Home / Lain / Katanya, Aku Pelit / Belanja Mesin Cuci

Share

Belanja Mesin Cuci

last update Last Updated: 2021-07-16 01:54:05

Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak.

 

"Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko.

 

"Ah, Abang suka gitu," gerutunya.

 

Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink.

 

"Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku.

 

"Mesin cuci ada?" tanya Tiara.

 

"Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok."

 

"Beneran?"

  

"Beneran dong, Ciin. Angel nggak mungkin boong."

  

Tiara menoleh ke arahku. "Boleh, Bang?"

 

"Emangnya mau dipasang dimana?Bawah kuali?!" Ada-ada saja si Tiara. Suka sekali memancing emosiku.

 

"Kan Adek cuma bergurau. Namanya juga suami-istri. Kalau bukan sama Abang, sama siapa lagi Adek harus bergurau?" Tiara meraih tanganku untuk dia genggam, kemudian dia angkat dan dia cium.

 

"Iiiiiiihh ...." Si lelaki yang mengaku bernama Angel--walau sebenarnya lebih pas dipanggil Devil--mengipas matanya dengan jari-jemari yang merentang panjang seperti milik Nang Nak, kuntilanaknya Thailand.

 

"Eike tuh suka emo kalo ngeliat keluarga harmonis. Padahal, tadinya si Abang mau eike rebut. Tapi, setelah ngeliat Mbaknya yang cinta banget, eike urungkan, deh."

 

"Ooi, Sotong Bakar! Kau pikir aku mau?!"

 

"Ya udah, yuk! Kita pergi lihat mesin cuci," ucapnya tanpa mengindahkan kalimatku barusan.

 

Aku dan Tiara mengikuti si Angel dari belakang. Dia berjalan dengan pantat yang bergeol ke kanan-kiri. Mirip bebek Shanghai.

 

"Taraaaaa ...." Angel berdiri di depan sebuah mesin cuci dengan gaya bak model. Tak malu dengan kumisnya.

 

"Waaaah ...!" Sepertinya Tiara begitu kagum pada mesin cuci berbentuk jajar limas itu. Mulutnya saja sampai menganga lebar. Awas masuk lalat, Tiara.

 

"Ini mesin cuci merek Cicak Mesir," ujar Angel.

 

"Mpreeeet!" ejekku.

 

"Ini bukan sembarang mesin cuci, Ciin. Mesin cuci ini juga bisa dijadikan ...." Angel memulas pegangan di mesin cuci.

 

"Kompor?" Tiara shock melihat api yang menyala.

 

"Benar. Jadi, kalau yei lagi nyuci terus perut mencubit dari dalam karena lapar, yei tinggal nyalain kompornya dan goreng-goreng makanan."

 

"Baru ntar minyaknya tumpah lagi ke cucian," celetukku.

 

"Eh, betul juga ya, Bang." Tiara yang awalnya melihat dengan mata berbinar, mulai ragu.

 

"Nggak mau, Ciin?" Angel Sotong memandangku sinis.

 

Tiara menggeleng. Menolak tanpa kata.

 

 "Nggak apa-apa. Eike masih bisa kasi tunjuk mesin kedua." Angel berjalan lagi beberapa langkah ke depan. Kami berdua tetap mengikuti.

 

"Ini keluaran terbaru di jaman millenialll." Lidah si Angel menjulur keluar. Persis Kadal Tunisia.

 

"Apa kehebatannya?" Tiara sungguh bersemangat.

 

"Mesin cuci merek Gorilla Ngebul ini bisa juga berfungsi sebagai ...."

 

"Kulkas?" Bisa-bisanya Tiara shock lagi, setelah melihat Angel membuka pintu di bagian kiri mesin cuci.

 

"Seratyuus! So, kalau yei nanti pas nyuci terus haus, nggak usah ke mana-mana. Cukup buka pintunya dan ambil semua minuman yang sudah yei dinginkan." Angel mengangkat tangan seolah menang.

 

"Mantap!" Tiara ikut-ikutan mengangkat tangan.

 

"Terus kulkas yang di rumah buat apa? Dijadikan lemari baju?" Aku komen dengan nada menyindir.

 

"Eh, iya juga ya, Bang. Kita kan udah punya kulkas. Empat pintu lagi."

 

"Empat pintu, Ciin?" Mata Angel membulat.

 

"Ho-oh. Pintu kanan, pintu kiri, pintu depan, sama pintu darurat."

 

"Aje gile, Ciin!" decak Angel.

 

"Ada yang lain lagi, nggak? Kalo nggak, kita balik, nih," ancamku.

 

"Eits, nanti dulu Alejandro. Eike masih punya satu barang yang yei berdua nggak bakal komplain."

  

Kami bertiga menyusuri lorong sebelah.

 

"Ini adalah penemuan termutakhir abad ini!" Suara Angel membahana dalam toko yang tidak ada pengunjungnya selain aku dan Tiara.

 

"Apa keunggulannya, Ngel?" Sok akrab sekali Tiara.

 

"Mesin cuci ini dilengkapi dengan sistem finger print, kamera beresolusi tinggi, serta pemutar lagu online yang akan mengupdate lagu terbaru setiap saat ketika terhubung dengan wifi. Harganya pun murah, cuma tiga puluh lima juta."

 

"Waaaah!" Tiara terpesona dengan presentasi si Angel Sotong. Aku tahu, sebab lubang hidung sebelah kirinya lebih kembang dari sebelah kanan.

 

"Tiga puluh lima juta kau kata 'cuma'?" Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Ajib-ajib-an.

 

"Ini aja, Bang. Bisa buat tik-tok-an." Tiara menggoyang-goyangkan badanku. Dia mulai merayu dan memelas.

 

Angel tersenyum tipis. Mungkin mengira kemenangan sudah ada di tangannya.

 

"Tik-tok-an? No ...! Jangan harap Abang belikan kalo gitu. Mana mungkin Abang rela Adek joget sana, joget sini, nampak bentuk badan, bentuk kaki, dan segala yang berbentuk lainnya. Adek rekam, lalu di-upload. Dilihat oleh orang ramai. Mampos Abang ditarik sama yang jaga neraka, Dek."

 

Tiara Diam membisu. Dia menunduk, mungkin memandang sepatuku yang berwarna biru abu-abu.

 

"Beli barang biar sesuai dengan keperluan kita," sambungku menasihatinya.

 

"Iyalah, Bang," jawab Tiara lemah.

 

"Mesin cuci biasa kau nggak ada jual, kah, Sotong ... eh, Angel?"

 

"Ada, sih. Tapi, cuma bisa nyuci sama ngeringin aja, Ciin."

 

 "Itulah yang kami cari. Mana barangnya?"

 

"Itu!" Angel menunjuk mesin cuci besar di tepi dinding dengan bibirnya.

 

"Berapa harganya?"

 

"Itu empat jetong."

 

"Mahal! Kau nak jualan atau nak merampok?"

 

"Emang harganya segitu, Ciin."

 

"Otak kau dimakan kuman! Aku tau lah ... mesin cuci berlogo Kecoa Bunting itu nggak mahal. Palingan satu setengah. Aku dulu yang nelli-nya pas barang diangkut keluar kapal!" Suaraku naik dua oktaf.

 

"Apaan? Itu harga modalnya aja satu delapan ya, Ciin!" Urat leher si sotong mulai bermunculan. Banyak dan besar-besar. Sepertinya dia farises di leher.

 

"Ya udah, aku beli satu sembilan!" Wajahku mulai menegang.

 

"Oh, nggak bisa Ciin!" Angel tak kalah tinggi suaranya. Boleh kali kami berdua nyanyi duet sesekali.

 

"Satu tujuh!"

 

"Nehi ya, bo!"

 

"Satu enam! Kalo nggak mau, kau kusunat!" Kuulurkan tangan dengan wajah tetap menegang.

 

"Ok! Deal!" Angel menyambut uluran tanganku dengan wajah sok seram. Tapi, gagal karena bulu hidungnya offside dan melambai-lambai.

 

 

Related chapters

  • Katanya, Aku Pelit   Bangkrut

    Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Tiara Memanfaatkanku

    Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan."Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku.Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh."Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku.Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam."Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Transfer

    Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli.Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami.Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh ....Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What?"Biar Rere yang bayar."Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Lemari Baru

    Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita denganbodyaduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?!Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Barisan Para Mantan

    Keterlaluan Tiara, meriang seharian aku dibuatnya. Duit hilang bikin makan pun tak kenyang. Maksudnya, tak kenyang kalo cuma sepiring.Untuk mengobati rasa kecewa, esoknya aku memilih untuk menenangkan diri di warkop Kak Limah. Terlihat Angga, Adit, dan Andi duduk menatap ponsel. Sepertinya mereka sibuk push rank. Sedangkan Yosi sedang duduk di ayunan. Kuhampiri, lalu menyapanya dan bertanya mengapa dia tak masuk kerja."Hari ini off," jawab lelaki yang tingginya sama dengan pohon pisang di kebunku itu. Tapi, sebentar aja aku di sini. Nungguin istri dan adik aku belanja."Dulu, adik Yosi yang bernama Citra pernah mau kujadikan cem-ceman, tapi Yosi tak setuju."Tiara gimana?" lanjutnya."Itulah, kesal aku dibuatnya, masak duitku ....""Bukan itu!" potong Yosi. "Maksud aku, udah ada tanda-tanda berisi belu

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Senandungan Kuntilanak

    Malam datang bersamaan dengan gelap yang menghapus terang. Ia kelam tanpa kawan karena bulan pula disembunyikan awan, sedangkan bintang beramai-ramai pergi arisan.Aku duduk melamun, menyesalkan uangku yang kemarin waktu telah terbang melayang. Meskipun sebenarnya uang fee hasil jadi makelar tanah telah masuk, tapi jumlah yang hilang terlalu besar. Harusnya lebih banyak lagi uangku jika tak diambil Tiara."Abang nggak makan?" tanya Tiara."Malas," jawabku asal-asalan."Sekalian diet aja, Bang. Kempesin, tuh, perut yang udah ngebelendung kayak balon .""Hmmm.""Adek tidur duluan ya.""Hmmm.""Kalo lapar, makanan di bawah tudung saji. Adek ada masak ayam goreng strawberry, sambal hati yang tersakiti, telur puyuh asam manis kehidupa

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Tiara Ngajakin Jalan

    Siang menjelang sore, aku duduk bersama Adit dan Angga di warkop Kak Limah. Dari jauh, terlihat sesosok laki-laki berjalan kemari. Dia adalah Man. Mantan playboy cap kucing yang pernah mengendorse obat kurap merek Godzilla Ngidam."Oooiii!" Man yang baru tiba menyapa aku, Adit, dan Angga.Kami menjawab serentak. "Ooi!""Bantu aku dong," katanya dengan muka sedih yang dibuat-buat--aku sudah hapal dengan kelakuannya"Bantu apaan?" tanyaku.Angga dan Adit bergeser duduk agak menjauh, berpura-pura sibuk menyusun lego. Padahal, mereka malas dengan bau badan Man yang menyengat seperti terasi baru dijemur."Bini aku minta dicarikan mangga muda," jawabnya kemudian."Lha, di pasar kan banyak. Ada yang mentah, ada juga yang masak.""Tau. Tapi, b

    Last Updated : 2021-07-16
  • Katanya, Aku Pelit   Ajakan Pulang Kampung

    Sesuai keinginan Tiara, hari ini aku mengajaknya jalan-jalan. Walau hanya keliling sekitaran Pontianak dulu, honeymoon-nya nanti saja. Tapi, itu sudah membuatnya senang. Dari spion kanan, kupandangi senyum tak lekang dari wajah orientalnya."Ke Korem, yuk, Bang." Tiara yang sedang duduk di jok belakang merayu lagi."Sorean dikit, Dek. Kalo sekarang, belum ramai. Perut Abang juga udah lapar. Balik dulu, ya.""Lho, kenapa balik? Beli mie tiaw aja. Nggak mahal, kok."Aku berpikir sejenak. Sepertinya ide Tiara boleh juga. Lama sudah aku tidak makan mie tiaw goreng. Rindu juga akan sensasi mie putih, jeroan, dan kecap yang bercampur jadi satu. "Oke ... tapi, nanti adek yang bayar.""Adek lupa bawa dompet, Bang."Alasan. Dia pasti sengaja. Cewek kalo jalan kan selalu bawa dompet. Kok bisa-bisanya Tiara tidak bawa.

    Last Updated : 2021-07-16

Latest chapter

  • Katanya, Aku Pelit   Sabil

    Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela

  • Katanya, Aku Pelit   Makan Daging

    "Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik

  • Katanya, Aku Pelit   Adit dan Angga

    Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."

  • Katanya, Aku Pelit   Malam Pertama

    "Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha

  • Katanya, Aku Pelit   Awal Perjumpaan

    Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak

  • Katanya, Aku Pelit   Martabak

    Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela

  • Katanya, Aku Pelit   Nikahan Adit

    Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati?Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan."Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.

  • Katanya, Aku Pelit   Sakit Hatiku

    Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja.Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku."Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku.Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana."Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur.Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?""Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara)."Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering

  • Katanya, Aku Pelit   Pengakuan Renata

    Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong."Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi."Apaan?" Aku melepaskan kacamata."Pem-

DMCA.com Protection Status