"Kamu marah dan kecewa padaku, Mas?" Aku bertanya sambil menatap dalam-dalam ke arah suamiku."Untuk apa aku marah dan kecewa padamu?" Mas Abi balik bertanya."Ya, karena aku bukan seperti wanita yang kamu bayangkan. Aku bermuka dua, Mas. Diam-diam di belakangmu aku melakukan sesuatu yang mungkin tidak kamu suka. Aku tidak bisa memaafkan dan melupakan seperti yang kamu nasihatkan dulu.""Mas tidak berhak marah dan kecewa padamu, aku tidak tahu sedalam apa luka yang kau derita hingga bisa menghakimi dirimu. Mungkin saja, ini adalah healing yang kamu butuhkan hingga bisa melupakan semuanya dikemudian hari. Jika mau, aku bisa mencegahmu melakukannya sejak dahulu.""Apa maksudmu Mas?" Aku bertanya dengan penasaran. Mas Abi bisa mencegahku jika mau, apa sebenarnya dia tahu sejak awal? "Aku tahu semua yang kamu lakukan sejak awal, tapi aku membiarkannya."Ucapan Mas Abi tentu saja membuatku kaget, ternyata suamiku itu tahu apa yang aku lakukan selama ini. "Darimana dan bagaimana bisa kam
POV Dania Sebulan setelah pertemuanku dengan Mbak Safa di rumah orang tuanya, aku memutuskan untuk pergi ke kota. Diam-diam melihat bayi itu adalah keinginanku. Meskipun sadar, jika dia memang bukan darah dagingku tapi anak itu pernah menjadi bagian dari tubuhku untuk beberapa waktu. Aku harap, aku bisa menemuinya. Selain itu aku juga ingin betemu dengan mantan suami pertamaku, Mas Galih dan istrinya. Aku ingin meminta maaf pada mereka secara langsung. Kesalahan pada manusia, hanyalah meminta maaf kepada yang bersangkutan langsung solusinya. Setelah ini, aku harap kehidupanku akan jauh lebih baik dan terlepas dari segala derita. Hampir saja aku mengalami depresi dengan peristiwa yang menimpaku itu. Perubahan kehidupan yang begitu drastis saat itu sangat membuatku terpukul, sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan terjadi begitu saja dalam hidupku. Aku seperti terhempas ke dasar jurang yang begitu dalam. Kedatangan Mbak Safa yang sepertinya mengejekku malah membuatku ingin berubah d
POV BrataHari ini aku harus kembali pulang setelah beberapa saat sampai di kantor karena ada sesuatu yang tertinggal di rumah. Aku tidak bisa menyuruh seseorang mengambilnya karena berkas itu aku simpan di dalam brankas. Mau tak mau, dengan terpaksa akhirnya aku harus pulang juga. Saat sampai di rumah, hal mengejutkan aku temui. Mantan istri ke-duaku, Dania, ada di rumah kami. Dia bersama asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja pada Sofi berada di depan pintu kamar puteraku, Bintang. Setelah beberapa bulan dia tidak menampakkan diri, sekarang dengan berani datang ke sini. Untuk apa lagi kalau bukan karena ingin bertemu dengan Bintang. Aku pikir dia sudah menyerah untuk bertemu dengan bayi kami, ternyata wanita itu masih nekat juga. Dania, untuk apa kamu ada di rumah ini lagi!" Aku berteriak saat wanita itu hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Teriakanku tentu saja membuat terkejut kedua wanita tersebut. Aku yakin mereka tidak menduga jika aku akan pulang pada ja
Hanya terdengar suara denting sendok beradu dengan piring saat kami sarapan bersama pagi ini. Qia tidak pergi ke sekolah, begitu juga papanya karena weekend jadi kami akan menghabiskan waktu untuk bersantai bersama selepas sarapan. Sebelum berniat menambah momongan, aku meminta mas Abi untuk berdiskusi dengan Qia terlebih dahulu. Memberitahu pada gadis kecil itu, atau setidaknya bertanya apakah dia ingin adik bayi lagi. Apa tidak keberatan jika memiliki adik bayi lagi, aku tidak ingin anak sambungku itu akan merasa tidak diperhatikan seperti dulu lagi. Selesai sarapan, kami semua pergi ke ruang keluarga. Kubawa serta buah-buahan agar bisa menjadi camilan buat kami sambil bercanda di sana nanti. Qia, Albi, dan papanya sudah pergi ke sana terlebih dahulu. Begitu aku sampai di sana, tampak gadis kecilku dan putraku bermain bersama. Qia begitu menyayangi adik lelakinya itu. Setelah kelahiran adiknya, anak sambungku itu tidak pernah menunjukkan rasa iri atau merasa tidak disayangi seper
Mobil yang kami tumpangi, perlahan meninggalkan gedung rumah sakit. Hari ini kami baru saja bertemu dengan dokter kandungan yang menjadi langganan Mas Abi sejak mendiang istri pertamanya dulu hamil. Sejak dua bulan lalu aku sudah lepas KB dan kami merencanakan memiliki anak lagi namun nyatanya aku belum hamil-hamil juga. Akhirnya Mas Abi memaksakan diri untuk pergi ke dokter kandungan dalam rangka konsultasi. "Mungkin kalau ke dokter kandungan, program hamilnya akan jauh lebih cepat mendapatkan hasil," ucap Mas Abi kala itu. Sebenarnya aku sedikit malas melakukannya, dulu tanpa program aku bisa hamil, ngapain sekarang pakai program-program yang ke dokter segala. "Kita jalani dengan alami sajalah Mas," tolakku. "Kalau waktunya hamil ya nanti hamil lagi," lanjutku meyakinkannya. "Makin cepat makin baik, sayang. Kita berkejaran dengan waktu. Aku keburu tua." "Ampun suamiku, gak ada masalah bagi laki-laki. Kan yang mengandung wanita, bukan laki-laki.""Kalau aku keburu tua, nanti p
Aku segera menghentikan pekerjaanku begitu melihat mobil mertuaku memasuki halaman rumah. Dari tempatku bekerja, memang bisa terlihat jelas orang keluar masuk ke halaman. Bergegas aku menghampiri mama dari suamiku itu lalu meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. Mama tampak selalu sehat dan bugar diusianya yang sekarang. "Apa kabar, Ma. Maaf Safa jarang ke rumah Mama, malah Mama yang harus ke sini," ucapku berbasa-basi."Enggak apa-apa, Mama kadang juga tidak ada di rumah. Mama sehat, kamu bagaimana?" "Sehat juga Ma. Alhamdulillah.""Albi ada dimana?" tanya mama sembari mengayunkan langkahnya menuju rumah. Aku mengekor di belakang mertuaku itu, "Biasa, Ma. Di dalam rumah dengan pengasuhnya." "Dika bilang kalian sedang melakukan program hamil," ucap Mama sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa ruang tamu begitu kami sampai di dalam rumah. Mas Abi yang bilang ke mama. Kenapa kemarin dia bilang Qia yang bilang ke Mama. Dasar mas Abi. "Iya Ma, Mas Abi bilang biar rumah
Hawa dingin menyapa kulit meksipun selimut tebal sudah membalut tubuhku. Mas Abi menyalakan pendingin ruangan dengan suhu yang amat rendah. Sengaja dia melakukan agar aku tidur dengan menempel padanya. "Mas, bangun. Udah subuh." Pelan ku guncang tubuh suamiku agar terbangun. "Perasaan baru tidur," sahutnya dengan malas dan mata masih terpejam. "Makanya jangan begadang.""Kamu yang membuatku begadang, sayang," ucap Mas Abi sambil menarik tanganku hingga tubuhku mendarat tepat di atas tubuhnya. "Bangun, Mas! salat dulu baru tidur lagi kalau emang masih ngantuk dan ingin tidur." "Bikin adik lagi aja," ucapnya dengan pandangan mesum. Ku pukul dengan kencang pundaknya. Itu saja yang dia katakan sejak semalam. Mas Abi tertawa nyaring mendapat pukulan dariku. "Ayo mandi bareng." "Aku udah mandi semalam, Mas. Tinggal cuci muka, ambil air wudhu lalu shalat. Udah kamu sana duluan mandi."Setelah memperlihatkan senyaman yang lebar dan manis itu padaku, Mas Abi baru beranjak menuju ke kam
Selamat yaa Pak, Bu, Ibu Safa hamil. Benar ini ada kantung kehamilan disini. Diperkirakan usia empat minggu," ucap dokter panjang lebar dengan posisi masih mengerakkan alat USG yang aku sendiri tidak tahu namanya diatas perutku. Begitu aku mual-mual tadi pagi, efek dari sabun mandi, Mas Abi menyuruhku untuk benar-benar melakukan tes kehamilan di rumah. Aku yang tadinya malas karena merasa akan haid, akhirnya mengikuti saran suamiku. Pada saat melakukan tes kehamilan tadi, hanya ada garis samar dan akhirnya Mas Abi membawaku ke dokter kandungan langganan kami untuk memastikan kehamilan. Sebuah senyuman mengembang dari bibir lelaki yang ada di sampingku ini, tangannya langsung mengengam tanganku. Dia melakukannya seakan-akan ini adalah anak pertama kami. Jika dulu yang sangat ingin memiliki anak adalah aku, maka sekarang Mas Abi yang sangat menginginkannya. Saat melahirkan nanti, aku tidak akan khawatir jika Mas Abi mendampingiku. Tidak seperti saat kelahiran Albi, yang hanya didampi
Mobil yang dikendarai Mas Abi bergerak menjauhi rumah kami. Hari ini lelakiku itu mengajakku jalan-jalan tanpa anak-anak bersama kami. Dia ingin mengajakku refreshing, menyenangkan diri, merilekskan tubuh dan otot-otot setelah beberapa waktu yang lalu berjuang melahirkan putra kami. Awalnya aku menolak karena kasian anak-anak, ditambah lagi bayi kami baru dua bulan. Gimana jika nanti rewel kalau ditinggal. Setelah meyakinkan diriku, akhirnya aku mengikuti kemauan Mas Abi. Qia dan Albi pergi ke rumah Omanya. Keduanya di jemput pagi-pagi sekali, sedangkan Azam di rumah dengan pengasuhnya. Aku sudah menyediakan ASIP yang cukup banyak, cukup hingga sore atau bahkan malam nanti. "Kemana kita, Mas?" Tanyaku pada lelaki yang duduk di sampingku.Fokus menyetir kendaraan roda empat yang kami tumpangi. "Bersenang-senang. Mencari hiburan, kamu pasti penat terus berada dirumah. Sejak melahirkan, kamu belum pergi kemanapun." Perkataan Mas Abi memang benar, sejak melahirkan aku menghabiskan ba
Rumah sudah mulai sepi kembali, tinggal Mama dan Papa, juga kedua teman yang selalu ada untukku, Kaira dan Lili.Hari ini kami mengadakan acara aqiqah untuk anak ke tiga kami. Bayi laki-laki yang kami beri nama Khairul Azzam itu, saat ini sudah berusia dua minggu. Kami sengaja melakukan acara aqiqah setelah dua minggu kelahirannya agar keadaanku sudah pulih saat kami mengadakan acara tersebut. Bahkan Kaira dan Lili juga tidak aku izinkan untuk datang menengok saat aku masih dalam keadaan belum sehat. Hari ini adalah hari pertama mereka datang setelah aku melahirkan. Saat itu aku memang benar-benar ingin istirahat total tanpa ada yang menjenguk, hanya Mama dan Papa yang bolak-balik datang ke rumah kami. Kelahiran kali ini begitu sulit, penuh dengan perjuangan, sehingga aku tidak mau segera ditengok oleh siapapun agar bisa banyak beristirahat. Aku, Kaira, dan Lili, saat ini sedang berada di teras rumah. Tadi setelah acara memang keduanya sengaja tidak pulang dan ingin ngobrol dengank
"Apa maksudnya, Suster. Ini sudah sakit sekali bagaimana bisa masih belum," erangku menahan rasa sakit yang kembali datang. "Sabar yaa, Bu." Perawat itu membantuku tidur miring kembali dan mengusap-usap pinggangku.Nyaman terasa saat tangan lembut itu mengusap pinggangku. Tak lama kemudian, Perawat itu kembali berjalan keluar kamar, aku berteriak memanggilnya. "Suster mau kemana, jangan pergi. Aku udah gak tahan lagi," pekikku kencang. "Mas, sakit Mas. Aku nggak mau lagi kalau kayak gini. Aku mau operasi saja." Aku berkata sembari menatap ke arah Mas Abi yang masih berdiri di samping ranjang. Wajahnya tampak khawatir melihatku. Pria itu kembali duduk di atas kursi yang berada di samping ranjangku."Iya udah, ayo gimana baiknya," sahutnya seraya meriah tanganku lagi. Tak lama berselang, masuk lagi dua orang perawat ke dalam kamarku."Mari Bu, ke ruang tindakan," ucap salah satu dari perawat tersebut. "Saya udah gak bisa bangun lagi, Sus." Rasanya aku memang sudah tidak sanggup b
POV SafaWaktu berlalu dengan cepat, tidak terasa usia kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Setelah trimester kedua tidak ada drama lagi dalam kehamilanku, aku sudah bisa mulai memakan apa saja dan berat badanku serta bayi beserta naik secara signifikan. Pada pemeriksaan terakhir kali beberapa waktu lalu, dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Posisi bayi sudah sempurna, berat badannya cukup, air ketuban cukup, plasenta masih bagus. juga cukup insya Allah kan aku bisa melahirkan secara normal seperti saat aku melahirkan Albi dulu. Aku mulai rajin jalan-jalan begitu usia kandunganku memasuki trimester ketiga, makan buah-buahan yang bagus untuk ibu hamil yang sudah mendekati masa HPL. Diantaranya saja buah nanas.Buah nanas memiliki kandungan bromelain yang mampu membantu melunakkan leher rahim hingga memicu kontraksi pada ibu hamil. Namun buah ini tidak disarankan dikonsumsi secara berlebihan karena menyebabkan diare yang tidak menyamankan ibu hamil saat melahirkan. Ka
POV Abimanyu"Tega sekali kalian," terdengar suara Safa sedang berbicara dengan orang.Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi sangat jelas mendengar suara Safa, kami tadi bergantian ke kamar mandi setelah pulang dari rumah Mama. Meskipun sampai rumah sudah jam setengah sepuluh malam tapi aku memutuskan mandi dengan air hangat. Meskipun sudah jam sepuluh malam, tapi istriku itu tetap melakukan panggilan video dengan temannya. Sepertinya itu dengan Kaira dan juga Lili, mereka berdua memang membantuku untuk membawa Safa keluar dari rumah, sebelum akhirnya aku jemput untuk pergi ke rumah Mama. Pelan kuayunkan langkah mendekat pada istriku yang sedang duduk di depan meja riasnya. Bercermin sambil menelpon teman-temannya. Aku berdiri di sampingnya, bisa melihat layar smartphone milik Safa tapi Lili dan Kaira tidak bisa melihatku."Kalian sengaja membohongiku, kan? Jadi sebenarnya Lili itu mau beli baju beneran atau enggak sih? Atau cuma akal-akalan kamu saja, Li?" tanya sama pada te
POV Abimanyu"Mas, tega kamu melakukan ini padaku. Kamu yang salah, masa aku yang harus kena omelan mama," ucap Safa dengan wajah memelas. Sebenarnya aku tidak tega melakukan ini padanya, tapi ini adalah bagian dari skenario untuk memberinya kejutan. "Ya mau bagaimana lagi, Mama yang minta kamu kesana. Yang penting kita ke sana dulu saja.""Aku nggak mau pokoknya," tolak Safa. matanya mulai berembun.Antara mama dan Safa memang tidak pernah terjadi perseteruan. Hanya sekali waktu pertemuan kami sebelum menikah, dimana saat itu Mama melukai Safa dengan perkataannya. Dan swkali setelah menikah, saat Qia ngambek dan minta diantar ke rumah Omanya, lalu ke kuburan mending Mamanya. Mungkin momen itu begitu membekas di hati Safa hingga dia tidak mau juga mama kembali berkata buruk padanya. "Aku lagi hamil Mas, masa kamu tega melihat istrimu dimarahi oleh mamamu?" kali ini Safa mulai terisak.Hormon kehamilan membuatnya menjadi wanita yang mudah menangis. membuatku malah menjadi khawatir p
Sepeninggalnya Lili, aku dan Kaira kembali ke ruang kerja Kaira. Temanku itu mengajakku untuk berbicara dengan santai di ruang kerjanya. "Aku nggak nyangka kamu bakalan bisa akur dengan istri dari mantan suamimu. Ini sungguh sesuatu yang sangat langkah," ucap Kaira begitu kami sampai di dalam ruangannya."Jika Itu bukan Lili, mungkin aku tidak akan bisa juga akrab dengannya. Apalagi menjalin keakraban dengan segala yang berhubungan dengan mantan suamiku. Ditambah lagi perpisahan kami dulu sangat menyakitkan, tapi semuanya sudah berlalu aku sudah mendapatkan banyak kebahagiaan dan aku juga sudah move on dari segala masa laluku itu.""Termasuk dengan wanita yang menjadi penyebab hancurnya rumah tanggamu?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Kaira. "Bagaimana kabar wanita itu? Apa kamu masih mendengar tentangnya? Dia masih satu kampung dengan kamu kan.""Dia sudah mendapatkan balasannya, dan sekarang mungkin dia sudah menjadi orang yang lebih baik. Sudahlah, jangan
"Termasuk apa Lili?" tanyaku penasaran. "Termasuk dia yang dijadikan ibu pengganti. Aku tidak habis pikir dengan hal itu. Itu mungkin pukulan berat yang membuat wanita itu jadi insyaf.""Dia cerita apa lagi?""Tentang itu saja mbak yang bikin aku shock.""Dania cerita juga tentang aku?" Aku mencoba memancing Lili bercerita yang lain. "Enggak Mbak, memangnya Mbak Safa ketemu dengannya juga?""Enggak sih kalau di kota ini, tapi pas aku pulang kampung sempat bertemu dengannya dan seperti padamu, dia juga minta maaf padaku," jawabku apa adanya.Jadi Dania tidak menceritakan tentang aku, syukurlah. Wanita itu memang benar-benar sudah berubah. "Oh iya Mbak, bisa nggak Mbak Safa nemenin aku ke butik Mbak Kaira lagi," ucap lili mengubah topik pembicaraan. "Memangnya kamu mau memesan baju pernikahan?" tanyaku dengan penasaran.Pasalnya kerjasama antara Lili dan Kaira waktu itu tidak jadi. Lili bilang menjual baju pengantin tidak semudah menjual baju yang aku produksi maupun yang diproduksi
"Tadaaa ....," serunya sembari mengangkat sebuah rantang berwarna orange tepat di hadapanku. Aku masih memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Apakah kejutan yang dia maksud adalah dengan memberiku sebuah rantang kejutan, macam apa ini."Ini kejutannya, kamu memberiku rantang?"Ini bukan sekedar rantang, Mbak. Yang paling penting adalah isinya. Kata Mas Abi, kamu menginginkan masakan Ibuku, kan. Nah di dalam rantang ini ada masakan spesial yang Ibuku masakan buat kamu. Selain rantang ini ada juga yang di dalam itu, ucap Lili panjang lebar sambil menunjuk goodie bag. Wah jadi mas Abi benar-benar mengatakan keinginanku pada Lili. Kapan dia mengatakan, ternyata suamiku itu benar-benar memenuhi semua keinginanku bahkan hal ini pun tanpa sungkan ia lakukan."Kapan mas Abi bilang padamu?" Aku bertanya dengan penasaran"Bukan padaku sih, tapi suamimu itu bilang pada Mas Galih, kemudian Mas Galih bilang padaku, terus aku bilang pada ibu deh," tutur Lili jelaskan. Oh ternyata begitu cer