Aisyah sama sekali tidak menggubris ku, dia bahkan pergi begitu saja tanpa menoleh ataupun pamit padaku. Ya Rabb apa lagi ini, apa kesalahanku padanya? karena seingat ku kemarin saja waktu pernikahannya kami masih baik-baik saja, bahkan waktu aku mau pamit pulang saja Aisyah seolah keberatan dan memintaku untuk mengajak Ibu juga Bang Gagas sekalian menginap di hotel tempat dia dan keluarga besar suaminya mengadakan acara.Tapi dalam jeda waktu beberapa jam saja dia langsung berubah seolah tak mengenalku, aku bahkan serasa asing dengannya. Aisyah yang paling perhatian, Aisyah yang paling manja padaku, sahabat dalam suka dan duka kini memalingkan muka dariku, entah karena apa.Apakah mungkin ini ada hubungannya dengan, Mas Bimo? atau mungkin Aisyah tahu sesuatu tentang hubunganku dengan Mas Bimo dulu dan dia akhirnya cemburu saat ini? Ya Allah aku harus meluruskan ini, tidak bisa kubiarkan persahabatanku hancur begitu saja dengan Aisyah, dia bukan hanya sahabat bagiku tapi juga seoran
""Maaf saya tidak sengaja menabrak An—"Mulutku langsung tertutup tiba-tiba terkunci rapat seolah tidak dapat melanjutkan perkataan, ketika kulihat orang yang baru saja ku tabrak ..."Dina? kenapa kamu berada di rumah sakit, Din? siapa yang sakit, keluargamu atau malah kamu sendiri yang sakit? sakit apa, Dina?"Rentetan pertanyaan keluar dari mulut laki-laki yang saat ini telah menjadi manusia yang ku blacklist dari hatiku, dia Mas Bimo yang kulihat kini tengah menatapku, mencari jawaban untuk setiap pertanyaan yang dilontarkannya barusan.Ku alihkan pandangan pada wanita yang berdiri mematung disebelahnya, tanpa ingin menyapa atau menoleh kearahku Aisyah berdiri mematung menatap kearah lain, seolah menolak bersitatap denganku saat ini.Menyadari keadaan yang terasa canggung, Mas Bimo kemudian berdiri dari jongkoknya setelah mungkin teringat bahwa kini kami bukanlah siapa-siapa, bahwa kini ada seseorang di sisinya yang harus ia hargai keberadaannya, sebagai satu-satunya wanita yang b
"Mas! Cepat bawa wanita itu dari rumah ini, buang saja di jalanan sana!" Bentak wanita yang tadi kudengar bernama Lisa."Halah biarkan saja dia tergeletak disitu,Lis. Aku malas harus mengangkat tubuhnya!" jawab Denis terdengar seperti menjauh, mungkin laki-laki itu pergi menuju ruangan lain di rumahnnya.'Ck ... dasar wanita penyakitan, sudah mau mati saja masih menyusahkan orang lain!' Lisa berdecak sendiri kesal, kuintip dari jendela wanita itu menendang bagian perut Kak Inggit cukup keras, namun yang aku heran tak ada respon sama sekali dari kakak iparku itu.Apakah Kak Inggit pingsan atau bahkan sudah lewat? Ya Allah pikran buruk terus berputar di benakku, entah kejadian apa yang akan Kak Inggit alami sekarang.Bergegas aku kembali ke halaman depan rumah, aku takut Denis memergoki aku karena motorku sudah bertengger di halaman depan rumah mereka.Ku ulangi mengucap salam setelah tahu jika dirumah itu ternyata berpenghuni, namun aku tetap berjaga-jaga menyalakan rekaman vidio didal
"Lalu sekarang bagaimana, Dok?" tanyaku pada dokter sepuh, yang kulihat begitu berwibawa."Saat ini kita hanya bisa berusaha memberikan obat, untuk menekan agar virus-virus itu tidak cepat menyebar. Kita juga bisa memberikan support kepada pasien, agar bisa bersemangat untuk sembuh walaupun kemungkinannya kecil, tapi tak ada yang tidak mungkin bagi Allah Azawajala." Tutur Dokter yang menangani kak Inggit.Setelah melihat kondisi Kak Inggit sebentar tadi, aku langsung berbalik pulang. Namun perhatianku teralihkan ketika kembali melihat pasangan sahabatku yang masih setia dirumah sakit ini. Sedang apa sebenarnya Aisyah juga Mas Bimo di sini? apakah mereka menemani kerabatnya yang sedang sakit, kenapa bisa selama ini mereka disini jika hanya untuk berobat. Lagi pula jika mereka berobat siapa yang sakit, Mas Bimo atau Aisyah? karena kulihat keduanya seperti baik-baik saja, tak terlihat tengah mengidap suatu penyakit apapun.Kupalingkan muka, ketika tak sengaja aku terpergok oleh Mas Bim
