Tiba di rumah Pak lurah, Najwa dan Bu Dahlia mendapati Pak Haris yang terlihat ditahan oleh beberapa orang warga. Napas lelaki paruh baya berbadan kekar itu tampak naik-turun. Menandakan, bahwa emosi itu belumlah reda secara total. "Bapak!!" panggil Bu Dahlia. Dengan langkah panik, dia mendekati suaminya. "Bapak nggak apa-apa?" Pak Haris menggeleng. "Iya. Bapak nggak apa-apa." "Pokoknya, saya nggak mau tahu! Pak Haris harus bayar biaya pengobatan saya! Kalau tidak, maka bukan hanya Galih yang hari ini akan masuk penjara. Pak Haris juga." Dari ujung teras sana, ada Jaya, yang berteriak sambil memegangi pipi sebelah kirinya yang lebam. "Gila, kamu, Jaya! Jelas-jelas, kamu yang nyerang saya duluan, kok. Saya kan cuma membela diri." Pak Haris turut bersuara dengan mata melotot. "Walaupun saya yang nyerang duluan, tapi Pak Haris baik-baik aja, tuh! Malah saya yang jadi bonyok kayak gini," sungut Jaya. Jelas, dia yang babak belur karena Pak Haris adalah alumni perguruan pencak
"Ba-baik. Saya akan bicara dengan Bapak soal masalah ini," ucap Jaya dengan suara melemah."Beritahu Pak Tono, kalau dia tetap nekat menuntut Galih melalui jalur hukum, maka rumah kalian akan langsung saya sita!" tegas Najwa."Iya," angguk Jaya mengerti."Jadi, masalah ini seharusnya sudah clear, kan?" tanya Najwa memastikan.Jaya mengangguk. Tak berselang lama, dia langsung pergi tanpa berpamitan sama sekali. Para warga yang melihat kepergiannya langsung bersorak mengolok-olok dirinya."Terimakasih," ucap Bi Tin yang berjalan mendekat bersama Galih."Sama-sama, Bu," jawab Najwa disertai anggukan kepala."Terimakasih," Galih turut membuka suara. Sepasang matanya, terlihat curi-curi pandang ke arah Najwa."Ya, sama-sama," balas Najwa. "Hidung Ibu nggak apa-apa?" tanya Najwa pada wanita paruh baya itu."Alhamdulillah, nggak apa-apa. Tadi, memang sempat mimisan. Tapi, sudah berhenti.""Kalau Ibu dan Galih butuh apa-apa, jangan sungkan minta bantuan pada kami, ya!""Iya. Terimakasih sekal
"Wa, sarapan dulu, Sayang!" ajak Bu Dahlia yang sedang menata makanan di atas meja makan.Najwa baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian olahraganya dengan gamis rumahan."Iya, Bu," jawab Najwa tersenyum. Dia mengambil tempat duduk di meja makan kemudian menerima piring yang disodorkan oleh sang Ibu."Iroh! Sini, ikut sarapan!" panggil Bu Dahlia pada Bi Iroh yang terlihat agak segan untuk mendekat."I-iya, Bu!" jawab wanita berbadan besar itu. "Duh, saya jadi nggak enak, karena tadi nggak bantuin Ibu masak.""Nggak apa-apa, Roh! Santai saja! Kamu kan ke sini, niatnya memang untuk liburan. Jadi, nikmati saja liburan kamu. Soal pekerjaan di rumah ini, kamu nggak usah kepikiran. Toh, ada tetangga yang setiap hari ke sini untuk bantu bersih-bersih," timpal Bu Dahlia."Tapi, tetap saja saya nggak enak, Bu!""Kalau nggak enak, kasih kucing aja, Roh! Gitu aja kok repot?!" seloroh Bu Dahlia."Ibu bisa aja, bercandanya," sahut Bi Iroh tertawa.Sarapan berlangsung dengan penuh tawa. Tampak
Pagi ini, Najwa sudah bersiap untuk kembali ke kota. Bagasi mobil yang semula lega, kini mendadak sesak karena dipenuhi oleh beberapa jenis sayuran serta buah-buahan. Tak lupa, dua karung beras, turut menambah daftar banyaknya barang yang harus dibawa Najwa."Najwa!! Tunggu!" teriak Kirani, anaknya Pak lurah. Dia datang sembari membawa sebuah keranjang yang terlihat cukup berat."Rani? Kamu bawa apa?"Sahabat baik Najwa yang telah lebih dulu menyandang gelar janda tersebut, tampak tersenyum lalu mengusap peluh yang mengucur di dahinya. Dia meletakkan bawaannya, lalu berusaha mengatur napas yang masih tersengal-sengal."Untung kamu belum berangkat, Wa!" kata Kirani."Memangnya, kenapa, Ran?" tanya Najwa."Ini...," Kirani menunjuk keranjang hitam yang dia bawa. "Aku mau kasih telur bebek ini buat kamu.""Telur? Ya Allah, Ran... Kamu nggak perlu repot-repot!"Kirani menggeleng. "Nggak repot sama sekali, kok. Justru, aku senang banget kalau kamu mau terima telur pemberian aku. Soalnya, a
"Maaf, Pak! Tapi, Bapak nggak dibolehkan lagi untuk mengatur parkir di tempat ini!" ucap pegawai minimarket, dimana Bian biasanya bekerja sebagai juru parkir liar."Loh, kok tiba-tiba?" tanya Bian penasaran."Atasan kami yang menegur, Pak. Gara-gara adanya Bapak yang menagih tarif pada pelanggan yang mampir di toko kami, penjualan akhir-akhir ini jadi menurun.""Loh, penjualan kalian menurun, bukan urusan saya. Itu mah, urusan kalian sendiri. Mungkin saja, kalian yang tidak becus melayani pelanggan makanya mereka pada nggak betah belanja di sini."Pegawai lelaki tersebut tampak mendengkus kasar. Gaya tengil Bian, membuatnya mulai terpancing emosi."Justru, pelanggan kami pada ngeluh karena Bapak yang nagih uang parkir dengan bayaran nggak etis. Masa' parkir motor aja, dihargai lima ribu?""Suka-suka saya, dong! Kalau mereka nggak mau bayar, berarti nggak usah mampir sini."Emosi pemuda berusia dua puluh tahunan tersebut semakin tersulut. Apa yang Bian katakan, sungguh mencerminkan seb
"Mas, ngapain di situ?" tegur seorang security saat melihat tingkah Bian yang tampak mencurigakan."Ah, nggak, Pak. Saya cuma lagi nungguin seseorang," jawab Bian yang berusaha terlihat tidak gugup dihadapan security itu."Siapa? Apa salah satu pegawai di sini?" tanya security itu lagi."I-iya, Pak," angguk Bian."Namanya?""Najwa Assyifa. Dia sekretaris dari direktur perusahaan ini."Security itu memperhatikan penampilan Bian dari atas ke bawah. Tampak sekali, jika dia tak percaya bahwa lelaki berpenampilan tak terurus seperti Bian, bisa mengenal salah satu orang penting di perusahaan tempatnya bekerja itu."Pak, saya jujur. Saya benar-benar kenal dengan Najwa," ujar Bian meyakinkan."Memangnya, Mas ini siapanya Bu Najwa?""Sa-saya... saya mantan suaminya," jawab Bian lirih."Oh, mantannya, toh? Tapi, kok penampilan Mas-nya seperti ini? Berbeda sekali dengan Mbak Najwa yang cantik dan juga terawat. Apa jangan-jangan, Mas ini cuma ngaku-ngaku, ya?"Ah, menyebalkan sekali, melihat tata
"Dev, lu kenapa, Bro? Kok, ngelamun?" tanya Keenan, salah satu teman baik Deva.Yang ditanya sedikit tersentak. Ia akui, barusan dia memang sempat melamun."Gue nggak apa-apa," jawab Deva dengan sedikit senyuman tipis."Masa' sih? Kok, gue nggak percaya, ya?" Keenan tertawa kecil."Serius, Bro. Gue oke. Nggak ada masalah," ujar Deva meyakinkan.Keenan mengangguk tanda mengerti. Walaupun, sesungguhnya didalam hati, dia merasa sedikit ganjil dengan kelakuan Deva yang mendadak makin pendiam saat datang kembali dari Indonesia."Perusahaan, gimana? Tikus-tikusnya, udah ketangkep?"Deva mengangguk. Tatapan matanya tertuju pada gelas minuman yang sedari tadi dia mainkan."Sudah. Tapi, mengembalikan kerugian yang ditanggung perusahaan, kayaknya bakal sulit.""Jadi, Lo bakal masih lama tinggal di sini?"Deva menghela napas panjang. "Ya. Gue baru diizinin bokap pulang kalau perusahaan udah kembali stabil kayak dulu lagi.""Bokap Lo, lumayan tegas juga, ya?""Ya, gitulah," jawab Deva seraya meng
Intan kesal bukan main. Rasa cemburu terhadap perempuan yang bahkan tidak pernah dia lihat itu, hampir membakar habis seluruh akal sehatnya.Dia benci Deva yang tersenyum begitu manis hanya dengan mengingat wajah perempuan itu. Dia benci, kala Deva menyebut nama perempuan itu dengan begitu hangat dan lembut."Kayaknya, kami nggak jadi makan di sini. Aku harus pulang," kata Intan yang langsung berdiri dan menarik lengan temannya untuk pergi."Ntan! Kok malah pergi? Aku udah laper banget, loh!" protes teman yang bersamanya."Kita makan di rumahku aja.""Tapi, aku udah terlanjur pesan.""Biarin aja. Yuk, kita pergi!"Dengan cepat, Intan menarik lengan temannya untuk segera pergi dari sana. Tak ia hiraukan, teriakan Keenan yang menanyakan dia hendak pergi kemana."Edan si Intan. Bisa-bisanya, dia udah pesan makanan tapi malah ditinggal pergi," sungut Keenan kesal."Berarti, Lo yang harus bayar!" sahut Deva tertawa."Lah, kok malah gue?""Terus, siapa?" Deva mengangkat sebelah alisnya. "Ka
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da