"Ibu nggak usah takut! Aku jamin, Mas Bian nggak akan pernah berani menelantarkan Ibu lagi setelah ini," ucap Najwa setelah merasa cukup berbicara dengan Bian."Tapi, Ibu, maunya ikut kamu saja, Wa!" kata Bu Jannah lirih dengan mata berkaca-kaca. Sesekali, dia melirik takut ke arah Bian yang tampak berdiri kaku dengan tangan terkepal.Tatapan Bian yang terlihat begitu mengintimidasi membuat Bu Jannah merasa gentar. Dia yakin, setelah ini sang putra pasti akan membuat perhitungan dengan dirinya.Apa dia akan disiksa lagi?Andai, Najwa bersedia membuka hati untuk membawanya pergi dari tempat itu, pasti Bu Jannah akan bahagia sekali."Maaf, Bu! Tapi, aku benar-benar nggak bisa merawat Ibu lagi. Aku sibuk kerja. Sementara, Bi Iroh juga sudah kerepotan mengurus rumah. Sekarang, Ibu tinggal sama Mas Bian saja, ya! Aku yakin, Mas Bian kemarin hanya khilaf. Iya kan, Mas?" Najwa menoleh menatap mantan suaminya.Gugup, lelaki itu mengangguk. Dia berusaha tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya i
"Mas Bian! Apa-apaan, kamu? Udah gila, ya?" pekik Najwa saat melihat siapa pelaku pemukulan itu."Kamu yang gila!" balas Bian. "Ngapain kamu jalan sama lelaki lain disaat status kamu masih sebagai istriku, hah?" bentaknya keras hingga mengundang perhatian dari banyak orang.Deva yang tadi jatuh terduduk, kembali berdiri dengan tegak. Wajahnya terlihat kesal namun masih berusaha menahan diri untuk tidak membalas Bian karena ada Najwa ditengah-tengah mereka."Maksudnya, apaan nih, Bro?" tanya Deva pada Bian."Najwa istri gua! Ngapain Lo, ngajakin dia jalan berduaan kayak gini? Apa kalian berdua ini nggak punya malu, hah? Kenapa kalian terang-terangan selingkuh di depan banyak orang seperti ini?""Yang selingkuh siapa, sih?" protes Deva tak habis pikir. "Ada, gue pegang-pegang tangan Najwa atau peluk-peluk dia?" lanjutnya sambil tersenyum sinis."Nggak usah ngelak, Lu! Gue udah liat semuanya!" ucap Bian dengan suara keras. "Kamu juga, Wa! Ngapain jadi perempuan terlalu kegatelan? Apa aku
Sial! Sial! Sial! Bian benar-benar merasa sangat kesal karena Najwa tega tidak mengakui Bian sebagai suaminya. Wanita itu bahkan pergi begitu saja dan membiarkan Bian jadi sasaran bully pengunjung lain di supermarket itu. Mereka mengatai Bian sebagai pria yang halu. Pria gagal move on dan masih banyak lagi. Tentu saja, hal itu membuat kuping Bian benar-benar terasa sangat panas. "Awas kamu, Wa! Kalau Mas nggak bisa kembali sama kamu, maka laki-laki lain pun nggak boleh mendekati kamu." * "Najwa! You oke?" tanya Deva yang tadi setengah mati berlari untuk mengejar Najwa. Beruntung, dia berhasil menemukan Najwa sebelum wanita itu naik ke dalam mobilnya. "Ya, aku oke, Mas! Maaf, gara-gara aku, kamu harus terluka seperti ini," ucap Najwa merasa tak enak. Deva meraba sudut bibirnya. Memang masih terasa agak perih, namun masih sanggup dia tahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu aman," timpal Deva dengan perasaan lega. "By the way, apa benar, kalau laki-laki tadi sudah jadi mantan su
Kening Bu Dian berkerut. Dia mulai menangkap adanya kejanggalan dari ekspresi wajah putrinya."Kamu kenapa, Salma? Kok, muka kamu mendadak pucat, begitu? Kamu sakit?""B-Bu...,"panggil Salma lagi. Wanita itu meremas ujung gaun selutut yang dia pakai."Apa, sih?Kenapa kamu panggil Ibu terus?" tanya Bu Dian tak sabaran."Se-sebenarnya...,""Iya, sebenarnya kenapa?" Bu Dian menunggu dengan tak sabaran."Se-sebenarnya...,""Apa sih, Salma? Kalau ngomong, yang jelas, dong!" bentak sang Ibu yang semakin membuat nyali Salma jadi menciut."U-uang di rekening sudah habis tak bersisa, Bu!" jawab Salma jujur sambil menutup matanya. Setengah mati dia mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kalimat itu."Ha-Habis?" Mata Bu Dian langsung melotot tajam. "Maksudnya, gimana? Kok, uang di rekening bisa habis? Kamu apakan?" lanjutnya dengan suara melengking."Beberapa hari yang lalu, Dika sempat telepon dan bilang kalau Bapaknya kena serangan jantung, Bu! Jadi, Salma kirimin dia duit tiga puluh juta u
