“Hallo?” Anya yang baru saja keluar dari kelasnya di jam terakhir mata kuliah hari ini menjawab panggilan telepon dari Davanka.“Di mana?” tanya pria itu.“Masih di kampus, baru bubaran kelas.” Kalau itu Davanka tahu karena memiliki jadwal kuliah istrinya.“Terus lo di mananya?” Davanka bertanya lagi dan panggilan ‘lo’ itu kini membuat Zevanya begitu jengah mengingat tadi malam mereka bercinta sampai pagi tapi Davanka masih memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Padahal ngilunya saja masih terasa dan seharian ini Zevanya bergulat melawan kantuk selama mata kuliah berlangsung.“Lagi jalan ke parkiran,” jawab Zevanya sedikit ketus.“By,” panggil Davanka masih tersambung dalam panggilan telepon.“Apa?” jawab Zevanya dengan bibir mengerucut.“Kok manyun?” Sontak pertanyaan Davanka tersebut berhasil membuat Zevanya mengangkat pandangannya.Dia sudah melewati pintu utama loby dan mendapati Davanka tengah berdiri di sisi mobil mew
“Emmph … emmmpphh ….” Zevanya menggeram dengan wajah menoleh ke samping menghadap sang suami agar pria itu melepaskan bekapan tangan di mulutnya.Kepala Davanka miring lantas bergerak mendekat. “Jangan senyum-senyum segala sama si Al,” bisik Davanka tepat di telinga Zevanya kemudian memberikan kecupan di pipi Zevanya seolah ingin memberitahu semua orang kalau Zevanya adalah miliknya.Semua dibuat kesal karena keromantisan Davanka yang mengecup pipi Zevanya tanpa tahu apa permasalahan yang sebenarnya.“Hallo, Ayang … buruan ke sini, gue kangen Ayang! Si Dava bikin ngiri,” ucap Raga lantang sambil menempelkan ponsel ke telinga berpura-pura menghubungi kekasihnya. Vanessa memang belum datang karena ada urusan yang harus dia selesaikan terlebih dahulu. Dan bukan hanya Raga saja tentu Ramona juga iri melihatnya tapi dia bisa apa selain tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tersebut.Sedangkan bagi Davanka sudah tidak ada lagi yang dia pedulikan selain istrinya.“Ayo pesen-pese
Davanka menarik ikatan di rambut Zevanya agar rambutnya terurai menutupi leher juga tengkuk yang terdapat seperti memar keunguan karena ulahnya tadi malam.Dia rasa sudah cukup pamer tanda merah itu kepada Alvaro, tidak ingin membuat sang istri tidak nyaman karena menjadi bulan-bulanan sahabatnya.Bukan hanya dari Alvaro, Zevanya juga mendapat seulas senyum penuh arti dari Raga yang senang melihat tanda merah di lehernya karena itu berarti hubungan mereka sudah menjadi nyata, bukan kepura-puraan lagi.Raga juga lega karena permasalahan antara Davanka dan Zevanya kemarin tentang Zevanya yang mem-blokir nomor ponsel Davanka entah karena persoalan apa itu kini sudah diselesaikan dengan cara tiga ronde tadi malam.“Oh ya, kenalin Al … ini Vanessa, cewek gue.” Raga mengenalkan kekasihnya.Alvaro jadi harus mengalihkan tatap dari Zevanya, dia mengulurkan tangan ke depan Vanessa.“Alvaro,” ucapnya menyebutkan nama.Vanessa juga mengucapkan namanya bersama senyum lebar tapi menurut Alv
Masih dalam kebimbangan juga kebingungan, akhirnya Zevanya turun dari dalam mobil.Tanpa dia duga kalau Davanka juga turun, terdengar dari suara pintu mobil tertutup dan langkah kaki setelahnya. Zevanya sama sekali tidak ingin menoleh ke belakang.Dia masih sakit hati. Tangan Zevanya terangkat memutar knop pintu namun terkunci, jadinya Zevanya menekan bel.Dari pantulan kaca jendela yang besar, Zevanya bisa melihat Davanka berdiri di belakangnya dengan ponsel menempel di telinga.“Eh Bu Anya.” Asisten rumah tangga ibu menyapa.“Ibu mana, Bi?” tanya Zevanya sembari masuk ke dalam ruang tamu.“Ibu di kamar, Bu.” Si Bibi memberitahu.“Pak Dava.” Bibi mengangguk sebagai bentuk hormat menyapa Davanka.Pria itu balas mengangguk.“Hallo Maria, bawakan baju tidur dan baju kerja saya sama Anya ke rumah ibu Nina … jangan lupa buku-buku kuliah istri saya untuk besok, saya dan istri saya akan menginap di rumah ibu Nina malam ini.” M
“Enggak Bu, kemarin itu saya yang salah … enggak seharusnya saya kirim chat dengan kata-kata ketus sama Anya, meski niatnya enggak begitu tapi kalau dalam chat enggak ada nada suaranya jadi terkesan kalau kalimat itu ketus.” Davanka menjelaskan.Maria masih berdiri di antara mereka sambil pura-pura tidak mendengar obrolan antara sang menantu dan mertuanya dan dia jadi tahu alasan kenapa Zevanya mem-blokir nomor Davanka.“Oh … Anya memang jadi baperan akhir-akhir ini Nak Dava, apa mungkin lagi hamil muda … coba kalian cek ke dokter kandungan.” Ibu memberi saran.Davanka tertawa kering menanggapi. “Iya, nanti kita cek ke dokter, Bu.” Ibu mengangguk-anggukan kepalanya.“Ini tasnya disimpan di mana, Pak?” Maria baru bisa bertanya setelah semua selesai bicara.“Simpen aja di situ, nanti saya bawa ke atas.” “Baik, Pak.” Maria menyimpan tas pakaian di lantai.“Ini kunci mobilnya bu Anya.” Maria memberikan kunci mobil kepada Davanka.“Suruh pa
“Permisi Pak CEO, saya mau ngasih laporan.” Raga menyengir sembari melangkah masuk lebih dalam ke ruangan Davanka setelah tadi mengetuk sebanyak tiga kali.“Simpen situ.” Davanka mengendik ke arah meja berisi banyak berkas.Setelah menyimpan laporan yang harus ditanda tangani Davanka, Raga duduk di kursi di depan meja kerja pria itu.“Apa lagi?” tanya Davanka ketus.“Satu lagi, mau tanya … apakah Bapak CEO sudah mencintai Anya?” Kini Davanka mengangkat pandangannya, fokus menatap Raga.“Lo mau ngomong apa sebenarnya?” tanya Davanka dnegan tatapan malas.Raga menunjukkan senyum pasti gigi yang menunjukkan deretan gigi putih nan rapihnya karena dia tidak merokok.“Cuma ingin tahu, mengingat kemarin yang lo sampe panik karena diblokir Anya terus melihat maha karya lo di leher Anya berarti kalian udah ….” Raga membentuk kelima jarinya seperti paruh ayam begitu juga dengan kelima jarinya yang lain kemudian dia adukan.“Bukan urusan lo, Ragaaaa.” Davanka mengesah seraya menyanda
“Kalau Anya enggak denger langsung dari mulutnya Abang ya mana Anya percaya, Mas.” Raga mengembuskan napas lelah bersama rotasi mata malas.“Jangan sampe lo kaya si Mona, entar lo nyesel Anya.” Raga mengingatkan.“Maksudnya kaya kak Mona itu yang menuntut kepastian tapi terlambat abang kasih jadi dia keburu sama cowok lain terus ternyata cintanya kak Mona cuma sama abang dan abang malah nikah sama Anya, gitu?” Raga menganggukan kepala membenarkan.“Ya kak Mona enggak salah lah, Mas … perempuan memang butuh kepastian, lagian salah sendiri kenapa pas abis makelove abang engga langsung nembak kak Mona … cuma masalahnya sekarang kak Mona kayanya masih cinta sama abang ….”Dan raut wajah Zevanya seketika menyendu.“Kalau itu enggak usah khawatir, gue yakin Dava cintanya sama lo.”“Tapi dia enggak pernah bilang.” Zevanya menyanggah, dia tidak yakin dengan penilaian Raga.“Ya udah sih, percaya aja kalau si Dava cinta sama lo … si Dava udah bela-belain beli rumah buat nyokap lo, te
“Sebenernya lo ada masalah apa sama si Al?”Itu Ramona yang bertanya di sela makan siang di sebuah restoran.Tidak hanya ada mereka berdua di sana, ada Raga juga Erin-sekertaris Davanka dan orang-orang dari kantor konsultan milik Ramona.Davanka tetap menjadikan Erin sebagai sekertarisnya di posisi yang baru karena wanita itu sudah mengerti bagaimana kebiasaannya.Mereka baru saja selesai meeting dengan seorang klien yang pergi lebih dulu karena ada urusan mendesak.“Siapa? Gue?” Davanka malah balik bertanya.Dia pura-pura bego.Davanka enggan sekali membahas hal ini karena sungguh sangat memalukan.Davanka baru menyadari sikapnya itu berlebihan tapi dia tidak mau juga meminta maaf kepada Alvaro yang sudah dengan jelas terang-terangan menggoda dan mendekati istrinya.“Ya siapa lagi monyong!” umpat Raga kesal.Alih-alih marah, Davanka malah mendengkus geli tanpa menanggapi, dia melanjutkan melahap makan siangnya.“Lo tau ‘kan si
Matahari terbenam di atas horizon, memancarkan warna keemasan yang indah di langit Hawai. Di tepi pantai yang tenang, Davanka dan Zevanya berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam erat. Di depan mereka, Aksara dan Ashera sedang bermain dengan gembira di pasir, membangun istana pasir dan tertawa riang. Davanka tersenyum menatap ke arah Aksara dan Ashera, sambil mengeratkan genggaman tangannya. “By, lihat betapa bahagianya mereka. Abang rasa mereka enggak akan pernah melupakan liburan ini.” Zevanya mengangguk, matanya menatap putra dan putrinya penuh cinta. “Liburan ini memang sempurna. Terima kasih karena telah memilih tempat yang indah ini, Abang.” Davanka tersenyum, menatap laut dengan mata penuh kebahagiaan. “Kakek selalu mengatakan kalau tempat ini adalah tempat terbaik untuk menciptakan kenangan keluarga. Abang ingin anak-anak kita tumbuh dengan kenangan indah seperti ini.” Aksara berlari mendekat, ekspresi di wajahnya penuh semangat. “Ayah, B
Di sebuah rumah sakit bersalin yang mewah nyaman, Davanka berjalan mondar-mandir di koridor seperti ayam jago yang kebingungan. Wajahnya pucat, tangan kanan memegang ponsel, tangan kiri mengacung gelas kopi yang isinya sudah habis sejak sejam lalu.Dari dalam kamar bersalin, suara Zevanya terdengar berteriak-teriak, membuat Davanka berkeringat lebih banyak daripada saat jogging pagi.“Abang! Kalau kamu cuma mau mondar-mandir, sini gantikan Anya dulu!” teriak Zevanya dengan nada bercampur emosi dan kesakitan.“Gantikan? Gantikan apa, Anya? Abang enggak mungkin melahirkan untuk kamu, sayang …,” jawab Davanka gugup sambil setengah membuka pintu.Zevanya menatapnya dengan mata menyala. “Ya kalau enggak bisa bantu melahirkan, minimal kasih Anya semangat! Abang itu suami atau figuran sih di sini?”“Semangat, sayang! Kamu pasti bisa!” seru Davanka, setengah meloncat sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang salah tempat.“Abang, serius! Duduk di sini, pegang tangan Anya! Kalau Anya
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika suara aneh terdengar dari kamar tidur. Suara itu datang dari sisi tempat tidur, tempat di mana Zevanya biasa tertidur dengan tenang. Namun malam ini, situasinya berbeda.Zevanya tiba-tiba terbangun, matanya yang bulat terbelalak seperti baru tersadar dari mimpi buruk. Dengan suara terengah-engah, dia menoleh ke arah suaminya, Davanka, yang sedang terbaring di sampingnya."Abang ...." Zevanya bergumam dengan wajah setengah bingung. "Anya ngidam."Davanka mengerutkan kening, mengira istrinya hanya terjaga karena mimpi. "Ngidam? Anya, ini ‘kan sudah hampir jam tiga pagi, kamu yakin?"Zevanya duduk, memegangi perutnya yang mulai membesar, matanya tetap terjaga. "Iya, Anya ngidam banget, Abang … Anya pengen makan ... nasi goreng dengan buah durian!" Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia ini.Davanka terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan itu. "Nasi goreng ... durian
“Aksaraaaa ….” Bunda Arshavina memanggil dengan suara mendayu dari arah pintu utama. Aksara langsung berlarian menuju ke sana tanpa menggunakan celana. “Eh … ke mana celananya?” Ayah Kama bertanya. “Abis pipis.” Aksara memberitahu sembari menepuk bokong. “Iiiih belum sunat.” Bunda menunjuk bagian bawah Aksara yang langsung ditutupi bocah laki-laki itu sembari cekikikan. “Aksaraaaa, pakai celana dulu!” Zevanya berseru dari dalam rumah. “Eh … Ayah … Bunda.” Zevanya baru menyadari kedatangan kedua mertuanya dan langsung menyalami mereka. “Abang pakai celana dulu ya,” kata Zevanya tapi Aksara malah lari ke dalam gendongan sang kakek. “Aduuuuh, cucu kakek sudah berat.” “Kakek! Abang enggak mau pakai celana.” Aksara meronta-ronta dalam gendongan sang kakek saat bundanya berusaha memakaikan celana. “Ayo pakai dulu celananya atau nanti Nenek sunat? Mana gunting? Mana gunting?” Bunda Arshavina pura-pura mencari gunting. “Enggak mau!” Aksara menjerit sambil terta
Davanka benar-benar menjadi bapak-bapak sekarang, tapi bukan bapak-bapak biasa.Pria itu pantas diberi julukan hot daddy dengan perawakan tinggi dan tubuhnya yang atletis serta ketampanan bak Dewa Yunani yang dia miliki membuat para gadis, janda dan istri orang tidak bisa melepaskan tatapan setiap kali melihat Davanka.Seperti saat ini, para papa yang lain seolah tidak memiliki harga diri karena para mama yang menemani putra dan putri mereka di play ground mall ternama di Jakarta terus menatap Davanka yang tengah menemani Aksara bermain sementara Zevanya sedang melakukan perawatan rambut di salon yang masih ada di mall tersebut.Kegiatan rutin di saat weekend yang dilakukan Davanka sekeluarga adalah ngemall karena Aksara masih berusia tiga tahun yang kalau diajak jalan-jalan keluar kota atau keluar Negri masih sering tantrum.Jadi ketika Davanka ada perjalanan bisnis saja baru Zevanya dan Aksara ikut.“Ma … itu liatin anaknya, jangan liatin suami orang terus!” tegur salah seorang
“Pak, malam ini ada acara charity sama komunitas Pengusaha Muda … Mentri Perdagangan dan Mentri Investasi juga jadi tamunya, kesempatan yang bagus mendekati mereka untuk proyek baru yang akan mulai dikembangkan oleh AG Group.” Arman mencetuskan sebuah ide brilliant. “Kamu yang datang temani ayah, ya!” Davanka bukan sedang bertanya tapi memerintah. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya bergerak ke sudut ruangan meraih jas yang tergantung di sana lalu memakainya. “Laporkan hasil yang kamu dapat dari acara itu.” Davanka memberi instruksi pada sekertarisnya. “Ta-tapi, Pak …,” sergah Arman saat Davanka melewatinya. Davanka menghentikan langkah membalikan badannya menatap Arman tanpa ekspresi. “Kamu enggak mampu?” Pertanyaan Davanka adalah sebuah tekanan agar Arman menjawab sebaliknya. “Mampu, Pak!” Arman menjawab lugas. Davanka membalikan badannya lagi. “Saya pulang duluan ya, Man.” Pria itu mengangkat tangan sembari melangkah keluar dari ruangannya meninggalkan A
Davanka lupa mengganti mode hening ke bunyi di ponselnya usai bertemu klien di meeting room sebuah hotel.Selama hampir lima jam lamanya Davanka ditemani sekertaris barunya melakukan pertemuan dengan klien dari Korea untuk menjalin kerjasama bisnis.Tapi tidak sia-sia karena Davanka akhirnya berhasil meyakinkan klien dari Negri ginseng itu untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Sekarang Davanka merasakan tubuhnya lelah sekali, kepalanya bersandar pada sandaran jok mobil yang nyaman dengan mata terpejam.“Pak Dava, apa Bapak sudah mengecek ponsel Bapak?” Arman-sang sekertaris berujar dari kursi penumpang depan.“Belum … kenapa, Man?” Davanka menegakan tubuhnya merogoh saku jas mencari ponsel.“Ibu sudah melahirkan, Pak.” Arman berujar hati-hati.Dia juga tidak mengecek ponselnya karena sibuk memperhatikan jalannya rapatu tuk membuat Notulen.“Apa?” Davanka tersentak, matanya terbelalak.
“Apa kabar Anya? Perut kamu besar banget.” Adalah Noah yang menyambut Zevanya duluan.Terakhir kali dia bertemu Noah saat ditonjok oleh Davanka di Malaysia sebelum mereka pulang ke Indonesia.“Baik … iya nih, sebentar lagi melahirkan.” Zevanya mengusap perutnya.“Kamu berdua aja? Enggak sama Dava?” Itu Alvaro yang bertanya.“Enggak … Abang enggak tahu kalau Anya ngemall, tadi minta ijin malah dilarang … tapi besok Abang ulang tahun dan Anya harus beli kado.” Zevanya menunjuk paperbag yang di pegang Maria, wajah Maria memucat mendengar pengakuan Zevanya.“Pasti gue yang kena semprot nih.” Maria membatin.“Oh iya, si Dava ulang tahun besok.” Noah seakan diingatkan.“Duduk sini, Nya … makan bareng kita.” Alvaro mempersilahkan.“Enggak usah, Anya cari meja lain aja.” Zevanya takut kalau Davanka tahu lantas mengamuk.“Enggak apa-apa, sini duduk sama kita aja … duduk di sebelah gue, si Dava enggak cemburu sama gue.” Noah menarik tangan Zevanya agar duduk di kursi sebelahnya membuat dia ti
Davanka berjalan menyusuri lorong di kantornya yang dulu, dia belum membuat janji dengan Raga yang sekarang menjabat sebagai CEO di sana tapi kebetulan arah jalan yang ditempuh untuk kembali ke kantor usai mengunjungi suatu proyek melewati kantor ini jadi Davanka putuskan untuk mampir sebentar karena ada yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.Dengan sangat kebetulan, seorang wanita yang kini sedang berjalan berlawanan arah dengannya baru saja keluar dari ruangan Raga nyaris membuat Davanka memutar badan mengurungkan niat bertemu sang sahabat.Namun dia tidak ingin wanita itu mengatainya sebagai pengecut sehingga Davanka ayun langkahnya tegas hingga akhirnya mereka berpapasan.Wanita itu mencekal tangan Davanka menghentikan langkahnya.“Mau sampai kapan lo pura-pura enggak kenal sama gue?” Ramona bersarkasme.Davanka masih tetap tenang menatap ke depan.“Sampe lo enggak nyinggung sedikitpun tentang gue dalam cerita Anya,” sambung Ramona lalu tertawa sumbang.Sengaja Davanka tid