POV Arum Samar-samar kudengar suara memanggil namaku. Bau khas semriwing merangsek ke indera penciuman ini, rasa hangat cenderung panas kurasakan di bagian telapak kaki. Udara sejuk seperti di tiupkan tepat di kedua lubang hidungku. "Rum, Arum." Semakin jelas suara itu memanggil. Mata ini berat sekali untuk dibuka, Ya Robbi, ada apa denganku? Lambat laun, mata ini perlahan terbuka. "Alhamdulillah ... sadar akhirnya," Terdengar ibuku berucap syukur. "Bu ... kepalaku pusing," lirihku. "Iya, kamu tadi pingsan, Nduk." Ibu membelai wajahku. "Dek, kamu nggak papa, 'kan? Jangan bikin Mas khawatir, dong!" Mas Rahman memelas. Sedikit kuusahakan menarik bibir membentuk lengkungan senyum, aku mengangguk. "Udah sadar, Mbak nya?" Kini gantian suara orang lain yang tak kukenal bertanya. Oh, iya ... lupa, ini 'kan masih di bidan praktek. Mataku mengerling melihat sekitar. Aku perlahan duduk, Mas Rahman sigap membantuku rasanya ... nggak ingin berlama-lama disini. "Gimana, Mbak ... apa yang
Pagi ini, karena sakit perut yang tak tertahankan, serta muntah setiap kali ada makanan atau minuman masuk, akhirnya aku dibawa ke klinik yang berada kurang lebih lima kilometer dari rumah. Sampai di klinik, aku yang lemas langsung di infus, serta di pasang selang oksigen, perutku sakit nggak karuan. Lambat laun, sedikit berkurang rasa mual ini setelah dua botol infus masuk ke tubuhku. "Mbak, masih mual enggak?" Seorang perawat menanyaiku. Kepalaku menggeleng, sambil tetap meringkuk di bed pasien. Ibu dan Mbak Anisa menemaniku disini. "Kalo udah nggak mual, coba makan sedikit-sedikit, Mbak ... biar lambungnya ke isi. Ini minum obat maag dulu. Tolong dibantu, ya, Bu ... minum obat ini dulu, nanti selang sepuluh menit, coba makan sedikit-sedikit. Maag itu harus telaten ngisi perut," terangnya memberi arahan. "Iya, Mbak ... nanti diusahain makan, dikit-dikit," sahut Ibuku. Ngomong mah enak, Mbak ... makan, makan, nggak ngerasain sih kamu. Gerutu ku dalam hati. Semoga kamu nggak ng
Rasanya nggak enak banget pas sakit, nggak bisa istirahat enak. "Udahlah, Dek ... jangan mikirin orang lain terus, ikirin dulu kesehatanmu, Tio udah diurus ibu sama bapak dirumah. Kamu istirahat aja, jangan mikir hal aneh-aneh!" Mas Rahman akhirnya malah ngomelin aku. Sebel deh, udah sakit malah diomelin. "Tuh, Mbak ... denger kata suaminya, ya!" Suster pun ikutan nimbrung. Udah, deh ... mainya keroyokan aku pasti kalah. Lebih baik istirahat aja. Perlahan rasa mual hilang, mungkin ini reaksi obat yang disuntikkan barusan. Suster dan Mbak cantik yang duduk di kursi khusus penunggu pasien pun pergi. Tinggal aku dan Mas Rahman. Agak reda sakitnya, aku memilih tidur saja. "Dek, makan dulu, dikit ... aja!" bujuk suamiku. Mau nggak mau, aku nurut apa kata suamiku. Akhirnya kubuka mulut, menyantap dua suap bubur yang tadi sempat di belikan Mbak Anisa. "Udah, aku mau tidur." Kembali ku posisikan tubuhku agar lebih nyaman. Siang hari, kurasakan ruangan ini semakin berisik. Ternyata p
Mata kakakku mendelik seketika. "Mas, udah! Jangan diperpanjang!" cegahku saat melihat Mas Ari hendak menghampiri ke bilik sebelah. "Tapi, Rum!" protesnya. Mbak Dewi memegangi tanganku yang diperban. "Kok bisa gini, sih? Udah, pindah ruangan aja! Biar aku yang urus!" Mbak Dewi pergi dari sini. Suster masih berusaha mencari urat yang pas untuk pasang infus. Mas Ari, dan Mbak Anisa-istri Mas Ari mendekat. "Udah makan belum?" Mbak Anisa menatapku sendu. "Udah, dikit tapi." Mas Rahman yang menjawab. Suster satunya datang membawa alat infus selang dan sepertinya jarum dalam sebuah kotak kecil. "Permisi, mau infus disini atau di ruangan sana? Ini sedang persiapan pindah ruangan. Itu bed pasien kelas satu udah otw kesini," terang si Suster. "Nanti ajalah! Diruangan sana!" Sahut Mas Ari. Kakakku langsung keluar. Suara khas bed pasien di dorong terdengar masuk ke ruangan ini. "Permisi!" terdengar suara sedikit teriak. "Jenguk pasien apa demo?!" Kalimat itu kuyakin ditujukan pada pe
Diruangan ini, aku lebih nyaman. Ruangan ini hanya diperuntukkan untuk seorang pasien saja. Nggak seperti di ruangan yang tadi. Ditemani kedua kakak ipar, serta kakak kandungku, aku istirahat nyaman. Pikiranku menerawang membuatku susah lelap. Perihnya maag yang kuderita nyatanya bisa menambah derita ini. Yaa Robb, kenapa nggak dicabut saja nyawa ini, agar aku bebas dari siksa dunia dan bisa bertemu dengan Yazid. Dunia ini teramat kejam padaku, sadis, dan tega. "Arum, kenapa? Apa yang kamu pikirin?" Mbak Dewi mengusap lembut tanganku. "Jangan banyak pikiran, biar lekas sembuh," Mbak Anisa mengingatkan. Kedua iparku ini seakan tahu aku banyak pikiran. Rasanya hidupku ini selalu saja diliputi kesialan saja, banyak kejadian yang menyudutkan serta membuatku terpuruk. "Mbak, aku capek, Mbak," lidah ini kelu ingin melanjutkan. "Ssssst, nggak boleh ngomong gitu. Sabar, cobaan manusia beda-beda," Mbak Anisa kembali mengingatkan. "Iya, Rum. Beda orang, beda ujian hidupnya. Lain kamu, l
Hatiku sakit' rasanya mendapati kenyataan bahwa ibu mertua lebih memihak Handoyo dan Meri. Apa yang membuat ibu begini? Saat Hadi menjadi korban Handoyo, laki-laki bangs*t itu dilepaskan oleh ibu, bahkan kami nggak boleh lapor polisi hingga membuat Tiara kecewa. Ibu hanya meminta Handoyo tanggung jawab penuh biaya pengobatan Hadi. Meskipun lewat rejeki dariku laki-laki jahanam itu membayar biaya pengobatan Hadi. Tapi, tetap saja dia bebas hukum. Aku sudah diam. Apakah kali ini aku harus diam? Aku tergugu menyesali keputusan Ibu. Kupuaskan tangisan ini, hingga suaraku serak, bahkan mataku terasa sembab. Aku benci ibu, aku benci. Aku benci sikap pilih kasihmu, Bu! Mereka yang kerap acuh, bahkan tak peduli padamu, malah kau bela terus. Hadi, Tiara, aku, suamiku, yang nyatanya sayang padamu malah sering engkau kecewakan. Ibu ... ada apa sebenarnya? Apa maksud dari semuanya ini? "Udah, Dek ... udah nangisnya!" Mas Rahman mengelus kepalaku yang dibalut jilbab. Entahlah, Mas ... hatiku
Kening Suster kulihat mengernyit. Sepertinya si Suster ini aga marah. "Sudah dibilang, pasien jangan mikir berat dulu, masih aja ngeyel! Mbak, mau sembuh 'kan?" Suster ini menatapku dalam. Aku mengangguk tanpa suara menghirup oksigen sebanyak yang kubisa. "Kalo Mbak mau sembuh, tolong ... ikuti saran dokter, jangan mikir spaneng. Mas nya juga, jangan pancing emosi istrinya dong!" Si Suster ngomel. "Tenangkan pikirannya, nanti setengah jam lagi saya cek. Saya harap, bisa lepas oksigen. Oke?" Si Suster menatapku lagi. "Saya permisi dulu!" Pamitnya lalu pergi. Mataku terpejam sejenak, kuhirup oksigen ini sambil beristighfar agar hatiku lebih tenang. "Maafin ibu, Rum." Tanganku terasa digenggam. Mataku terbuka, aku mengangguk. Andai saja tidak kau bahas iparku itu, andai saja kau tak datang, Bu ... aku bisa lebih tenang. Ibu, ataupun Emak, yang telah melahirkan suamiku. Entahlah, semanjak engkau berpihak pada Handoyo, hatiku bagai dihujani anak panah, sakit, perih, tiada terkira. "
Laa haula walaaquwata illabillah ... kapan ujian ini berakhir? Ya Allah, aku nggak kuat, ya Allah! Tangisku sesegukan. Siapa yang telah tega melakukan semua ini? "Baiklah, kami berikan waktu sampai Bu Arumi sehat. Kami tunggu satu Minggu dari sekarang, jika mangkir, kami akan jemput paksa!" Tegas Pak polisi itu. "Permisi!" Kedua polisi itu pergi. Surat panggilan pemeriksaan dari polisi ditangan suamiku. Aku tersedu menangis meratapi nasib yang Masya Allah menyakitkan. "Mas, apa lagi ini, Mas?!" Aku tergugu. "Sabar, sabar, Dek! Nanti kita cari solusinya bareng-bareng, tenang! Tenang!" Mas Rahman mendekapku. Ya Allah, rasanya ingin sekali kembali ke pangkuan-Mu saat ini juga ... bergabung bersama almarhum putraku. Tapi, tunggu ... apakah Yazid akan bahagia jika melihat ibunya lemah? Pasti dia disana juga sedih. Baiklah, akan ku ladeni semua ini. Siapapun yang sudah bermain api denganku, kupastikan dia terbakar hangus! Kuseka air mata ini. Berhenti manangis lalu kuurai pelukan sua
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "