Intan kesal bukan main. Rasa cemburu terhadap perempuan yang bahkan tidak pernah dia lihat itu, hampir membakar habis seluruh akal sehatnya.Dia benci Deva yang tersenyum begitu manis hanya dengan mengingat wajah perempuan itu. Dia benci, kala Deva menyebut nama perempuan itu dengan begitu hangat dan lembut."Kayaknya, kami nggak jadi makan di sini. Aku harus pulang," kata Intan yang langsung berdiri dan menarik lengan temannya untuk pergi."Ntan! Kok malah pergi? Aku udah laper banget, loh!" protes teman yang bersamanya."Kita makan di rumahku aja.""Tapi, aku udah terlanjur pesan.""Biarin aja. Yuk, kita pergi!"Dengan cepat, Intan menarik lengan temannya untuk segera pergi dari sana. Tak ia hiraukan, teriakan Keenan yang menanyakan dia hendak pergi kemana."Edan si Intan. Bisa-bisanya, dia udah pesan makanan tapi malah ditinggal pergi," sungut Keenan kesal."Berarti, Lo yang harus bayar!" sahut Deva tertawa."Lah, kok malah gue?""Terus, siapa?" Deva mengangkat sebelah alisnya. "Ka
Najwa langsung mendekat ke arah Bian yang hendak memukul Galih lagi. Dia berusaha menghalangi mantan suaminya itu namun justru malah dia yang kena dorong.Bruk!Najwa terjatuh. Dia meringis kesakitan sambil memegang pinggangnya."Najwa!!" pekik Bian kaget. Dia menghampiri Najwa dan hendak menolong mantan istrinya itu.Tapi, Bugh!Dari arah samping, satu pukulan tiba-tiba mengenai wajahnya. Kini, gantian dia yang harus merasakan sakit."Kurang ajar! Berani-beraninya, Lo mukul gue," ucap Bian dengan tatapan nyalang."Ya, saya berani! Memangnya, kenapa? Ayo, kalau mau berantem, lakukan secara jantan! Jangan main belakang kayak tadi."Galih tersenyum miring seraya bersiap untuk melawan Bian. Namun, security yang melihat kejadian itu langsung berlari dan menengahi mereka."Sudah, hentikan!" teriak sang security dengan wajah marah. "Kalau kalian mau berantem, sana.. diluar aja! Jangan dilingkungan perusahaan ini. Ngerti?"Baik Bian maupun Galih sama mendengkus kesal. Mereka tak ada pilihan
"Gal, maaf banget, ya! Gara-gara aku, kamu jadi kena pukul," ungkap Najwa dengan perasaan tak enak pada Galih."Nggak apa-apa, Wa. Bukan salah kamu, kok." Galih sedikit meringis kesakitan saat membuka mulut untuk berbicara."Ngomong-ngomong, yang tadi itu... mantan suami kamu?" imbuh pria itu bertanya sembari menoleh menatap Najwa."Iya. Dia Mas Bian, mantan suamiku.""Kalian, kenapa bercerai, Wa?"Najwa menoleh sekilas. Sepertinya, dia agak kaget mendengar pertanyaan itu. Namun, tak lama kemudian, dia kembali fokus menatap ke arah jalan."Maaf, kalau aku lancang tanya-tanya, Wa! Aku cuma penasaran aja, soalnya beberapa warga kampung dulu pernah ngomong kalau pernikahan kalian sangat bahagia dan harmonis."Galih tiba-tiba jadi merasa tak enak. Dia takut, Najwa tersinggung dengan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan."Mungkin, tadi kamu udah dengar," jawab Najwa sambil tersenyum simpul. "Mas Bian... dia selingkuh.""Selingkuh?" lirih Galih tak percaya."Ya, selingkuh. Dengan mantan
"Sial! Kenapa Najwa malah makin marah, sih?" ketus Bian seraya meninju udara.Dia hanya pasrah, memandangi mobil Najwa yang semakin menjauh. Hendak menyusul, namun motornya sedang berada di bengkel karena bannya bocor. Tadi, saja, dia ke kantor Najwa hanya berjalan kaki dari bengkel tempat dia menambal ban motornya."Lebih baik aku ambil motor dulu. Setelah itu, aku bakal ke rumah Najwa dan tungguin dia di sana aja."Dengan langkah yang terburu-buru, Bian akhirnya sampai di bengkel tempat dia menambal ban. Lekas, dihampirinya montir yang tadi mengerjakan sepeda motornya itu."Bang, udah selesai?" tanya Bian."Udah. Tuh," angguk pria berambut gondrong itu seraya menunjuk motor Bian yang sudah terparkir manis dengan kondisi ban yang tidak bocor lagi."Berapa, Bang?" tanya Bian.Pria berambut gondrong itu pun menyebut nominal yang harus Bian bayarkan."Nih, Bang! Ambil saja kembaliannya," ucap Bian penuh percaya diri.Dihampirinya motornya, lalu bersiap melajukan kendaraan roda empat ter
Bian terkapar setelah seseorang memukul kepalanya dari belakang. Najwa yang melihat itu terlihat sangat syok, namun seketika mengembuskan napas lega saat tahu siapa yang sudah membuat Bian jadi seperti itu."Bi Iroh?""Mbak Najwa nggak apa-apa?" tanya Bi Iroh seraya membuang balok yang baru saja dia gunakan untuk memukul tengkuk Bian."Ya, Alhamdulillah. Saya nggak apa-apa, Bi. Untung, Bi Iroh cepat datang. Tapi, apa dia nggak apa-apa, Bi? Nggak mati, kan?""Bentar, saya cek dulu, Mbak!" Bi Iroh berjongkok lalu meletakkan telunjuknya di bawah hidung Bian. " Masih napas, Mbak! Aman!""Alhamdulillah!! Saya sempat takut loh, Bi." Najwa kembali mengembuskan napas lega."Ya sudah, Mbak Najwa buruan masukin mobilnya ke dalam, gih! Biar manusia ini, saya yang atasi," kata Bi Iroh sembari berkacak pinggang, menatap Bian yang terkapar tak sadarkan diri dengan tatapan kesal."I-iya, Bi,"angguk Najwa. Ia agak ngeri kala melihat Bi Iroh yang menggeret tubuh Bian sedikit menyingkir dari depan gerb
"Sa-saya dimana?" lirih Bian saat perlahan kesadarannya mulai kembali."Kamu di pos satpam. Tadi, kamu kami bawa ke sini dari rumahnya Mbak Najwa."Bian seketika tersentak kaget. Hendak bergerak, namun tubuhnya terasa begitu kaku. Sepersekian detik berikutnya, barulah dia sadar jika ternyata badannya sedang dalam posisi terikat di kursi."Lepaskan, saya! Saya harus ketemu istri saya!" Laki-laki itu berusaha memberontak."Istri?" Dua Security itu tertawa mencemooh. "Mantan istri, maksudnya?"Bian langsung terdiam. Dalam hati, dia mulai merasa gugup karena kebohongannya akhirnya terbongkar."Sa-saya...,""Sudahlah, Mas! Nggak usah mengelak lagi! Tadi, Mbak Najwa sudah menjelaskan semuanya.""Najwa berbohong!" sergah Bian. "Apapun yang dia katakan, itu semua bohong. Saya yang benar.""Halah!! Sudah ketahuan, masih saja ngeles.""Saya beneran, Pak. Saya ini masih sah suaminya Najwa. Kami belum bercerai. Najwa hanya sedang marah sama saya karena sebuah kesalahpahaman."Brak!!Security bert
"Maafkan kami, Mbak!! Ka-kami... nggak bermaksud berkata seperti itu tentang Mbak Najwa," ucap salah satu diantara mereka sambil membungkukkan badan."Iya, Mbak! Kami minta maaf!" Satu lagi, ikut melakukan hal yang sama."Sa-saya juga minta maaf, Mbak!" Yang lain turut melakukan hal serupa.Hanya perempuan yang mengatai Najwa sebagai janda gatal saja yang terlihat membuang muka sambil mengerucutkan bibirnya. Wajahnya, tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali."Ya, saya maafkan kalian!" sahut Najwa."Wa, kok semudah itu, sih?" protes Galih tak terima."Mereka cuma nggak tahu hubungan kita yang sebenarnya aja, Gal. Makanya, mereka bisa berasumsi seperti itu.""Memangnya, hubungan kalian seperti apa?" tanya wanita yang sama sekali belum meminta maaf pada Najwa itu.Najwa tersenyum. Dia tetap bersikap lembut dan sopan walau dia tahu, bahwa perempuan itulah yang tadi memberinya label sebagai janda gatal."
Najwa tampak berpikir sesaat. Sedetik kemudian, perempuan berhijab itu mengendikkan bahunya."Nggak tahu," jawabnya singkat.Galih mengangguk, berpura-pura mengerti. Padahal, jauh di dalam lubuk hati, dia merasa tak puas dengan jawaban yang Najwa berikan.Mereka pun kembali melanjutkan makan dengan begitu lahap. Sesekali, Galih masih mencuri pandang ke arah Najwa yang sepertinya tak sadar sedang jadi objek perhatian dirinya.Setelah makanan mereka tandas, keduanya pun memutuskan untuk pulang bersama-sama."Terimakasih banyak, Wa! Seharusnya, kamu nggak usah antar aku sampai ke kost-an segala," tutur Galih saat turun dari mobil Najwa."Santai, Gal! Kita kan, teman," sahut Najwa tersenyum. "Kalau gitu, aku langsung pulang aja, ya! Udah makin sore.""Oke. Hati-hati, ya, Wa! Sampai ketemu besok." Galih mundur selangkah. Dia melambaikan tangan pada Najwa yang kini sudah melajukan mobilnya menjauh dari pekarangan kost-an."Aku mungkin punya kesempatan itu, Wa! Bisa saja, aku yang akan menja
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da