"A-aku minta maaf, Wa! Aku akan tegur mereka supaya nggak berlaku kurang ajar lagi sama kamu. Maaf, mungkin aku yang memang sudah terlalu sok akrab sama kamu. Aku pikir, karena kita dulu teman sekolah dan masih satu kampung, jadi nggak ada batasan dalam persahabatan kita. Rupanya, ada. Jabatan kita di kantor ini, memang sangat jauh. Pasti, kamu merasa terhina karena aku yang hanya seorang staf biasa, berlaku sok dekat sama kamu yang seorang sekretaris pimpinan."Dari penyampaian dan cara bicaranya, Najwa bisa menilai bahwa Galih sepertinya ingin membuat Najwa merasa bersalah. Istilahnya, playing victim. Padahal, yang salah disini justru adalah Galih.Sebenarnya, Najwa tak merasa terhina sama sekali, jika berteman dengan Galih, seperti yang dituduhkan oleh pria itu. Hanya saja, batasan dalam lingkup pekerjaan, tentu harus diadakan.Ada beberapa aturan tak tertulis yang mestinya Galih pahami jika sedang berada dalam lingkup perusahaan. Di tempat itu, Najwa bukan temannya melainkan atasa
"Gawat!! Gimana kalau Najwa akan menjauhi aku mulai sekarang?" tutur Galih gelisah. Dia mondar-mandir didalam toilet pria dengan perasaan tak karuan. Sepertinya, Najwa benar-benar sudah sangat marah."Aku harus berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Najwa kembali. Kalau aku berhasil mendapatkan hatinya dan menikah dengan dia, maka hidup aku dan Ibu akan terjamin sampai kapan pun."Galih tersenyum miring. Ya, niatnya mendekati Najwa memang semata-mata demi mendapatkan harta perempuan yatim piatu itu.Menurut Galih, perempuan lemah seperti Najwa, pasti akan sangat mudah dia taklukkan. Mengingat, Najwa tak punya siapa-siapa lagi, selain orangtua angkat yang Galih anggap, bisa dengan mudah dia singkirkan jika sudah menjadi suaminya Najwa.*"Huffftt!! Lega banget rasanya," ujar Najwa sembari menghela napas panjang.Ada beban yang seolah baru saja terangkat dari dadanya. Dia tersenyum, menatap langit-langit pantry, sebelum menyambar gelas dan membuat kopinya sendiri."Wa! Keliatannya, lagi
Salma memandangi gedung pencakar langit yang ada dihadapannya. Ada rasa takjub sekaligus kagum yang muncul dalam hatinya saat mengetahui bahwa ternyata Najwa bekerja di sebuah perusahaan yang sangat bergengsi.Dengan langkah yang sedikit kurang percaya diri, perempuan yang kini mulai belajar memakai pakaian lebih tertutup itu masuk ke lobi. Dia menghampiri meja resepsionis lalu mengutarakan keperluannya."Siang, Ibu! Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis berhijab itu dengan ramah."Saya ke sini mau ketemu Bu Najwa, Mbak," jawab Salma."Sudah buat janji sebelumnya?"Salma mengangguk sambil tersenyum. "Sudah.""Atas nama siapa, kalau boleh tahu?""Saya Salma," jawab Salma."Baik, kalau begitu Ibu tunggu di sana dulu, ya! Silakan!" Resepsionis itu menunjuk ke arah kursi tunggu yang memang ditujukan untuk para tamu yang datang.Tak lupa, Salma terlebih dulu diminta mengisi buku tamu.Selang hampir sepuluh menit, akhirnya Najwa muncul juga. Salma reflek berdiri. Menyambut Najwa deng
Sudah satu bulan ini, Najwa terus menghindari Galih. Wanita itu hanya akan menanggapi sapaan Galih dengan senyuman kecil atau sebatas anggukan kepala. Selebihnya, Najwa akan berlalu begitu saja tanpa berniat mengobrol lebih jauh dengan pria itu.Karena perubahan sikap Najwa yang seperti itu, Galih pun jadi kelabakan. Jarak yang Najwa bentangkan diantara mereka, benar-benar membuat Galih kesulitan mengikis jarak."Wa, bisa kita ngobrol sebentar?" tanya Galih yang sengaja menunggu Najwa keluar dari ruang rapat."Maaf, Gal. Aku nggak bisa. Bu Halimah sudah menunggu aku untuk ikut meeting bersama beliau di hotel Horison.""Sebentar saja, Wa! Please," pinta Galih memohon.Wanita itu melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Setelah itu, dia menghela napas panjang sembari menatap Galih sekilas."Maaf banget, Gal! Aku benar-benar nggak bisa. Waktunya udah mepet banget. Nanti, Bu Halimah marah kalau beliau menunggu terlalu lama di dalam mobil."Setelah memberi penjelasan yang dirasa cukup, Na
"Shu... kamu dimana?" panggil seorang pria setengah baya dengan berbisik pelan sambil berjalan mengendap-endap memasuki sebuah apartemen yang gelap.Dia berusaha mencari saklar lampu. Namun, belum juga ketemu."Shu... jangan main-main! Cepat nyalakan lampu! Aku tak bisa lama. Aku harus segera pergi sebelum ada orang yang mengetahui keberadaanku di tempat ini."Masih hening. Lelaki setengah baya itu mulai merasa sedikit kesal."Katanya, kau rindu. Tapi, kenapa sekarang malah begini? Mau main petak umpet denganku? Ayolah, Shu! Aku tak ada waktu. Kau juga tahu itu.""Felix!"Terdengar suara wanita yang memanggil namanya dengan lirih. Lelaki itu langsung menengok ke kanan dan kiri namun hanya gelap yang memenuhi pandangan."Kau dimana, Shu? Stop, bermain-main! Kita benar-benar tak punya waktu, Honey! Keluarlah! Aku juga rindu!"Cklek!Lampu tiba-tiba menyala dengan terang. Senyum di wajah pria berkacamata itu terbit dengan lebar. Dia langsung berbalik ke belakang saat suara perempuan itu
"Siapa...,"Bugh!Deva membungkam mulut Galih dengan satu pukulan lagi. Sepupu Halimah itu benar-benar memukuli Galih tanpa ampun.Selain tinju, tendangan dari kaki panjangnya pun ikut berkontribusi membuat pria yang tadi hendak melecehkan Najwa jadi meringkuk kesakitan.Sementara itu, Najwa hanya mampu mematung. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Hanya air mata yang mengalir deras membasahi pipinya."Najwa!! Kamu nggak apa-apa, kan? Tenang, sekarang sudah ada Kakak!" lirih Halimah sambil memeluk erat Najwa yang begitu sangat ketakutan.Halimah pun lekas menelepon pihak keamanan. Galih bisa saja m*ti jika tak ada yang menghentikan aksi Deva yang ditunggangi oleh kemarahan yang meluap-luap."Sudah, Pak!!" ucap sang security sambil memeluk tubuh Deva dan mendorongnya agar menjauhi Galih."Minggir! Manusia sampah seperti dia, harus saya musnahkan!""Cukup, Dev! Dia sudah babak belur. Kamu bisa dipenjara kalau dia sampai kenapa-napa." Halimah turut mengingatkan sang adik yang sepertiny
Galih benar-benar merasa sangat sial hari ini. Dia tak menyangka, aksi gegabahnya akan ketahuan oleh Halimah dan seorang pria yang baru hari ini Galih lihat.Akan tetapi, Galih merasa bahwa kejadian tadi bukan sepenuhnya salah dirinya. Semua juga karena andil Najwa.Andai saja, Najwa mau bekerja sama dan tidak memancing emosinya, pasti kejadian nahas tadi, tak akan pernah terjadi."Ekhem!!!"Galih terkesiap. Dia menoleh ke arah pintu, kemudian menundukkan kepala saat Halimah, pria asing itu dan juga Najwa berjalan memasuki ruangan.Najwa tampak bersembunyi dibelakang Halimah. Dari sorot matanya, ketakutan itu masih terpancar jelas."Kamu sadar bahwa kamu sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal kan, Galih?" tanya Halimah dengan suara tegasnya yang terdengar menyentak."Maafkan saya, Bu! Saya khilaf!"Hah! Deva reflek tertawa muak. Belum genap dua belas jam, lagi-lagi dia mendengar alasan yang sama. Khilaf."Perbuatan kamu sudah masuk dalam ranah pelanggaran hukum yang sangat serius
Halimah terdiam selama beberapa detik setelah mendengarkan ancaman Galih. Wajahnya terlihat datar saja saat memandangi wajah pegawai kurang ajarnya itu.Galih tersenyum kecil. Dia merasa telah memiliki senjata untuk melawan Najwa dan Halimah balik."Kamu mau tuntut Deva?" tanya Halimah."Ya, saya akan menuntut laki-laki itu. Baik Ibu maupun Najwa, tidak akan pernah bisa menghentikan niat saya itu!" Lelaki itu menyeringai penuh kemenangan."Silakan saja, kalau kamu mau menuntut Deva. Saya juga akan memastikan kalau Najwa pun akan mengajukan tuntutan hukum atas perbuatan kamu."Panik sedikit menyerang mental Galih. Namun, lelaki itu berusaha untuk tidak goyah sedikit pun.Seperti apapun ancaman yang Halimah layangkan, Galih harus bisa menahannya serta menyiapkan serangan balasan."Saya tidak takut! Tak mengapa saya dipenjara, asal pria tadi juga ikut saya seret ke jurang yang sama."Halimah menggaruk ujung pelipisnya. Dia tertawa kecil sambil melipat kedua tangan didepan dada."Silakan
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da