“Lo udah makan?” Davanka bertanya setelah mereka sudah berada di dalam mobil usai melakukan fitting.Eh, si Abang udah mulai perhatian.“Belum … perut Anya sakit banget, lidah Anya juga pait.” Baru kali ini Davanka mendengar Zevanya mengeluh.“Lo sakit?” tanya Davanka sambil memindai wajah Zevanya yang bersandar sambil menoleh sempurna menghadapnya.“Hu’um,” jawab Zevanya bergumam.“Mau ke dokter?” Davanka sudah menyalakan mesin mobil hendak mengantar Zevanya pulang.“Enggak usah, males antri … Anya cuma butuh tidur, Bang.” Davanka tidak bersuara lagi, dia mulai memutar stir membawa mobilnya keluar dari parkiran butik.Jalanan di jam pulang kerja selalu macet apalagi sehabis hujan.Keduanya terjebak dalam lautan kendaraan yang bergerak sangat lambat saat hari mulai malam.Beberapa meter di depan, menjulang tinggi sebuah bangunan yang merupakan rumah sakit swasta terbaik di Kota ini yang tidak lain adalah milik salah satu keluarganya di mana sang Tante yang menjabat seba
Menurut hasil laboratorium dari darah Zevanya, dokter menyimpulkan kalau Zevanya terkena Typus.Zevanya harus dirawat sementara waktu.Ibu langsung datang ke rumah sakit sewaktu Davanka memberi kabar tentang Zevanya.Dan ibu juga yang menemani Zevanya malam itu di rumah sakit.“Kamu mau nikah malah sakit.”“Ibu mah … anaknya sakit malah dimarahin.”“Abis … kamu enggak bisa jaga diri, kamu ‘kan mau nikah … makan lah yang bener, minum vitamin ….” Bibir Zevanya jadi cemberut.“Buka mulutnya,” kata ibu yang sedang menyuapi Zevanya makan.Zevanya membuka mulutnya, meski terasa pahit tapi dia memaksakan diri untuk makan agar lekas sembuh karena minggu depan dia akan menikah.Beberapa saat setelah Zevanya selesai makan siang, Ayah dan ibu datang menjenguk bersama Davanka.“Ya ampun calon mantu Bunda kasian, pucat gini … eh, Bunda bawa makanan … kamu boleh makan enggak ya?” Bunda mengangkat paperbag di tangannya.“Enggak boleh, Bun … dibilangin dari tadi, Anya cuma boleh makan
Lama Davanka duduk di sofa, tidak bergerak maupun bersuara.Lama-lama Zevanya mulai merasa horor berada di ruangan luas dengan pencahayaan temaram.Ketika dia bangun tadi, beberapa lampu sudah padam.Zevanya bergerak turun, dia terpaksa harus ke kamar mandi karena rasa ingin buang air kecil sudah tidak bisa ditahan lagi.Davanka menyadari pergerakan Zevanya, dia menoleh.“Mau ngapain?” Pria itu bertanya.“Mau pipis.” Dengan malas Davanka beranjak dari sofa, dia mendekat dan membantu Zevanya membawa tiang infus ke kamar mandi sambil siaga, tangannya disimpan di belakang punggung Zevanya berjaga-jaga kalau Zevanya limbung.“Gue tunggu di sini,” kata Davanka lalu menutup pintu kamar mandi.Tidak lama Zevanya keluar dari kamar mandi.“Bang …,” katanya melirih.“Kenapa lagi?” Ah, si Davanka ini apa salahnya sih berkata lembut?Zevanya ‘kan lagi sakit.“Abang jangan marah-marah terus, Anya ‘kan lagi sakit … tadi Anya bilang kalau Abang mau pergi ya pergi aja.” Zevanya mereng
Davanka mengalihkan pandangan pada Zevanya, memeriksa keadaan sang gadis apakah terbangun karena suara kemunculan Raga si lucknut tapi sepertinya Zevanya sudah terlalu jauh masuk ke alam mimpi.Dia masih di posisi semula, memeluk dan bersandar pada lengan Davanka.“Sorry … Sorry … gue terlalu takjub melihat keuwuan kalian berdua.” Raga berbisik dengan sisa tawa di bibirnya.“Dava … lo inget ya, sekalipun kalian punya kontrak bisnis sama Anya tapi pernikahan kalian tetap syah di mata hukum dan Agama jadi kalau lo mau merawanin si Anya, boleh banget Bro!” Raga menahan tawa hingga pundaknya bergetar.“Kalau lo mulai jatuh cinta sama Anya, gue dukung … lanjutkan!” katanya lagi, menyebalkan sekali pokoknya sampai Davanka ingin sekali menendang mukanya.“Bilang sama Anya cepet sembuh ya, gue mau ngumpul sama yang lain … entar gue bilangin sama teman-teman kalau lo enggak bisa datang, lagi sibuk kelonin Anya.” Raga pergi sebelum Davanka mengeluarkan sinar laser dari mata dan membunuhn
Kamar tempat Zevanya dirias ramai sekali, ada dua bibinya Zevanya yang merupakan adik kandung dari papanya juga para sepupu yang umurnya hanya terpaut satu sampai dua tahun ada yang lebih tua ada juga yang lebih muda dari Zevanya.“Anya beruntung banget sih dapetin orang kaya,” kata bibi Asri-adik bungsu ayah.“Kok keluarganya mau nerima lo yang dari keluarga biasa saja sih, Nya?”Belum sepat Zevanya menanggapi, kakak sepupu Anya yang bernama Ridha menimpali.Orang yang sedang mendandani Zevanya sampai melirikan matanya pada kak Ridha.Dan Zevanya sudah malas menanggapi, ibu juga memilih pura-pura tidak mendengar.“Nanti Bibi bisa minta tolong suami kamu enggak buat masukin abang Rusli buat kerja di perusahaan suami kamu?” Bibi Anisa-adik pertama ayah tiba-tiba menarik kursi dan duduk di samping Zevanya.Bibi Anisa adalah istri dari paman Mustofa yang menggantikan ayah melakukan syiar Agama dan masih dipercaya oleh papanya Raga sampai sekarang.Itu pun karena pesan dari ayahny
“Mas, nanti fotonya abis akad di edanin ya … dan gue minta harus ada pose mesra kalau bisa sampe ada acara cium-ciuman segala ya.” Raga berpesan kepada sang photographer.“Siap!” kata pria photographer menyanggupi.“Ayo sayang … kita ke venue.” Raga menarik tangan Vanessa yang kebingungan dengan tingkah kekasihnya.Sementara itu Zevanya tampak kesulitan berjalan karena stiletto dan kain samping yang membalut bagian bawah tubuhnya terlalu ketat.“Bang … pelan napa,” protes Zevanya.Davanka menghentikan langkah, dia meraih tangan Zevanya dan menuntunnya. Tentu saja Zevanya mesem-mesem sendiri melihat tangannya digenggam Davanka.Dan hal tersebut ternyata tertangkap oleh indra penglihatan Ramona dan Anton.“Kamu enggak apa-apa?” tanya Anton yang mengetahui sejarah hubungan Davanka dengan Ramona.“Enggak apa-apa, kenapa memang?” Ramona malah balik bertanya, raut wajahnya dia buat sesantai mungkin.Di bagian lain area hotel, pria WO masih menuntun sepasang calon pengantin.Mema
Kini Davanka dan Zevanya sudah duduk bersebelahan, di depan mereka adalah Penghulu dan Wali Hakim yang mewakili mendiang ayah Zevanya. Ada dua saksi juga duduk di kanan dan kiri yang tidak lain adalah papanya Raga menjadi saksi dari pihak Zevanya dan seorang Mentri yang merupakan kenalan dekat ayah yang menjadi saksi dari pihak Davanka. Zevanya tidak pernah bermimpi apalagi berharap menikah dengan Konglomerat dan disaksikan oleh seorang Mentri. Tentu saja, ini terjadi karena mereka upayakan bukan sesuatu yang natural. Sorot mata sendu Ramona tertuju pada Davanka dan Zevanya, tidak berpaling barang sedetik pun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan perempuan itu yang sebenarnya tapi mata Ramona tidak bisa berbohong. Ada kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Mata Ramona mulai berkaca-kaca saat mendengar Davanka bersuara. “Saya terima nikah dan kawinnya Zevanya Camila binti Arya Adiguna dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dan satu tetes air mata melunc
Usai melakukan serangkaian acara sungkeman, upacara adat dan foto bersama, kedua mempelai pengantin digiring ke kamar untuk berganti pakaian dan makan siang sebelum beberapa jam lagi acara resepsi pernikahan akan dimulai.Tidak seperti saat mereka usai berciuman dan berfoto mesra di depan kamera, sekarang Davanka dan Zevanya terlihat seperti pasangan pengantin yang sedang bertengkar.Davanka jalan terlebih dulu meninggalkan Zevanya yang kesulitan berjalan. Zevanya sampai harus dibantu salah satu anggota Wedding Organizer agar bisa berjalan dengan benar. Mereka berdua tidak saling bicara dan selalu menghindari tatap.Ternyata ledekan yang mereka lontarkan tadi hanya untuk menutupi segala perasaan campur aduk yang tiba-tiba hadir usai berciuman.Dan semenjak saat itu benak mereka berdua terus memutar detik demi detik adegan ketika berciuman.Masih bisa Davanka rasakan bagaimana manisnya bibir Zevanya begitu juga Zevanya yang seakan bibirnya kesemutan mengingat lembutnya Davanka
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid