Safa hanya menatap jalan tanpa banyak berbicara. Ia terpaksa mengikuti pria di sampingnya yang entah ingin membawa ke mana.“Safa, kamu tidak suka, ya, pergi sama aku?” Azril menoleh mencairkan ketegangan yang terjadi.Tatapan sinis pun terpancar. Sebenarnya dia sudah tahu, tetapi masih saja bertanya dan Safa tidak suka jika pergi tanpa tujuan yang jelas.“Oke, aku minta maaf, aku salah. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Azril memberitahu yang kemudian memarkirkan mobilnya di depan gedung sesuai tempat yang sudah dijanjikan.“Ayo turun.”Safa menatap bingung, memerhatikan gedung bertingkat yang entah mengapa Azril mengajaknya kemari.“Apa mungkin dia ingin mempertemukanku dengan orang tuanya?” lirih Safa dalam hati. Kesal sekali rasanya, mengapa harus selalu memaksa seperti ini.Seketika Azri
Sepanjang perjalanan pulang pun Safa hanya diam. Ia tidak memedulikan ocehan Azril yang terus berisik sejak tadi.“Safa, aku minta maaf,” ujar Azril melirik wanitanya. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti itu.Bahkan tidak mendapat jawaban dari Safa yang akhirnya tiba di rumah dan wanita itu langsung berlari yang menutup pintu dengan cukup keras.Azril tersentak kaget, lalu menggeleng lemah. Tak lama, langkahnya mengikuti Safa masuk ke dalam. Niat untuk membahagiakan justru membuat Safa murka.Sedangkan Safa sendiri menggerutu kesal di dalam kamar. “Ish, apa maksud dia itu? Mau pamer kalo banyak fansnya?”Matanya menatap tidak suka dan Safa sudah memukul gulingnya dengan keras. Bahkan, ia sudah menutup pintunya rapat agar pria itu tidak bisa masuk kamarnya. Entah dia ingin tidur di mana, yang penting tidak satu kamar.“Akh, menyebalkan,” teriak Safa geram. Kemudian bangkit untuk membersihkan diri.Usai itu, Safa memilih merebahkan tubuhnya hingga terpejam. Mungkin hati dan pik
Mata Safa melebar mencerna ucapan Azril yang didengar membuat hatinya penuh tanya. “Cemburu dan takut, apa mungkin?”“Kenapa diam, Safa?” Azril masih mengunci tubuh Safa agar tidak bisa kabur. “Tapi aku senang itu tandanya kamu sudah mulai mencintaiku, bukan?”Pria itu masih menerka perasaan Safa, sebab sikap dia yang tak biasa membuatnya paham. Bahkan, yang biasanya dia tertidur lebih dulu kini masih terjaga hanya untuk menanyakan hal yang mungkin mengusik hatinya.“Tidak. Jangan terlalu percaya diri,” tegas Safa. “Minggir, aku mau tidur.” Safa mendorong tubuh Azril agar menjauh.Namun, pria itu justru tidak mau menghindar dan Safa semakin murka hingga memukul dada bidang Azril yang berada di hadapannya.“Awas, Azril.” Rasa emosi juga resah terkumpul menjadi satu dalam hatinya.Hati Azril meringis dan langsung mendekapkan tubuh Safa tanpa izin, menenangkan pikirannya yang sudah salah paham. Meski Safa berontak, tetapi Azril tetap memeluknya hingga wanita itu diam tak lagi bersuara.“
Sejak itu, hati Safa menjadi tak karuan. Padahal, baru semalam tidak melihat Azril, tetapi terasa sepi bahkan biasanya saling berdebat kini hampa sekali.Termenung dalam lamunan hingga tak enak mengerjakan apa pun. Niat untuk menyelesaikan naskah pun harus tertunda karena pikirannya yang tak bersahabat.Safa sendiri berusaha mengalihkan dan menyibukkan, tetapi rasanya percuma. Bayangan Azril muncul dalam benaknya.“Argh, kenapa jadi begini, sih?” teriak Safa dalam hatinya. Sedari tadi sibuk dengan ponselnya pun tak membuahkan kesal. Entah mengapa pria itu tiba-tiba menghilang.Mendengar suara deruan mobil membuat Safa turun dari kamar. Wanita itu berlari, berharap Azril datang dan ternyata justru sang ayah hadir di hadapannya.“Kamu kenapa, ko cemberut begitu lihat Ayah datang!” Marlan mengernyit heran melihat sikap Safa yang lesu.Wanita itu tertunduk lesu. “Ayah tahu di mana keberadaan Azril?” Terpaksa bertanya pada ayah karena pasti ayah mengetahuinya.“Loh, memangnya Azril tidak a
Safa mengerjap saat sentuhan itu terasa nyata di lengannya. Matanya diberanikan terbuka dan benar nyata dan jelas adanya.“Kamu ... kamu benar Azril?” tanya Safa memastikan.Azril mengernyit bingung. “Iya, aku Azril, suamimu.”Mata Safa berkaca, tak kuasa menahan tangis hingga akhirnya langsung merengkuh tubuh kekar suaminya tanpa permisi.“Alhamdulillah kamu pulang. Maafin aku, Ril, maafin. Jangan tinggalin aku,” isak Safa mengeratkan dekapannya kuat.Pria itu heran sendiri menerima sikap Safa yang tak biasa. Pertama kalinya sang istri memeluk tanpa diminta bahkan dengan tangis yang seolah tidak ingin kehilangan.“Safa, ada apa? Kamu kenapa?” Rentetan pertanyaan tenggelam dalam benaknya. Ia baru pulang, tiba-tiba melihat Safa histeris begini.Tanpa ragu pun Azril membalas dekapan dan memberi ketenangan untuknya. Kemudian, membawa wanitanya ke sofa untuk menceritakan apa yang terjadi.“Please jangan tinggalin aku lagi,” lirih Safa menatap lekat wajah sang suami.“Aku tidak akan ningga
Azril berhasil menangkap Safa yang membuat wanita itu merengek dilepaskan. Namun, ia tidak akan membiarkan wanitanya kembali kabur.“Lepasin, Mas, aku tidak bisa napas ini.” Safa melawan atmosfer dalam tubuhnya untuk mengatakan hal itu.Pria itu pun termangu hingga wanitanya dapat terlepas. Sepertinya telinganya tidak salah mendengar dengan ucapan Safa barusan.“Kamu manggil aku apa tadi?” Langkahnya mendekat seolah meminta Safa untuk kembali memperjelas.“Mas, Mas Azril,” bisik Safa di telinganya. Wajahnya tersipu malu dan memerah padam bagai kepiting rebus.Azril merasa gemas hingga kembali mendekat dengan mengunci tubuh wanitanya. “Kamu bisa manis juga ternyata, ya!”Ia pikir Safa akan menjadi wanita dingin yang tak bisa mencair dan ternyata wanita itu bisa berubah yang justru membuat seluruh raganya memanas.“Eh, tetapi aku tuh bukan orang jawa, Safa. Kenapa harus dipanggil ‘Mas’?” Azril berkomentar heran.Safa tahu itu, bahkan masih satu adat dengannya. Ia tahu panggilan yang pan
Tubuh Safa bergetar karena mendapat pelukan hangat dari sang mertuanya. Ada rasa haru dalam hatinya yang ternyata ibu Azril menyambutnya sepenuh hati.“Kamu kenapa menangis, Nak?” Hamidah mengusap wajah cantik Safa.“Maafin Safa, ya, Bu, baru bisa bertemu dengan Ibu.” Sedikit merasa bersalah karena pernah menolak ajakan Azril.Hamidah mengangguk tersenyum. “Tidak apa, Nak, Amih paham. Azril juga sudah menjelaskan.”Memang sudah lama Hamidah menantikan kedatangan istri Azril dan ternyata sekarang baru terealisasikan. Putranya memang pintar mencari, terlihat Safa sangat cantik seperti namanya yang tersemat.Sempat berdecak kagum hingga terasa semua hanya mimpi. Sedangkan pria di belakangnya tersenyum menatap dua wanita kecintaannya yang saling mengakrabkan.“Amih, Azril tinggal keluar, ya.” Pria itu melirik ke arah Safa meminta izin dan memberi ruang kepada keduanya, terlebih Safa yang bisa nyaman bersama Amih.Ia tahu betul, Safa telah kehilangan seorang ibu. Berharap kehadiran Amih bi
"Haish, kamu ini kenapa hobby sekali mukul suami sendiri," ujar Azril tak terima. Tangannya mengusap bahu yang dipukul oleh Safa."Lagian kamu tidak mengenal tempat. Kamu balik kanan ada Pak Darmo di sana," tegas Safa melirik ke arah Pak Darmo yang mungkin melihat adegan Azril tadi. Entah sejak kapan pria itu berani melakukan di depan umum."Tidak ada yang salah, Sayang. Kita sudah halal, Pak Darmo juga pasti mengerti karena beliau pernah muda," bisik Azril.Safa membulatkan matanya lebar. Ia sangat tidak setuju, tetap saja harus sesuai aturan dan sudah ada tempatnya untuk bermesraan. Tidak di tempat terbuka seperti ini, terlebih dia mengecup area bibir."Sudah sana berangkat." Safa agak kesal dan meminta Azril untuk segera berangkat. Bahaya jika masih di hadapannya sekarang."Jahat amat suaminya diusir," tukas Azril sembari mengerucutkan bibirnya.Safa yang melihat sikap suaminya ingin sekali tertawa, tetapi ditahan dan segera meraih punggung tangannya agar pria itu cepat pergi."Kam
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me