Salma akhirnya pulang dengan tangan hampa. Selain itu, hatinya pun ikutan patah. Lelaki pujaan yang selama ini begitu ia cinta, ternyata tak lebih dari seorang penipu semata."Sialan!!" umpat Salma sambil memukul tasnya sendiri. Dia anggap, tas itu sebagai pengganti sosok Dika untuk menerima kemarahan darinya."Kalau kayak gini, masa' aku harus beneran minta uang sama Mas Seno, sih? Apa dia punya? Sementara, kemarin kita jalan-jalan dan main di hotel aja, malah aku yang disuruh bayar."Salma menggigit kuku jarinya. Dia gugup, bingung, cemas sekaligus takut."Ya, nggak ada pilihan lain. Aku harus minta tolong sama Mas Seno," ucap Salma mantap.Mobil rentalan yang dia kendarai akhirnya melesat meninggalkan kampung Dika. Tujuan berikutnya dari perjalanan ini adalah kantor tempat Seno bekerja.Semoga saja, di sana, Salma bisa mendapatkan solusi. Toh, bukankah Seno sangat tergila-gila padanya? Apapun selalu lelaki itu berikan meski nominalnya tak pernah lebih dari satu juta perhari."Loh,
Setelah Salma masuk ke dalam ruangan Seno, Arini, sekretaris Seno langsung menghubungi Adila, istri sah Seno. Dia melaporkan pada wanita itu tentang kedatangan Salma ke kantor mereka. "Oke, Rin! Makasih atas infonya! Sekarang juga, saya otw ke sana. Kebetulan, saya memang lagi di mall mentari." Adila mematikan ponselnya setelah mendengar laporan Arini. Sambil berusaha mengatur ritme napasnya agar kembali normal, Adila terus beristighfar sembari mengusap air mata yang perlahan mulai menetes. "Awas kamu, Mas! Aku akan balas semua perbuatan kamu secara tunai!" gumamnya sebelum memantapkan hati untuk menyelesaikan semuanya. Hanya berkendara sekitar lima menit lebih, Adila akhirnya tiba di perusahaan yang saat ini dipimpin oleh sang suami. Penuh ketegasan dan percaya diri, Adila berjalan memasuki lobi dan meminta kedua security yang berjaga untuk mengikutinya ke ruangan sang suami. "Bu...," sambut Arini begitu lift terbuka dan Adila keluar dari sana bersama dua orang sekuriti yang dia
Salma tak pernah menduga jika ternyata Seno jauh lebih menyedihkan dibanding Bian. Dia pernah berpikir bahwa Seno yang selalu mengendarai mobil mewah itu adalah sosok pria yang kaya raya. Namun, ternyata lelaki itu tak lebih dari seorang budak, yang diperas keringatnya oleh sang istri tanpa bisa berkutik sedikitpun.Terbukti, saat perselingkuhan mereka terbongkar hari ini, Seno langsung diusir tanpa diberi apa-apa. Bahkan, uang sepeser pun, tak ada Adila sisakan untuk suaminya.Seno ditendang hanya dengan bekal pakaian yang dia kenakan. Bahkan, jam tangan serta sepatu pantofel miliknya juga diambil paksa oleh sang istri sah."Kamu jangan keterlaluan, Dil! Masa' sepatu sama jam tanganku mau kamu ambil juga?" protes Seno."Jam dan sepatu ini, aku yang beli, Mas!" sahut Adila dengan mata yang masih dipenuhi kilat amarah."Kalau begitu, beri aku sedikit uang tunai! Setidaknya, cukup untuk sewa kontrakan dan biaya makanku selama beberapa bulan ke depan." Seno masih berusaha menawar.Percum
"Kamu benar, Salma, kan?" tanya wanita berhijab itu sekali lagi.Dia menghampiri Salma lalu berusaha melihat wajah wanita itu. Namun, Salma terus berusaha untuk menghindar dan melindungi wajahnya."Salah orang," kata Salma dengan suara yang sengaja dibuat serak. Berharap, bisa mengecoh perempuan berhijab itu."Mana mungkin aku salah orang. Kamu memang Salma, kok." Wanita berhijab itu melipat kedua tangannya sambil memindai penampilan Salma yang terlihat berantakan."Ya, ini memang aku. Puas kamu, Mbak?" Akhirnya, Salma mengaku juga. Ia memperlihatkan wajahnya yang dihiasi dengan tatapan yang begitu angkuh."Penampilan kamu kenapa, Salma? Kok, berantakan gini? Tuh, kancing baju kamu bahkan belum ditutup semua."Salma yang semakin malu karena teguran wanita berhijab itu langsung mengancingkan bajunya secepat kilat.Air mata yang mendesak keluar, berusaha ia tahan sebisa mungkin. Gengsi, dong! Masa' dia harus menangis dihadapan Najwa?Ya, wanita berhijab itu memang Najwa. Mantan kakak ma
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da