"Iya, Ayah mau punya cucu," jawabku masih dengan senyuman dan air mata. "Jangan senang dulu, Yah! Jangan-jangan itu bukan anaknya Yuda." tuduh Mira padaku. "Astagfirullah ...! Kamu tega sekali Mira," lirihku dengan suara bergetar. Rasanya pedih sekali di tuduh seperti ini.Dadaku kembali terasa sesak. "Mira, tutup mulutmu! Dasar penghasut!" geram Elkan , melotot pada Mira. "Hahaha .... loh, kenapa kamu yang marah? Atau jangan-jangan kamu merasa sebagai tertuduh di sini?" Mira tersenyum puas. "Sudah, sudah! Kita tunggu Yuda sadar untuk membuktikannya! Sebaiknya kita berdoa untuk kelancaran operasinya," pungkas Ayah. Kenapa Ayah bicara seperti itu? Apa Ayah juga meragukanku? Ya Allah ..., kuatkanlah hambamu ini. Suasana selanjutnya menjadi tidak nyaman. Ayah tak sehangat biasanya padaku. Kak Rio, Ayah dan Mira meninggalkanku di UGD untuk menunggu Mas Yuda di depan ruang operasi. Sementara Elkan masih menemaniku di sini. "Suster, Saya boleh pinjam kursi roda? Saya mau menungg
Perlahan aku coba membuka mata. Aroma obat-obatan khas rumah sakit masih tercium jelas olehku. Kali ini aku melihat selang infus sudah terpasang pada tangan kiriku. Saat ini aku berada di ruang berdinding warna putih bersih dengan hiasan walpaper motif bunga di bagian tengahnya "Salma ...." Aku menoleh pada suara yang tak asing bagiku. Pria itu masih di sini menemaniku. Dia benar-benar menepati janjinya untuk selalu menjagaku. Raut wajahnya nampak lelah. Elkan terlihat pucat. Saat ini penampilannya tidak lagi memukau seperti biasa. Pria ini terlihat berantakan dengan rambutnya yang kusut. "El ..., kamu kenapa masih di sini?" tanyaku dengan suara lemah. "Mana mungkin aku meninggalkanmu ketika sedang pingsan?" sahutnya seraya lebih mendekat pada ranjangku. "Apakah ... Ayah dan Kak Rio benar-benar tidak peduli lagi padaku?" suaraku bergetar, menahan rasa sesak yang kembali memenuhi dadaku. "Sudahlah. Jangan kamu pikirkan itu. Ada hal lebih penting yang harus kamu pikirkan!" Aku
"El, ponselku mana?" "Tas dan ponselmu ada di laci ini," sahutnya sambil mengambilkan untukku. "Terima kasih." "Sebaiknya kamu pulang saja, El. Aku akan minta Kak Lina mencarikan orang yang bisa menemaniku. " "Apaa? Lina salah satu kakak iparmu itu?" Aku mengangguk. "Apa kamu masih percaya pada mereka? Setelah apa yang mereka lakukan padamu selama ini?" "Aku lelah, El. Aku yakin mereka sudah berubah. Mereka sudah mendapatkan ganjarannya." Wajah Elkan tiba-tiba menggelap. Pasti dia ingat dengan uang satu milyarnya. Namun aku salut, Elkan tidak menuntut keluarga iparku itu ke jalur hukum. Padalah dia adalah seorang pengacara. "Terserah padamu, Salma. Aku akan pulang jika sudah ada yang menggantikanku di sini," ucapnya seraya menghempaskan tubuhnya pada sofa yang terdapat di sudut ruangan ini. Selanjutnya tidak ada percakapan diantara kami. Elkan nampak mulai memejamkan mata. Sementara aku masih mencoba menghubungi Kak Lina dan Mak Isah. -------- "Bu Salma, badannya kita
Kak Rio dan Mira melarangku menemui Mas Yuda. Sejak kemarin aku hanya mendapat informasi dari para perawat di sini. Syukurlah para perawat di sini baik dan mengerti dengan kesulitanku. Namun demikian, Aku harus tetap mencari cara agar bisa mememui Mas Yuda. Bagaimanapun juga, suamiku itu butuh dukunganku. Mungkin jika aku berada di dekatnya, alam bawah sadarnya akan merasakan kehadiranku. Apalagi saat ini ada buah cinta kami di dalam perutku. Semoga dengan demikian, Mas Yuda bisa cepat sadar. Setelah berpikir panjang, aku mempunyai satu cara. Aku akan minta tolong pada dokter Mariska. Kelihatannya dokter itu baik. Semoga saja dia bisa membantuku. Tiba-tiba pintu ruang rawatku diketuk. Tidak mungkin Kak Lina balik lagi. Karena kakak iparku itu baru saja pulang untuk mengambil beberapa pakaiannya. Karena aku memintanya untuk menginap di sini selama aku dirawat. "Selamat siang, Salma." "Selamat Siang. Astaga, Rein. Syukurlah kamu bisa datang." Bagaikan kedatangan dewa penolong, aku
"Suster, Apa dokter Mariska datang hari ini?" "Jadwal dokter Mariska nanti malam, Bu Salma." "Boleh saya titip pesan untuk dokter Mariska?" "Pesan apa, Bu? Nanti saya sampaikan." "Saya minta dokter Mariska menemui saya. Ada hal penting yang ingin saya tanyakan padanya." "Baik, bu. Saya pikir tadi pagi dokter Mariska ke sini. Karena sejak semalam teman ibu yang pengacara itu selalu menemaninya jaga malam di ruang dokter." "Pengacara? Elkan?" Perawat itu mengangguk. Elkan semalam ada di rumah sakit ini dan dia sama sekali tidak menemuiku? Apa dia marah padaku? Apa benar yang Mira katakan kemarin? Bahwa Elkan tidak akan menemuiku lagi? Padahal aku sangat butuh bantuannya saat ini. Aku ingin dia membantu membawaku ke ruang ICU bersama dokter Mariska. ---- Kak Lina kembali datang sejak sore tadi. Sekarang sudah jam sepuluh malam. Semoga saja dokter Mariska sudah datang. Menurut perawat tadi, jadwal jaga dokter cantik itu adalah sejak pukul sepuluh malam hingga pukul tujuh pagi
"Ka ... kamu siapa ...?" Aku menatap Mas Yuda tak percaya. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Benarkah apa yang baru saja aku dengar? Apa benar Mas Yuda tidak mengenaliku? Aku menatap lekat manik matanya. Mata yang selalu aku rindukan. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang pernah meluluhkan hatiku hingga diri ini jatuh dalam pelukannya. Namun tatapan itu kini sungguh berbeda. Tidak ada lagi cinta yang tersirat di sana. Mas Yuda tak lagi membalas tatapanku. Dia justru membuang pandangannya. Perih. Kenapa sesakit ini rasanya. Seorang yang begitu kucintai. Siang malam aku menunggu kapankah dia akan terjaga. Aku berharap dapat memeluk dan menciumnya kini. Namun apa yang terjadi? Suamiku tak mengenaliku. Mataku berkabut. Aku kembali menyusut air mataku yang semakin deras. Aku semakin terisak. Rasa sesak kembali memenuhi dadaku. Cobaan apa lagi ini. "Mas ... Aku Salma ... istrimu." Parau suaraku menjelaskan padanya. Namun lelaki di
"Selamat pagi, Bu Salma. Kita periksa dulu, ya!" Pagi ini dokter Mariska kembali memeriksaku. "Hari ini Bu Salma sudah boleh pulang. Kondisinya sudah lebih baik. Namun tetap harus banyak istirahat." "Syukurlah. Terimakasih Dok," sahutku lega. "Dok, Apa saya bisa menemui suami saya lagi?" harapku pada dokter mariska setelah dua hari ini aku menahan diri untuk tidak menemui Mas Yuda. Dokter cantik itu terdiam sejenak. "Baiklah. Namun jangan terlalu memaksakan pasien untuk mengingat semuanya." "Siap, Dok," jawabku antusias. "Satu hal lagi yang perlu Ibu Salma ketahui. Bapak Yuda mengalami kelumpuhan sementara pada kakinya." "Aa-paa? Mas Yuda lumpuh?" jeritku tertahan. Dokter Mariska mengangguk. Tapi Ibu Salma tidak perlu khawatir. Menurut dokter Neurologi, lumpuhnya hanya sementara dan bisa disembuhkan." "Iya, Dok. Saya akan merawat suami saya sebaik-baiknya." Setelah dokter Mariska keluar dari kamarku, Kak Lina membantuku berkemas. Aku telah menghubungi supir untuk menjem
Setelah semua sudah beres, kami bersiap-siap untuk berangkat. Aku hanya mengajak Bu Ratri untuk pindah ke kampung Bawal. Sedangkan Asisten rumah tangga lainnya masih bekerja di rumah Mas Yuda. Beruntung Mak Isah dan Kak Lina mau kembali bekerja membantuku. "Salma, bawalah satu mobil Yuda dan Pak Supir bersamamu." Sungguh aku tak percaya, ternyata Ayah masih memperhatikan aku. "Terima kasih, Ayah!" Tampak mata Ayah berkaca-kaca. Aku dapat merasakan, jauh di relung hati Ayah, beliau tidak percaya kalau aku selingkuh. Bulir bening mulai menetes dari sudut matanya saat kami berpamitan. Ayah mengusap-usap kepalaku. Lelaki yang sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri itu juga menciumi wajah Raihan. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang berderai. Entah kenapa perpisahan ini terasa sangat berat. "Kamu baik-baik, Ya Salma!" Suara ayah bergetar. "Ayah juga yang sehat. Jangan lupa minum obat rutinnya!" sahutku di antara isak tangis. Ayah hanya mengangguk. Tak lagi keluar satu k
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot