“Terus Abang sama Anya gimana?” Kanaya bertanya dengan suara sangat pelan. Dia tidak tahu percis hubungan yang sebenarnya antara Davanka dengan Zevanya.Abangnya belum sempat bercerita tapi Kanaya curiga kalau mereka tidak benar-benar saling mencintai.“Kita punya perjanjian sampai menikah selama dua tahun, setelah itu Abang ceraikan Anya.” Tuh ‘kan. Ternyata ada yang lebih gila darinya.Sang Abang sampai membuat sebuah kontrak menikah dengan seorang gadis asing.“Aya tetap akan jalanin rencana B lalu bercerai dengan Ryley.” Kanaya begitu yakin.“Halah … tadi malem kamu yang paling keras mendesahnya kaya keenakan menikmati gitu ….” Davanka mencibir.Kanaya menoleh dramatis pada Davanka dengan mata menyalang dan wajah merah padam karena malu.“Nanti lagi cari kamar … jangan di taman gitu, gimana kalau kakek atau nenek yang mergokin kamu!” Davanka melengos pergi usai berkata demikian, dia kembali ke restoran menjemput Zevanya.Alasan Davanka pasrah menikah dengan Zevanya t
Zevanya hanya bisa tersenyum saat mendengar calon ibu mertuanya berceloteh menceritakan konsep pernikahan megah untuk pesta pernikahan dirinya dengan Davanka nanti.Beliau juga sesekali bertanya kepada Kaluna dan Kanaya yang raut wajahnya tampak masam.Bunda meminta pendapat tentang perancang busana mana yang akan mereka gunakan, rencana tempat pesta pernikahan tersebut akan diselenggarakan sampai hal-hal kecil seperti souvenir dan bahan seragaman untuk keluarga nanti.Ingin rasanya Zevanya teriak memanggil Davanka yang saat ini entah berada di mana.Raga dan Vanessa juga tidak terlihat batang hidungnya padahal dia berharap dua makhluk lucknut itu akan selalu menemaninya di saat Davanka tidak ada.“Tante ….” Zevanya memegang tangan bunda menghentikan kalimat beliau.“Kenapa sayang?” Kata sayang yang bunda ucapkan untuknya mampu membuat darah Zevanya berdesir.“Anya sebenarnya malu, Tan … Anya bukan dari keluarga kaya raya seperti Tante … apa Tante
“Nak Dava serius mau nikahin Anya? Kami ini orang biasa lho, Nak.” Ibu tampak tidak percaya sewaktu Davanka mengutarakan keinginannya melamar Zevanya.Dulu mungkin ibu bisa terima ketika Yoga yang melamar Zevanya karena meski menurut ibu kalau Yoga itu orang kaya, levelnya kayanya masih masuk akal sedangkan Davanka—baru ibu ketahui kalau nama belakangnya adalah Gunadhya.Ibu sampai merinding mendengarnya.Bola mata Davanka bergerak ke arah Zevanya yang duduk di samping ibu, gadis itu hanya tersenyum menunggunya kembali bersuara.Lalu Davanka melirik pada Raga yang dia paksa untuk ikut hari ini menemaninya.“Memangnya kenapa kalau Ibu dan Anya orang biasa? Yang pentingkan Anya perempuan dan manusia, Bu.” Raga berseloroh.Ibu tertawa. “Iya … iya … maksud Ibu, apa keluarga Nak Dava bersedia menerima status sosial kami yang jauh berbeda dengan keluarga Nak Dava?” Ibu memperjelas maksud ucapannya.“Ayah sama bunda keliatannya enggak masalah, Bu … waktu kemarin ketemu Anya di Bali responsn
“Ya sudah kalau Nak Davanka memang yakin dengan Anya, Ibu mau minta maaf sebelumnya kalau ternyata nanti Anya tidak sesuai dengan yang Nak Dava harapkan karena itu adalah kesalahan Ibu yang kurang baik mendidiknya jadi ibu mohon, didik Anya setelah menjadi istri Nak Davanka.” Ibu mengucapkannya dengan suara bergetar dan berhasil membuat hati Zevanya, Davanka dan Raga juga ikut bergetar.Mereka bertiga tahu kalau semua ini hanya sandiwara sementara Ibu dan semua keluarga Davanka begitu serius menghadapi pernikahan ini.“Iya Bu.” Davanka menyahut, matanya bersirobok dengan mata Zevanya yang terlihat sendu.“Ayo dimakan kuenya … ini ibu yang buat lho, sekalian ibu buat banyak untuk nikahan anaknya yang punya kontrakan ini, kemarin.” Ibu membuka toples berisi kue hasil karyanya.Raga mengambil lebih dulu tapi ketika Zevanya mengulurkan tangan hendak mengambil kue dari dalam toples—ibu terlanjur mengambil toples tersebut dari atas meja dan dia sodorkan kepada Davanka.“Terimakasih, Bu.” D
“Heh! Punya Abang itu, kamu ambil dari kamar Abang ya?” tegur Davanka saat melihat Kaluna sibuk mengunyah dengan toples berisi kue ibu di atas pangkuannya.“Iya … enak, lagian tumben Abang ngumpetin makanan di kamar.” Kaluna berujar santai.Dia kembali mengalihkan tatap, pada televisi layar datar di ruang keluarga.Kaluna mengambil kue ibu lagi dari dalam toples dan memasukannya ke dalam mulut.“Balikin Luna,” pinta Davanka penuh penekanan.“Abang apaan sih, pulang kerja malah ngajak ribut adiknya.” Sosok bunda muncul dari ruang makan diikuti ayah.“Luna ambil kue Abang, Bun.” Davanka mengadu seraya merebut toples dari Kaluna dan terjadilah tarik menarik toples dengan sang adik“Abang makan dulu gih.” Bunda melerai.“Iya Bun.” Davanka menyahut.“Luna, jangan dihabisin … Abang masih mau.” Davanka mengatakannya dnegan ekspresi dan nada suara tidak bersahabat.Kaluna yang memang senang menggoda Abangnya langsung mengunyah dengan cepat dan kembali memasukan satu keping kue ibu ke mulut.“
Hari yang dijanjikan Davanka untuk menjemput ibu dan Zevanya telah tiba. Selama seminggu ini Davanka dan Zevanya sama sekali tidak ada komunikasi.Davanka merasa tidak ada yang perlu dia komunikasikan dengan Zevanya dan Zevanya juga segan menghubungi Davanka bila tidak ada keperluan mendesak mengingat ada yang perlu dibahas pun Davanka hanya akan membaca pesannya seperti koran tanpa membalas.Tapi tepat jam sebelas pagi menjelang siang, pintu rumah Zevanya diketuk.“Anya, Nak Dava udah datang!” Ibu yang sudah mengintip siapa yang ada di balik pintu berseru memanggil Zevanya ketika hendak membuka benda tersebut“Bener ‘kan kata Anya, Abang jemputnya siang … ibu enggak percaya sama Anya.” Zevanya misuh-misuh sambil melangkah keluar dari kamar.“Eh … Nak Dava, mau masuk dulu?”“Kita langsung pergi aja ya, Bu … ayah sama bunda juga sedang dalam perjalanan ke restoran.” “Oh iya … iya … ayo Anya, bawa rantang di atas meja makan.” “Buuu ….” Zevanya mengesah.Dia stress sekali se
“Maaf ya Bu, saya bikin surprise gini … sengaja saya sebarkan undangan dengan dresscode casual biar acaranya santai tapi serius.”Bunda memegang tangan ibu dan beliau langsung mengangguk sebagai respon disertai senyum haru.“Semestinya kami enggak langsung buat pesta pertunangan sebelum mendengar kebersediaan ibu memberi restu untuk Abang dan Anya … tapi ceritanya ini saya lagi maksa agar pernikahan Abang dan Anya segera berlangsung karena adiknya Abang yang bertunangan kemarin di Bali juga akan segera melangsungkan pernikahan.” Itu ayah yang merasa perlu menjelaskan tentang acara surprise yang super mendadak Ini.“Saya justru merasa tersanjung dan terhormat karena keluarga ini mau menerima Anya sebagai calon menantu mengingat saya dan Anya bukan dari kalangan seperti Bapak dan Ibu.” Suara ibu bergetar ketika berkata demikian.“Sama aja, Bu … kita semua sama dihadapan Tuhan.” Ayah menanggapi didukung bunda yang mengangguk setuju.Di sisi lain, setelah bersalaman dengan keluarga d
“Wuiiih, apa nih?” Ayah bertanya pada bunda yang membawa mangkuk saji di kedua tangannya.“Telur balado, buatan ibunya Anya … ayah mau?” “Mau donk.” Ayah membuka piring di atas meja.“Wuiiih, Bunda masak?” celetuk Zyandru, cowok itu melangkah cepat memasuki ruang makan.“Mana pernah Bunda masak, bisa kebakaran dapur kalau Bunda masak.” Ayah tertawa mendengar celotehan bunda.“Seru banget, lagi ngomongin apa?” tanya Kaluna saat kakinya sudah tiba di ruang makan.“Mau telur balado buatan ibunya Anya, enggak?” Bunda menawarkan, tangannya sibuk mengisi piring ayah dengan telur balado.“Ih … mau-mau … akhirnya nemu masakan Indonesia juga.” Kaluna duduk di samping Zyandru dan membuka piring yang telungkup di depannya. Bunda dan ayah tergelak karena mereka memang menginstruksikan koki agar memasak makanan western mengingat lidah anak-anaknya sudah terbiasa dengan cita rasa Luar Negri.“Aku dulu, aku yang duluan dateng.” Zyandru mengangkat piring ke depan bunda.“Rame banget k
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid