"Kamu... Dasar laki-laki jahat!! Bisa-bisanya, kamu memenjarakan anak saya yang sedang hamil! Tidak punya hati! Laki-laki biadab!"Bu Sephia mengamuk saat melihat kehadiran Deva bersama dengan pengacaranya di kantor polisi. Wanita paruh baya itu hendak memukuli Deva namun dihalangi oleh dua orang petugas polisi."Itu akibatnya jika kalian berani bermain-main dengan saya!" timpal Deva dengan senyuman miring."Kamu... kamu benar-benar tak punya hati! Padahal, apa salahnya jika kamu menikahi putri saya, hah? Apa salahnya, kamu memberi status yang jelas pada calon cucu saya?""Jelas salah, Tante! Karena saya... bukan pemilik benih yang tertanam di rahim Intan.""Anak itu anak kamu! Jangan mencoba untuk menyangkalnya, Deva!" teriak Bu Sephia dengan suara menggelegar."Kalau begitu, bagaimana kalau kita buktikan lewat tes DNA?" tantang Deva.Wajah Bu Sephia mendadak pias. Garang yang sedari tadi terlihat seketika surut tak bersisa."Untuk apa tes DNA? Apa kamu ingin, supaya putri saya semak
"Mas nggak usah ikut campur, deh! Lagian, situ siapa, sih?""Saya teman dari wanita itu," jawab pria tersebut sambil menatap Najwa sendu. "Sekarang... bisa kalian pergi? Kalau tidak, saya akan benar-benar melaporkan kalian ke polisi.""Laporin aja kalau situ punya bukti," ucap seorang ibu-ibu dengan sinis."Saya sudah merekam kejadian tadi di HP saya," ucap pria itu sambil menggoyang-goyangkan ponsel yang ada ditangannya. "Semuanya... tanpa terlewat sedikit pun."Beberapa Ibu-ibu langsung terlihat panik. Mereka tentu saja tak mau ditangkap polisi. Apa kata suami mereka nanti?"Ka-kami cuma ikut-ikutan aja, kok," ucap salah satunya memberi alasan."I-iya," angguk yang lain membenarkan."Ikut-ikutan atau tidak, tetap saja tindakan kalian ini sudah merugikan orang lain. Dan, jika orang yang dirugikan itu merasa keberatan, maka kalian bisa mendekam dipenjara dan dituntut ganti rugi.""Tapi, dia kan pelakor. Wajar dong, dia dapat sanksi sosial!""Ada buktinya kalau perempuan ini adalah pel
"Sekali lagi aku bilang... kamu nggak perlu ikut campur!" tegas Najwa. "Aku masih menunggu kamu! Tinggalkan dia, Wa! Aku mohon!" Galih memasang tampang memelas. Berharap, tatapan matanya yang sendu dapat membuat Najwa tersentuh. "Ayo, Bi! Nggak ada gunanya kita mendengar omong kosong dari manusia seperti dia." Galih menahan geram. Sampai detik ini, Najwa tak sedikit pun melirik ke arahnya. Padahal, Galih merasa bahwa dirinya telah menjadi pria yang nyaris sempurna. Menurut Galih, dia adalah pria yang paling dibutuhkan Najwa dalam hidupnya. "Aku jauh lebih baik dari dia, Wa! Aku jauh lebih baik!" desis Galih saat melihat punggung Najwa yang semakin bergerak menjauhinya.Sepasang mata pria itu terlihat sendu. Dihiasi dengan kaca-kaca tipis yang mungkin sebentar lagi akan luruh menjadi butiran bening. * "Astagfirullah!! Kalian kenapa?" pekik Bu Dahlia saat melihat kondisi Najwa dan Bi Iroh yang sangat berantakan. Aroma tak sedap tercium dari tubuh keduanya. Pakaian mereka juga t
Najwa tersenyum haru kala mendengar janji itu. Demi Allah! Najwa sangat percaya akan apa yang suaminya katakan. Bagi Najwa, apapun yang suaminya katakan adalah sebuah janji yang mustahil akan pria itu ingkari."Maaf! Aku nggak ada disaat kamu sedang kesulitan. Aku benar-benar minta maaf!" lanjut Deva dengan suara serak.Menyadari itu, Najwa langsung mendongak menatap wajah sang suami. Sesuai dugaannya, rupanya pria itu sedang menangis."Mas... aku nggak apa-apa," lirih Najwa sembari menghapus air mata sang suami."Kamu bohong, Sayang! Aku tahu, kalau kamu sedang nggak baik-baik aja. Mereka nggak hanya nyakitin fisik kamu aja, kan? Pasti mereka juga nyakitin hati kamu."Deva mencium jemari dan telapak tangan Najwa berkali-kali."Mas... tadinya aku memang nggak baik-baik aja. Tapi, setelah melihat dan merasakan perhatian kamu, rasanya luka aku sembuh begitu cepat. Kamu obatnya, Mas! Mau aku terluka berapa kali pun karena orang lain, kamulah obat yang paling aku harapkan sebagai penawarn
"Intan!! Ntan!" teriak Bu Sephia dengan nada panik.Air mata wanita paruh baya itu berguguran sesaat setelah dirinya mendengar kabar duka yang diberikan oleh sekretaris sang suami di kantor."Ada apa, Ma? Kok, teriak-teriak gitu?" tanya Intan dengan nada malas. Dia baru saja membuka pintu dengan rambut yang terlihat basah."Papa, Ntan!! Papa...," kata Bu Sephia dengan suara parau."Papa kenapa, Ma?" Intan kali ini mulai memasang wajah tegang dan panik."Pa-pa... Pa-pa... Papa lompat dari atap gedung kantor!"Degh!Jantung Intan serasa ditikam begitu cepat. Perih dan sakit bercampur jadi satu."Apa? Kok, bisa?"Bu Sephia menggeleng. Air matanya semakin mengalir deras membasahi pipinya yang berbalut bedak cukup tebal."Mama juga nggak tahu, Ntan!" geleng Bu Sephia. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya! Kita harus lihat Papa!"Intan mengangguk cepat. Dengan penampilan seadanya, Intan langsung menyambar tas dan ponsel lalu berjalan menuntun sang Ibu sedikit terburu-buru menuju ke arah mobil.
"Mas Indra...," lirih Intan berderai air mata.Sementara, Indra masih menatap sang adik dengan penuh kemurkaan. Matanya yang membulat lebar, bagai hendak memangsa adiknya sendiri."Kamu puas, sudah membuat Papa jadi seperti ini? Kamu puas, sudah menghancurkan keluarga kamu sendiri?" cecar Indra dengan mata memerah."Intan nggak salah, Ndra!" ujar sang Ibu memberi pembelaan. "Semua ini bukan salah adikmu. Tapi, salah Deva!"Intan hanya terus menangis. Dia berusaha berlindung dibalik punggung sang Ibu."Mama mau menyalahkan Deva lagi?" Indra tertawa sumbang. "Apa Mama masih waras? Jelas-jelas, semua ini terjadi karena ulah Intan, Ma! Andai dia tidak pernah mengusik Deva, maka kejadian ini nggak akan pernah ada.""Tetap saja Deva yang salah! Seandainya, dia tidak melakukan konferensi pers itu, mungkin nama baik dan perusahaan keluarga kita akan tetap baik-baik saja, Ndra!" balas Bu Sephia keukeuh.Indra mengusap wajahnya kasar. Dia tak tahu lagi harus menyadarkan Ibunya dengan cara apa.
"Mas...," panggil Najwa. Langkah Deva pun seketika terhenti. Pria tampan itu menoleh menatap sang pujaan hati. Kekasih halal yang kini bukan sekadar mimpi. "Kenapa?" tanya Deva. "Soal Mbak Intan..." Deva menghela napas panjang. "Kita lihat saja nanti. Jika dalam tiga hari mereka masih mempermainkan kita, maka tidak akan ada toleransi lagi. Masa bodoh dengan keadaan dia yang sedang berbadan dua." Najwa pun menganggukkan kepalanya. Dia mencoba tersenyum. "Kita jalan-jalan ke Mall yuk, Sayang! Mumpung hari ini aku lagi free," ajak Deva. Barangkali, jalan-jalan bisa mengembalikan keceriaan sang istri yang sedari kemarin terlihat lebih banyak bersedih. Mungkin, masih kepikiran soal perbuatan Ibu-ibu yang melabraknya di pasar. "Nggak, ah, Mas!" geleng Najwa menolak. "Aku... lagi nggak mood." Deva menatap sang istri dalam-dalam. Dia tahu, sang istri hanya sedang mengarang alasan. Tampaknya, kejadian kemarin masih menyisakan trauma bagi sang istri. "Kalau makan aja, gimana?" Lagi,
Sehari sebelumya..."Sini, kamu!" Indra menyeret sang adik menuju ke arah gudang usai pemakaman sang Ayah selesai dilaksanakan malam itu juga."Ada apa, Mas?" tanya Intan."Besok, aku nggak mau tahu! Kamu harus buat konferensi pers untuk meminta maaf kepada Pak Deva dan juga Mbak Najwa! Kamu harus mengembalikan reputasi dan nama baik mereka!""Tidak akan," geleng Intan tegas.Dia berniat pergi namun Indra menahan pergelangan tangannya."Mau kemana, kamu?" tanya Indra dengan mata melotot."Mau pergi!" jawab Intan. "Lepasin, Mas! Mas Indra tidak berhak mengatur-atur aku!""Oh, ya?" Indra tersenyum miring. "Jadi, kamu menolak untuk aku urusi lagi?"Sedikit meninggikan nyali, Intan mengangguk."Ya, aku nggak butuh Mas Indra!" jawabnya percaya diri."Kalau begitu, silakan kamu keluar dan temui semua teman-teman Papa yang ada di sana! Jangan lupa! Siapkan uang cash atau apapun untuk membayar
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da