Yuda. Sementara aku hanya berdiri mematung sambil sesekali menyusut air mata yang tak henti-hentinya membasahi wajahku. "Aku hanya ingin dia bahagia. Aku tidak akan bisa membahagiakannya. Kamu juga sangat mencintainya, bukan?" Mas Yuda kembali bicara dengan oksigen yang masih menutupi mulut dan hidungnya. Napasnya terdengar naik turun. Ya Allah. Tidak mengertikah dia bahwa kabahagiaanku adalah hanya bersamanya? Tangisku semakin pecah. Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Aku tak menemukan Rein di depan ruangan. Kemana dia? Seketika aku membuka ponselku, barangkali Rein mengirim pesan untukku. [Maaf aku tidak pamit. Katakan pada Yuda aku kembali ke Indonesia beberapa hari ini] Aku mendesah. Jika Rein pergi, lalu siapa yang mengurus Mas Yuda di sini? Sebaiknya aku minta izin pada guru Raihan untuk menunda kepulanganku. Setidaknya sampai Rein kembali. Aku tidak
POV Elkan "Apa maksudmu? Permintaan apa?" Aku mengerutkan kening. "Sekali lagi aku mohon padamu. Menikahlah dengan Salma. Aku ingin tenang. Aku tau kamu sangat mencintainya!" Aku menghela napas kasar. Entah apa yang yang ada dalam otak sahabatku ini. Jelas-jelas sampai hari ini dia masih hidup. Kenapa dia selalu berpikir akan pergi dengan tenang? Aku tersentak saat tiba-tiba saja Salma melangkah lebih dekat pada Yuda. Emosi di wajahnya mulai terlihat. "Kamu benar-benar nggak punya hati, Mas! Kamu pikir aku ini perempuan apa? Seenaknya saja kamu ceraikan, lalu kamu paksa menikah dengan pria lain." Aku menoleh pada Salma yang telah berlinang air mata sambil menunjuk-nunjuk dadanya. Kilatan amarah nampak jelas dari kedua netranya. Tatapan nyalang itu seakan menggambarkan emosi yang sudah tak terbendung lagi. Salma seakan menumpahkan sesuatu yang selama ini dia pendam. "Salma ... bukan maksudku ..., Aku hanya ingin ..." suara Yuda semakin berat dan tersendat. "Apa, Mas? Kamu ingin
POV ELKAN Hari ini aku membawa Salma dan kedua anaknya kembali ke Jakarta, setelah lebih dari dua bulan kami berada di Singapore. Sepanjang jalan Raihan dan Maina nampak antusias. Salma pun berusaha mengimbangi keceriaan anak-anaknya. Walaupun aku sangat tau, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tersimpan luka yang begitu perih dan sulit untuk diobati. Apakah aku mampu mengobati luka hatinya? Apakah aku bisa menghapus kenangan pahit yang pernah dia rasakan? Mampukah aku membuatnya selalu tersenyum? Kenapa justru keraguan itu semakin menghantuiku? Apa nanti aku bisa menjalani rumah tangga bersama Salma? Sementara wanita itu sama sekali tidak mencintaiku? Selama di pesawat Raihan dan Maina tertidur. Raihan duduk bersamaku dan minta berada di kursi dekat jendela. Begitu pula dengan Maina yang duduk dengan bundanya. Aku melirik pada Salma yang sejak tadi hanya diam dengan tatapan kosong ke depan. Pasti saat ini dia sangat sedih meninggalkan separuh jiwanya di negeri orang. "Salma,
POV AUTHOR "Sabrina, kamu harus datang sekarang juga ke sini. Ada yang ingin aku perlihatkan padamu!" Sabrina mendengar permintaan dokter Ken dari ponselnya. Beberapa detik kemudian wanita yang membiarkan rambut panjangnya tergerai indah itu bergegas meraih tas dan melajukan mobilnya menuju Mount Elizabet Hospital. Tak berselang lama, Sabrina tiba di rumah sakit ternama di Singapore itu dan langsung melangkah menuju ruangan dokter Ken, yang juga sekaligus sahabatnya. Sejak Salma dan Elkan merawat Yuda selama beberapa bulan, Sabrina jarang datang menemui Yuda. Namun dia terus memantau kondisi Yuda dari jauh melalui dokter Ken. Sahabatnya itu selalu memberikan informasi terkini tentang perkembangan kondisi kesehatan Yuda. Ken baru saja selesai memberikan konsultasi pada salah seorang pasiennya, ketika Sabrina datang. "Masuklah, Sabrina!" Sabrina melangkah masuk dan medudukkan tubuhnya pada kursi di hadapan Ken. "Bagamana, Ken? Apa yang akan kamu perlihatkan padaku? Apa yang terja
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot