Shane menarik tangan Lala yang hendak menerobos kamar Rose. Pasalnya wanita yang sudah pingsan sejak satu jam yang lalu sama sekali tidak memberikan pergerakkan sedikitpun.
"Jangan masuk dulu, dia sedang menenangkan diri. Aku yakin kau bakal di diami."
"Tapi dia baik-baik saja 'kan?"
Shane memijat pangkal hidungnya. Pusing. "Tidak bisa dikatakan baik. Satu-satunya orang yang dibutuhkan hanya Vee."
"Kau bercanda." Lala tersungut-sungut. "Vee hanya akan menambah Rose semakin tertekan."
Rose memang sering mengatakan jika ingin berpisah, bahkan sudah terealisasiakan. Tapi sebagai Shane yang tahu sejarah keduanya, beranggapan jika Vee disini, Rose pasti akan lebih tenang.
Benar saja, secara mendadak sosok Vee menerobos masuk. "Dimana kamar Rose?"
"Disana." Jawab Shane tanpa sedikitpun ragu.
Lagi, Shane menarik tangan Lala yang akan berlari mengejar Vee, berniat menggagalkan rencana pria itu untuk masuk ke kamar Rose.
Huwaaaa, akhirnya baikan juga.. Gimana nih? Masih mau lanjut yang lebih seru lagi?
Lily merasa pemandangan di depannya adalah hal yang sangat wajar, namun, dalam konteks tontonan anak-anak, jelas saja gadis itu harus menghindar. Tapi mau bagaimana jika yang beradegan seperti itu adalah orang tuanya sendiri, Lily tak harus berpaling. Terlebih. Lily sangat jelas melihat saat ibunya mendorong ayahnya untuk menjauh dengan spontan. Kasian. Lain kali Lily akan permisi, tidak main nyelonong seperti ini. “Ups. Sorry. Tapi Lily tetap akan masuk lho." ucapnya terlewat santai. "Lily sudah bilang, makanya cepat menikah." imbuhnya. Anaknya ini memang sudah kebal dengan kelakuan orang tuanya, atau mungkin terlalu terbiasa, atau juga memang itu yang diharapkannya. Hanya Lily yang tahu. “Mom, dad. Adek minta maaf. Untuk hal yang terjadi hari ini. Tapi jangan hukum Lily." Pintu menyibak lagi sebelum Rose berhasil menanggapi Lily. “Leon yang memaksa mom, dad. Maafkan Leon juga.”
Terkadang Vee tidak begitu memahami bagaimana ia nampak begitu mengesankan dengan ide cemerlang. Disaat genting seperti ini, ia mampu memutuskan perkara yang tak terpikirkan oleh orang-orang disekitarnya, meskipun, ya meskipun Leon putranya begitu tega mengolok dan mengatakan jika rencananya bodoh pun berbahaya. “Jam, Jeffry kenapa lama sekali.” Vee menggerutu di dalam ruangannya, mengantongi banyak rencana yang sangat tidak sabar untuk diutarakan. Seperti janji tempo hari, saat ini Vee menunggu kedatangan Jeffry beserta Fernandez untuk melakukan rencana yang sudah ia susun dengan matang. James memutus pandangan pada jam yang melingkar di pergelangan tangan, titik merah berjalan di dalam benda itu. “Sebentar lagi, mereka baru
Hari minggu, Vee bangun dari tidurnya dan langsung memberi tanda silang sebuah tanggal di kalender meja dekat tempat tidurnya. “Beberapa hari lagi.” Ia berguman.Setelah tempo hari mendapat kesepakatan final bersama Jeffry dan Fernandez, Vee yang sebenarnya sudah menjalani misi kerja sama dengan Folltress sedikit setres.Rose.Wanita itu, sudah lewat berapa hari Vee belum juga memberi jawaban ajakan nikah.Kenapa Rose mengatakan itu setelah Vee nekat membuat rencana untuk menghancurkan Foltress?Kenapa sebelumnya wanita itu ngotot mengajukan perpisahan kalau a
Langit sore begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya yang penuh kelabu dan mendung, semburat warna orange yang indah membuat Rose semangat untuk mendapatkan keberuntungan baik. Rose begitu tegang, mengusap peluh di kening sebelum berkonsentrasi lagi untuk memasukkan bola ke hole yang ada di depannya. Untuk pertama kalinya, Rose berhasil memasukkan bola semenjak beberapa hari menekuni bidang olahraga sederhana ini. Ia sangat senang meski enggan mengakui kepada Vee yang sejak pertama Rose tahu begitu sombong karena sudah jago. Apakah Rose tidak bekerja? Jawabannya, iya.
“Ini kunci kartu kamarnya.” Vee menyerahkan kartu ke tangan Rose saat masih di lobby, dan Rose menatap kartu itu sejenak.“Kita tidak sekamar?” Tanya Rose memastikan.Vee menggeleng meski kerlingan matanya begitu nakal. Kalau ditanya begitu, tentu saja pria itu ingin, tapi untuk menghindari hal yang iya-iya, Vee tetap harus waspada, saat ini yang berbahaya sebenarnya bukan dirinya saja, melainkan Rose juga, malam hangat tidak bisa dihindari begitu saja.Rose mengerutkan kening sembari tetap berjalan disamping Vee. “Kamu udah nggak cinta sama aku?” tanyanya lagi.Ya kan? Pertanyaan macam apa itu.
🔞NOT CHILDREN AREA❌ *** Normalnya, jika dihadapkan Rose yang begitu agresif, Vee harusnya senang-senang saja. Apalagi dalam keadaan masih cinta, sudah sewajarnya jika keduanya melakukan hal yang iya-iya. Mungkin, itu memang keinginan Rose, tapi tidak untuk Vee. Kendati hal semacam itu sangat diminati, dan hasrat tak bisa berbohong berada diujung tertinggi, kendala terjadi saat Vee masih harus mengurusi urusan yang harus dirahasiakan untuk dirinya sendiri. Dan sialnya. Vee tidak bisa terus menahan lagi jika Rose terus memandanginya dengan wajah memelas, persis seperti kucing manja minta dinina bobokkan. “Perasaan sebelum-sebelumnya kamu nolak, se
Hari minggu. Rose masih sangat ingat jika dia tinggal sendirian karena Leon dan Lily ikut dengan ayahnya. Rose juga ingat di dalam rumah ini hanya ditemani mbak Asih dan satu penjaga rumah saja, pak Anton. Jika biasanya pagi begini tak pernah ada keributan sama sekali, berbeda dengan hari ini. Disaat Rose baru saja membuka mata, samar-samar terdengar beberapa orang bercengkrama di lantai bawah. “Lily marah, Lily nggak mau tinggal bareng daddy. Lily mau sama mommy.” “Oh, Tuhan.” Rose bangkit mendengar pekikan Lily yang sampai terdengar jelas ditelinganya. Lantas, tak mau menunggu lama, dengan muka bare facenya atau mungkin masih terdapat kotoran mata juga, duh, Rose tidak perduli
Di dalam ruangan yang di dominasi warna hitam dan putih, anggota Deredolent tengah berkumpul. Jika sebelumnya tak ada yang tahu siapa saja dalam kelompok itu, maka jawabannya ini; Leon adalah ketua dengan Dilan dan Haikal sebagai anggota tetap. Leon, menetapkan jemari untuk bermain komputer sejak piyik, jika untuk manusia normal atau sepengetahuan menurut akal, hal seperti ini tampak mustahil, bayangkan saja, mana bisa dipercaya jika bocah berusia sembilan tahun itu sangat ahli dalam bidang ini, hackers kelas atas. Leon melirik Haikal yang tersumpal headphone hitam sembari tangan pria muda itu mengutak-atik komputer di depannya. Meski Haikal sudah memutuskan berhenti menjadi hacker sesaat sebelum pulang ke Indonesia, namun keputusan bulat itu ia lempar jauh-jauh, karen