"Abang? sedang apa, Abang dikamarku?" Ku alihkan pertanyaan Bang Gagas padaku barusan, sambil ku rebut secarik kertas hasil tes yang diberikan dokter tadi, semoga saja perhatian Bang Gagas berhasil teralihkan."Tadinya ada yang mau abang bicarakan denganmu, Dek. Tapi tidak sengaja abang melihat kertas ini di atas anakas, jelaskan padaku hasil tes siapa itu!" tanya Bang Gagas penuh selidik. Ternyata aku tak bisa mengalihkan perhatiannya, Abangku sudah tertuju pada isi kertas itu, pasti sekarang dalam pikirannya tengah bertanya-tanya siapa yang dimaksud dalam kertas itu. Kelihatannya, dia tidak membaca ada nama pasiennya tertulis disana, sepertinya bang gagas hanya tertuju pada hasil tes tanpa melihat nama pasien didalamnya."Jawab, Dek! Punya siapa itu?""I-itu milik Kak Inggit, Bang." Akhirnya mau tak mau aku pun harus jujur pada Bang Gagas. Tidak bisa aku menyembunyikan terlalu lama darinya, karena cepat atau lambat nanti dia pun akan mengetahuinya juga.Seketika Bang Gagas terdiam
"Oalah kamu, Uti! Sedang apa di sini, periksa atau jenguk yang sakit?" tanyaku, ketika aku menoleh pada sosok wanita yang menawarkan diri menjaga Jingga, sementara aku dan ibu masuk menjenguk Kak Inggit.Uti tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia hanya memberikan senyum simpul padaku lalu mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu takzim.Kemudian Uti berbalik pada Bang Gagas lalu mengatupkan kedua tangannya didada, sedetik kemudian ia tundukan kembali pandangannya dari kakak laki-lakiku."Siapa to, Nduk?" tanya Ibu penasaran, sambil mengelus lembut lengan Uti temanku."Saya Putry Yasmin, Bu'e. Temannya Dina di kampus." Jawab Uti hangat."Oalah pantesan, kok tidak segan-segan menawarkan diri menjaga cucu ibu. Rupanya kalian saling kenal, Nduk."Uti tersenyum seraya menganggukkan kepalanya hormat, diraihnya Jingga dari stroller bayi, lalu ditimang penuh kasih. Anakku itu terlihat sangat nyaman dalam gendongan wanita yang baru kali ini ditemuinya, seolah tengah berada dalam dekapan ha
POV InggitNamaku Inggit Widuri, seorang gadis kampung yang hidup serba kekurangan, suamiku Denis seorang penjudi ulung. Setiap hari tak habisnya dia berjudi, bahkan terkadang sampai menjadikan aku sebagai taruhann judinya.Mungkin aku bodoh karena masih saja mau hidup bersamanya, namun apa boleh buat rasa cintaku begitu besar terhadap laki-laki yang sudah menjadi kekasihku sejak masa putih abu itu, walaupun perlakuannya padaku terkadang begitu semena-mena dan seenaknya sendiri.Suatu hari saat pulang belanja dari pasar, seorang laki-laki tidak sengaja menabrak ku sampai semua belanjaanku jatuh berhamburan di tanah. Dengan begitu menyesal laki-laki itu meminta maaf, karena sudah membuat semua belanjaan ku kotor oleh lumpur karena hari itu jalanan becek karena habis hujan.Sebagai permintaan maafnya, laki-laki itu membawaku ke sebuah supermarket dan mengganti belanjaan yang dia jatuhkan dengan barang-barang yang jauh lebih bagus dan berkualitas, tak tanggung-tanggung dia membayari bel
"Bu, Dina, kalian pindah kamarnya dibelakang, ya! Ibu dan bapakku mau datang berkunjung ke sini!" Suatu hari kukatakan pada mereka, aku pindahkan adik serta Ibu mertuaku ke kamar belakang yang katanya dulu dibangun Mas Gagas untuk art, namun Ibu rupanya tidak suka memakai art karena katanya beliau masih bisa mengurus semua urusan rumah tangga sendiri.Aku bersorak mengetahui hal itu, bagus malah karena tidak perlu menghambur-hamburkan uang untuk membayar gaji pembantu rumah tangga, kan ada Ibu dan adik ipar yang bisa aku suruh untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tatkala Mas Gagas berlayar.Hidupku terasa indah, kini mempunyai suami dua, rumah layak tidak mengontrak seperti dulu, tidak perlu lagi menjadi piala bergilir karena Mas Denia kalah berjudi, uang pegangan selalu ada, kalau habis tinggal telpon suamiku dengan alasan untuk biaya Ibu atau biaya kuliah Dina pasti langsung ditransfer saat itu juga.Bahkan dari hasil memoroti uang Mas Gagas, aku bisa membelikan Mas Denis sebuah
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri