"K-kamu ... kamu sudah berani memukulku, Mas?" Ucapnya dengan mata berkaca-kaca, sambil memegang pipinya yang tadi terkena tamparanku."Makanya kalau aku bicara didengar jangan dianggap hanya angin lalu, aku ini suamimu bukan benda tembus pandang yang bisa kamu lewati begitu saja, tanpa kamu hiraukan sama sekali!" Bentakku tak iba melihat air mata buaya nya yang mulai menetes."Ada apa ini, kenapa kalian malah berlanjut ribut-ribut? ya ampun, Nak, Pipimu memerah apakah ...," Bu Arum menghambur menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan antara aku dan Inggit yang malah semakin menjadi.Sebelah tangan wanita yang bergelar ibu mertuaku itu, mengelus pipi Inggit tanpa meneruskan perkataannya dan sebelah tangannya lagi menutup mulutnya yang terbuka, mungkin merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Aku yang biasanya terlihat begitu mencintai Inggit, aku yang begitu bucin terhadap anaknya ini, tidak ia duga berani melakukan hal kasar kepada putri kesayangannya."K-k
POV DinaBetapa terkejutnya aku ketika mendapati Bang Gagas lah yang ternyata sedang mengobrol dengan Aisyah, sejenak aku bergeming menatapnya penuh tanya, mau apa dia datang kesini, apakah masih belum puas menyakiti aku juga ibu, atau mungkin Abangku ini sudah sadar dari kesalahannya?Suara Bang Gagas yang menyapaku membuyarkan lamunanku seketika, dia memohon maaf untuk semua kesalahan yang pernah dia lakukan padaku dan juga ibu. Bang Gagas juga meminta kami untuk kembali pulang ke rumah, serasa tak percaya mendengarnya tapi itulah kuasa Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia. Akhirnya kakak laki-laki ku yang kemarin sempat tersesat itu kembali pulang, dia memohon ampun padaku juga pada ibu yang telah sedemikian rupa ia sakiti hatinya.Singkat kata ibu dan aku menyetujui untuk kembali pulang bersamanya, karena walau bagaimanapun kami tidak akan bisa terus-terusan tinggal dirumah Aisyah, apalagi minggu depan Aisyah akan melangsungkan pernikahan, setelah beberapa hari kedepan
"Kamu tega sama orang tuaku, Mas! Masa ibu sama bapak harus dempet-dempetan di kamar belkang? lagipula disana kasurnya tidak ada, hanya ada kasur lapuk yang waktu itu dipakai ibu. Nanti gimana kalau orang tuaku ketularan pemyakit gatal-gatal dari ibumu itu, Mas."Dengan lantang Kak Inggit memprotes keputusan Bang Gagas, rasanya dia tidak ingat apa yang sudah dia lakukan pada ibuku satu tahun yang lalu, ketika dia dengan masa bodohnya menempatkan kami di kamar belakang, dengan kasur lapuk yang dia mabil dari gudang untuk kami pakai, sampai ibuku akhirnya terkena penyakit kulit karena kasur itu yang sudah tidak layak pakai.Namun saat ini lantang sekali mulutnya tak menerima keputusan Bang Gagas, mentang-mentang menyangkut orang tuanya. Dia tak perduli dengan apa yang dilakukan pada ibuku dan juga aku dulu, tapi sangat perduli begitu itu menyangkut kehidupan kedua orang tuanya sendiri.Aku hanya menyunggingkan senyum mengejek ke arahnya, maaf ya Rabb jika aku berbahagia diatas penderita
"Anda sedang apa di situ, Pak Wahyu?" teriakku karena terkejut sekaligus geram mendapati mata tuanya menatap penuh na*su padaku."E-eh sabar, Nak Dina. Jangan berteriak-teriak seperti itu, bapak hanya sedang membereskan kamar ini, tapi tiba-tiba Nak Dina masuk begitu saja tanpa permisi, jadi saya tidak sempat untuk keluar malah keburu terlihat." Kilahnya tanpa rasa bersalah sama sekali."Maksud Anda bagaimana, Pak. Jadi kalau saya tidak keburu melihat Anda di situ Anda akan diam saja begitu, atau malah Anda bermaksud melakukan hal yang—" tak ku lanjutkan lagi perkataanku, rasanya begitu sesak saking kesalnya dengan tingkah lelaki tua yang bergelar ayah mertua kakak laki-laki ku ini."Sekarang keluarlah dari kamar ini, Pak. Saya akan kembali menempatinya, jangan pernah sekali-kali Bapak berani lagi masuk tanpa seijin saya!" Usirku geram.Alih-alih mematuhi perkataanku Pak Wahyu malah bergeming mematung ditempatnya berdiri, jak*nnya naik turun menelan salivanya sendiri. Matanya nyalang
"Apa sih, Mas teriak-teriak? telingaku masih normal belum bud*k, jadi tidak usah terus-terusan mengeraskan suaramu padaku!" Bentak Kak Inggit ketika pintu kamar itu dibukanya."Kamu, bukannya sadar diri tapi malah makin menjadi, Inggit! Kalau memang telingamu itu masih normal, kenapa tidak keluar saat anak itu menangis dia pasti haus, atau kamu memang sengaja berpura-pura tidak mendengarnya, iya?" Bentak balik Bang Gagas tidak mau kalah."Ya tinggal di buatin susu saja, Mas. Begitu saja kok repot!" Balas Kak Inggit, kemudian ia berbalik hendak masuk lagi ke dalam kamar.Bang Gagas dengan cekatan menahan pintu yang akan Kak Inggit tutup dengan ujung kakinya, ia lalu ikut menerobos masuk ke dalam kamar. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan aku ikut menyusulnya ke dalam kamar, betapa terkejutnya aku ketika mendapati tas yang berisi baju Ibu, sudah berantakan dengan isinya yang berserakan dilantai kamar.Benar-benar kurang ajar, tidak sopan sekali mereka. Bahkan kini dengan terang-tera
"Katakan, Nak! Apa maksud dari kata-katamu barusan, kalau Jingga bukanlah anakmu?" Ibu merangsek masuk lalu memberondong Bang Gagas dengan pertanyaan.Bang Gagas diam tak menjawab pertanyaan ibu, kakak laki-lakiku itu malah menoleh padaku memberi isyarat, agar aku membawa ibu menjauh dari mereka."Bu, yuk kita kesana saja, biarkan Abang menyekesaikan urusan rumah tangganya, sebaiknya kita jangan ikut campur." Ucapku sambil menggamit pinggang ibu, agar mau mengikutiku keluar dari kamar itu.Ibu menggeleng, lalu menatap Bang Gagas penuh selidik. "Katakan pada ibu, Nak. Bicaralah dengan jujur jangan ada yang disembunyikan."Bang Gagas malah tertunduk, dia tak berani sama sekali mengangkat wajahnya untuk menatap wanita yang telah melahirkan kami berdua itu."Lihatlah anakmu itu, Bu! Dia memfitnahku dengan mengatakan anak ini bukanlah anaknya, dia bahkan tidak sanggup menatap wajahmu, untuk sekedar menjelaskan apa yang barus aja dikatakannya." Ejek Kak Inggit, menunjuk-nunjuk wajah Bang Ga
Pukul 3 pagi aku terjaga, gegas ke kamar mandi lalu membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Kutunaikan dua rakaat, menikung seseorang disepertiga malam kusebut namanya dalam doa dan hajatku, meminta diberikan yang terbaik untuk sebuah hubungan yang baru saja berbenih, agar bisa tumbuh subur.Setah selesai berdoa juga berdzikir kuambil ponsel yang sejak kemarin sengaja ku matikan, barangkali ada pesan penting dari Mbak Dina di apotek atau dari rekan kerjaku di minimarket, karena memang kebetulan kemarin adalah jatahku libur dari dua pekerjaan part time yang kujalani.Ku scroll tak ada yang penting, hanya beberapa pesan dari group kampus. Namun aku terlonjak kaget ketika tiba-tiba ponselku malah berkedip sesaat setelah kumatikan dan hendak kusimpan.Segera kuraih kembali dan ku usap layar pipih itu, ternyata itu adalah pesan dari Mas Bimo laki-laki yang baru saja kusebut namanya dalam sujudku.("Assalamualaikum, calon bidadari surgaku. Kamu pasti sudah bangun dan sedang memintaku pad
Segera ku bereskan pekerjaanku mencuci peralatan bekas makanku juga Abang dan Ibu. Lalu ku buatkan kopi dan segelas teh hangat untuk Bu Arum dan Pak Wahyu, biarlah kali ini aku mengalah kepada orang tua, sedikit berbakti walaupun kebanyakan mereka ini menyebalkan tapi tetap mereka harus dihormati."Ini kopi hitam untuk Bapak, dan secangkir teh hangat untuk Bu Arum. Silahkan dinikmati mumpung masih panas, kalau sudah dingin tidak enak nanti. Nah ini juga ada bakwan barusan Dina goreng lagi biar lebih krispi." Silahkan dinikmati ya Pak, Bu. Dina mandi dulu mau kuliah." Kusodorkan satu nampan berisi kopi, teh dan bakwan yang masih terlihat mengepul asapnya, 'ah semoga kalian suka sesajen pagi dariku,' batinku.Bergegas aku pun naik ke lantai atas berniat untuk mandi lalu bersiap hendak berangkat ke kampus. Namun sebelum masuk ke kamar, diam-diam ku intip pasangan tua yang kini tengah saling tatap di meja makan, seolah ragu untuk menyentuh apa yang telah kusajikan untuk mereka barusan.K
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri