“Lo mau ke mana?” Akhirnya Yoga menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya setelah melihat Zevanya yang tampak cantik, rapih dan seperti siap untuk pergi.“Mau pergi.” Zevanya menjawab cepat, agar Yoga segera angkat kaki di rumahnya.“Ke mana?” Si Yoga ini kepo sekali.“Ke Bali.” Zevanya menjawab jujur menghasilkan kerutan di kening Yoga.“Sama siapa?” Yoga bertanya dengan ekspresi tidak percaya.“Sama pacar Anya ….” Yoga menaikkan kedua alisnya terkejut mendengar jawaban Zevanya.“Abang!” Zevanya berseru seraya melambaikan tangan ke belakang Yoga.Cowok itu segera saja memutar badan dan mendapati seorang pria dengan pakaian casual—dan Yoga tahu harganya sangat fantastis dan sangat kontras dengan keadaan sekitar—sedang berjalan mendekat.Davanka menatap dingin pria yang berdiri di teras rumah Zevanya.Begitu juga Yoga yang tatapannya seakan menantang Davanka.Yoga mengenali wajah pria itu, pria yang sama yang menjemput Zevanya beberapa hari lalu di kampus.“Yoga … kena
“Jadi itu yang namanya Yoga?”Zevanya tertawa seperti anak kecil menanggapi pertanyaan Davanka.Tangannya masih menggelayuti lengan Davanka yang dibiarkan oleh pria itu karena tahu Zevanya ingin membuat Yoga cemburu.“Iya Abaaaang.” Zevanya menjawab memanjang kata.“Lo ganti panggilan buat gue?”“Biar seragaman sama keluarganya Abang dan enggak ketuker sama mas Raga.Zevanya selalu memiliki jawaban nyeleneh yang membuat Davanka geleng-geleng kepala.“Udah gelendotannya, udah jauh juga.” Davanka baru meminta belum sampai menghela tangan Zevanya.“Belum, Bang … Yoga masih bisa liat kita.” Zevanya mengeratkan pelukannya di lengan Davanka hingga pipinya menyentuh otot bisep dibalik polo shirt pria itu. Davanka melirikan matanya ke bawah menatap puncak kepala Zevanya.“Ngapain dia di rumah lo?” tanyanya terdengar santai tapi sebenarnya dia ingin tahu.“Katanya lagi lewat di sekitar sini terus mampir, basi banget ‘kan alasannya … bilang aja dia kangen sama Anya, nyesel udah mu
Meskipun Gunadhya memiliki banyak armada privat jet dengan berbagai jenis tipe dan ukuran tapi Davanka sebagai cicit pertama laki-laki jarang sekali mau menggunakan pesawat mewah itu bila bukan untuk urusan bisnis atau keperluan mendesak.Davanka lebih menyukai menggunakan pesawat komersial atau menggunakan fasilitas yang mampu dia bayar dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Tidak seperti ketiga adiknya yang menikmati dengan sebaik-baiknya harta kekayaan Gunadhya.Tapi meski menggunakan pesawat komersil, bukan fasilitas biasa yang Davanka pilih melainkan kelas eksclusive sehingga hanya ada dua seat setiap barisnya.Kursi Davanka dan Zevanya berseberangan dengan Raga dan Vanessa.Sepasang kekasih itu selalu tampak mesra seperti pengantin baru, tidak tahu tempat seakan yang lain mengontrak.Lihat saja bagaimana cara Raga merangkul pundak Vanessa padahal mereka sedang duduk di kursi pesawat yang nyaman dan setiap kemesraan mereka tentu saja membuat Davanka dan Zevanya jadi jengah.
Mereka berempat tiba di resort saat tengah malam.Hanya ada dua cottage tersisa, dari pesan yang dititipkan bunda pada petugas resepsionis—Zevanya menginap satu cottage dengan Vanessa dan Davanka bersama Raga.Selain dua cottage tadi, semua cottage sudah penuh termasuk kamar-kamar yang berada di gedung utama.Resort milik Gunadhya memang selalu menjadi tempat favorite para pelancong setiap kali berkunjung ke Bali terlebih akan ada acara tunangan Kanaya dan keluarga dari pihak ayah dan bunda hampir semua datang.“Silahkan, ini kunci kamarnya, Pak.” Seorang resepsionis pria memberikan Davanka dua buah keycard.Raga menyambar satu kemudian merangkul Vanessa.“Gue sekamar sama cewek gue,” kata Raga penuh penekanan tidak menerima protes.“Terus Anya sama siapa?” Zevanya menyusul langkah Raga dan Vanessa yang menjauh mengikuti petugas hotel yang membawa tas mereka.“Sama cowok lo, laaah …,” sahut Raga terdengar senang sekali.“Bang … jadi kita sekamar?” Zevanya menghentikan langkah
“Ini ….” Telunjuk bunda mengarah pada Zevanya.Zevanya yang baru saja menyadari mungkin wanita cantik itu adalah mamanya Davanka langsung menahan napas, wajahnya pun berubah pucat dengan mata terbelalak.Pasalnya saat ini dia berada di dalam cottage yang sama dengan Davanka.Beliau pasti akan berpikir yang tidak-tidak.Zevanya jadi menyesal telah membuka pintu, tadi karena masih sangat mengantuk—dia tidak mendengar dengan jelas kata yang diucapkan wanita yang menggedor-gedor pintu.Yang ada dalam pikiran Zevanya adalah melabrak wanita itu dan memintanya untuk diam lalu dia akan kembali tidur.Beruntung tadi Davanka memanggilnya jadi dia belum sempat marah-marah. “Siapa … namanya, Bunda lupa.” Bunda mencoba mengingat.“Ini Anya, Bun.” Davanka mengesah pasrah karena mungkin akan mendapat sidang dari ayah bunda.“Lho! Tidur bareng kalian?” Tiba-tiba ayah datang dari belakang bunda dan langsung menuduh.Zevanya mengerutkan wajahnya, benar ‘kan yang baru saja dia pikirkan.“Tan
“Cieeee … yang udah punya pacar,” kata om Kai, adik ketiga ayah Kama menggoda Davanka.“Om kira kamu gay,” celetuk Om Aarash-kakak pertama bunda tanpa tedeng aling-aling.“Sama Om, Anya juga mikirnya gitu,” kata Zevanya di dalam hati.“Kaaaaak, ih amit-amit …,” protes bunda mengerang bersama tatap mata kesal.Davanka tidak menanggapi celotehan para om, dia menarik kursi dan menekan pundak Zevanya pelan untuk duduk.Zevanya menoleh bingung menatap Davanka tapi kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi.“Oooh, sandiwara dimulai.” Zevanya membatin.“Sekarang sela-sela jarinya abang udah enggak ada sarang laba-laba lagi,” kata ayah ikut-ikutan menggoda Davanka.“Kenapa?” Beberapa orang di sana kompak bertanya.“Soalnya sekarang udah ada yang genggam tangannya abang.” Ayah menjawab lantas terkekeh.Beberapa orang masih bingung dengan kelakar ayah.“Maksud ayah, saking lamanya ngejomblo dan enggak pernah pegangan tangan sama cewek jadi sela-sela jari abang ada sarang laba-labanya,”
Cara jalan Zevanya berubah pincang membuat Davanka khawatir.Akhirnya dia mengulurkan tangan ke depan Zevanya membuat sang gadis mendongak.“Dokter di klinik masih sodara ayah, dia akan curiga kalau ngeliat gue enggak perhatian sama lo.”Zevanya mengerjap, dia menatap Davanka sebentar kemudian mengangguk, percaya dengan alasan Davanka. Zevanya mengulurkan tangan menyambut tangan Davanka namun dengan satu gerakan mudah—Davanka menggendong Zevanya ala bridal hingga Zevanya memekik.“Bang!” serunya terkejut.“Diem,” titah Davanka, melirik sekilas lalu mulai melanjutkan langkah menuju klinik.“Bang … Anya berat enggak?” Zevanya melingkarkan kedua tangan di leher Davanka.“Iya, kebanyakan dosa lo.” Davanka menyahut.Alih-alih kesal mendapat ledekan, Zevanya malah tertawa pelan.“Bang … boleh sekalian kepala Anya bersandar di pundak Abang enggak? Pusing juga soalnya, Anya.” Nada suara Zevanya kentara sekali sedang menggoda Davanka.“Jangan macem-macem, Anya!” seru Davanka ding
Mata Davanka terus-terusan mengawasi Zevanya yang tengah mengobrol heboh sekali dengan adik dan para sepupunya.Gadis itu tidak segan mengekspresikan apa yang tengah diceritakannya meski harus menunjukkan wajah jelek hingga membuat semua tertawa. Kepala Davanka meneleng, matanya masih fokus tertuju pada Zevanya—dia sedang menunggu ekspresi jelek yang benar-benar jelek dari wajah Zevanya.Sebab dari tadi dia hanya mendapatkan ekspresi jelek tapi menggemaskan.Lalu dalam hati Davanka mengumpat karena telah memuji Zevanya.Dia pun menundukan pandangan.Tepukan di pundak membuat Davanka menoleh cepat.Seorang pria tersenyum padanya begitu ramah.Bagaimana mungkin tidak ramah, pria itu akan menjadi adik iparnya—kalau semua rencana Kanaya tidak berhasil.“Kekasihmu ….” Ryley yang telah duduk di sampingnya mengendik ke arah Zevanya.“Dia gadis yang supel,” katanya menyambung kalimat.Mungkin tingkah Zevanya telah menarik perhatian Ryley juga.Selain itu, ketika Davanka dan Zevan
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid