"Mas, gimana?" tanya Najwa saat sang suami akhirnya kembali ke rumah.Deva yang baru saja tiba tampak tersenyum lebar. Rasa lelah seketika luruh saat melihat sosok sang istri yang menantinya didepan pintu dengan gelisah."Alhamdulillah. Semuanya lancar. Intan akan kita tuntut dengan kasus pencemaran nama baik. Kamu nggak usah cemas lagi! Pengacara kita akan mengurus semuanya dengan baik."Mendengar itu, Najwa seketika melirihkan kalimat hamdalah sambil menghela napas lega."Mas Deva pasti lapar, kan? Kita masuk, yuk! Aku udah masakin makanan yang enak buat Mas Deva.""Terimakasih." Deva mengusap puncak kepala Najwa hingga wanita itu tampak tersipu malu. "Gimana kabar kamu hari ini? Ngapain aja selama aku nggak ada?"Najwa mendongak sesaat. Dia tak menyangka, Deva akan menanyakan hal yang mungkin bagi sebagian suami bukanlah sesuatu hal yang penting untuk ditanyakan pada istri-istri mereka."A-aku nggak ngapa-ngapain, Mas. Aku cuma bantuin Ibu dan Bi Iroh masak sama beres-beres rumah."
"Tidak bisa! Bagaimana kalau Intan malah dihujat habis-habisan oleh netizen?"Deva rasanya ingin tertawa sekeras yang dia bisa. Betapa egoisnya pria tua yang kini sedang duduk berhadapan dengannya itu.Dia membiarkan anak orang lain dihujat, tapi tak ingin membiarkan anaknya sendiri merasakan hal yang sama. Adilkah? Jelas tidak."Itu resiko, Om! Berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab.""Nak Deva... tak bisakah Nak Deva menolong anak kami? Dia sedang hamil. Dia perempuan malang yang butuh uluran tangan dari orang lain. Maka dari itu, bisakah kita mencari solusi lain untuk permasalahan ini? Jangan jebloskan anak kami ke penjara! Kami mohon!" Bu Sephia turut angkat suara."Solusi seperti apa yang Tante tawarkan?""Nikahilah, Intan! Dengan begitu, tidak akan ada yang dirugikan lagi dalam masalah ini. Jika kalian menikah, maka kasus ini perlahan, pasti akan selesai dengan sendirinya."Degh!Najwa tanpa sadar meremas kuat ujung sweater rajut yang dikenakannya. Apa yang dikatakan
"Silakan! Lakukan kalau kamu memang mau mati," jawab Deva sambil tersenyum sinis.Apakah Intan berpikir bahwa Deva akan luluh hanya dengan ancaman semacam itu? Jelas, tidak."Deva!! Jaga bicara kamu!" hardik Pak Unang. Dia tak mau putrinya semakin terprovokasi dan nekat mengakhiri hidupnya sekali lagi."Intan, Sayang! Jangan ya, Nak!" bujuk Bu Sephia. "Semua pasti akan baik-baik saja. Jadi, tolong berikan serpihan kaca itu ke Mama ya, Sayang!"Pelan namun pasti, Bu Sephia melangkah mendekati putrinya. Dia berharap, Intan akan mengurungkan niat nekatnya itu."Nggak mau," geleng Intan seraya beringsut mundur. "Sebelum Deva setuju untuk menikahi aku, maka aku akan akan tetap seperti ini.""Kamu dengar permintaan anak saya, kan?" tanya Bu Sephia sambil memandang nanar ke arah Deva. "Dia hanya ingin dinikahi oleh kamu. Apa susahnya, mengabulkan permintaan sederhana seperti itu?""Gila!" desis Deva. "Kalian benar-benar keluarga gila!""Jangan asal bicara, Nak Deva!" sergah Pak Unang tak ter
"Pokoknya, Intan nggak mau klarifikasi! Titik!" teriak Intan begitu sampai di rumah."Ya, memang sebaiknya tidak usah, Sayang! Mama yakin, Deva pasti cuma menggertak saja. Kalau kamu nggak klarifikasi, orang-orang pasti akan berpikir kalau kamu memang tidak bersalah."Intan mengangguk cepat. Yang dikatakan Ibunya memang sangat benar.Jika dia klarifikasi, maka Intan pasti akan panen hujatan. Sebaliknya, jika dia diam saja, maka orang-orang pasti akan berpikir bahwa justru Deva yang malah mengarang pembelaan untuk dirinya sendiri."Tapi, bagaimana dengan saham perusahaan kita? Harganya semakin turun seiring masalah ini yang tidak selesai-selesai," tutur Pak Unang yang merasa paling frustasi dalam menghadapi masalah ini."Lebih baik kita bertahan dengan kondisi ini dulu! Mama yakin, cepat atau lambat, Deva pasti akan menyerah dan bersedia menuruti kemauan kita.""Tapi... Papa punya firasat buruk, Ma!" kata Pak Unang."Firasat buruk, apa? Udah, Papa jangan suka parno, ah! Nggak akan ada
"Kamu... Dasar laki-laki jahat!! Bisa-bisanya, kamu memenjarakan anak saya yang sedang hamil! Tidak punya hati! Laki-laki biadab!"Bu Sephia mengamuk saat melihat kehadiran Deva bersama dengan pengacaranya di kantor polisi. Wanita paruh baya itu hendak memukuli Deva namun dihalangi oleh dua orang petugas polisi."Itu akibatnya jika kalian berani bermain-main dengan saya!" timpal Deva dengan senyuman miring."Kamu... kamu benar-benar tak punya hati! Padahal, apa salahnya jika kamu menikahi putri saya, hah? Apa salahnya, kamu memberi status yang jelas pada calon cucu saya?""Jelas salah, Tante! Karena saya... bukan pemilik benih yang tertanam di rahim Intan.""Anak itu anak kamu! Jangan mencoba untuk menyangkalnya, Deva!" teriak Bu Sephia dengan suara menggelegar."Kalau begitu, bagaimana kalau kita buktikan lewat tes DNA?" tantang Deva.Wajah Bu Sephia mendadak pias. Garang yang sedari tadi terlihat seketika surut tak bersisa."Untuk apa tes DNA? Apa kamu ingin, supaya putri saya semak
"Mas nggak usah ikut campur, deh! Lagian, situ siapa, sih?""Saya teman dari wanita itu," jawab pria tersebut sambil menatap Najwa sendu. "Sekarang... bisa kalian pergi? Kalau tidak, saya akan benar-benar melaporkan kalian ke polisi.""Laporin aja kalau situ punya bukti," ucap seorang ibu-ibu dengan sinis."Saya sudah merekam kejadian tadi di HP saya," ucap pria itu sambil menggoyang-goyangkan ponsel yang ada ditangannya. "Semuanya... tanpa terlewat sedikit pun."Beberapa Ibu-ibu langsung terlihat panik. Mereka tentu saja tak mau ditangkap polisi. Apa kata suami mereka nanti?"Ka-kami cuma ikut-ikutan aja, kok," ucap salah satunya memberi alasan."I-iya," angguk yang lain membenarkan."Ikut-ikutan atau tidak, tetap saja tindakan kalian ini sudah merugikan orang lain. Dan, jika orang yang dirugikan itu merasa keberatan, maka kalian bisa mendekam dipenjara dan dituntut ganti rugi.""Tapi, dia kan pelakor. Wajar dong, dia dapat sanksi sosial!""Ada buktinya kalau perempuan ini adalah pel
"Sekali lagi aku bilang... kamu nggak perlu ikut campur!" tegas Najwa. "Aku masih menunggu kamu! Tinggalkan dia, Wa! Aku mohon!" Galih memasang tampang memelas. Berharap, tatapan matanya yang sendu dapat membuat Najwa tersentuh. "Ayo, Bi! Nggak ada gunanya kita mendengar omong kosong dari manusia seperti dia." Galih menahan geram. Sampai detik ini, Najwa tak sedikit pun melirik ke arahnya. Padahal, Galih merasa bahwa dirinya telah menjadi pria yang nyaris sempurna. Menurut Galih, dia adalah pria yang paling dibutuhkan Najwa dalam hidupnya. "Aku jauh lebih baik dari dia, Wa! Aku jauh lebih baik!" desis Galih saat melihat punggung Najwa yang semakin bergerak menjauhinya.Sepasang mata pria itu terlihat sendu. Dihiasi dengan kaca-kaca tipis yang mungkin sebentar lagi akan luruh menjadi butiran bening. * "Astagfirullah!! Kalian kenapa?" pekik Bu Dahlia saat melihat kondisi Najwa dan Bi Iroh yang sangat berantakan. Aroma tak sedap tercium dari tubuh keduanya. Pakaian mereka juga t
Najwa tersenyum haru kala mendengar janji itu. Demi Allah! Najwa sangat percaya akan apa yang suaminya katakan. Bagi Najwa, apapun yang suaminya katakan adalah sebuah janji yang mustahil akan pria itu ingkari."Maaf! Aku nggak ada disaat kamu sedang kesulitan. Aku benar-benar minta maaf!" lanjut Deva dengan suara serak.Menyadari itu, Najwa langsung mendongak menatap wajah sang suami. Sesuai dugaannya, rupanya pria itu sedang menangis."Mas... aku nggak apa-apa," lirih Najwa sembari menghapus air mata sang suami."Kamu bohong, Sayang! Aku tahu, kalau kamu sedang nggak baik-baik aja. Mereka nggak hanya nyakitin fisik kamu aja, kan? Pasti mereka juga nyakitin hati kamu."Deva mencium jemari dan telapak tangan Najwa berkali-kali."Mas... tadinya aku memang nggak baik-baik aja. Tapi, setelah melihat dan merasakan perhatian kamu, rasanya luka aku sembuh begitu cepat. Kamu obatnya, Mas! Mau aku terluka berapa kali pun karena orang lain, kamulah obat yang paling aku harapkan sebagai penawarn
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da