Rintik hujan mulai membasahi bumi, angin bertiup kencang melewati jendela yang sedikit terbuka. Aroma syahdu sangat kental mengiringi malam ini. Mas Daniel mulai mencumbui tengkuk leherku. Bisa kurasakan hasratnya kian menggelora, deru nafas mulai menggebu, kini wajahnya berada tepat didepanku.
Membuka mata, kulihat wajahnya mendekati bibirku dengan mata yang terpejam. Hati menerima segala perlakuan manisnya malam ini, namun logika memaki keras sudut hatiku. Aku menghindar saat bibir ini hampir tersentuh olehnya.Mas Daniel menatapku syahdu, kedua tangannya membingkai wajahku. Kembali menutup mata, mencoba menciumku kembali. Aku menahan gerakannya, hingga dia tersadar lalu membuka mata."Maaf .. aku tidak bisa," ucapku lirih dengan hati yang tergores perih.Mas Daniel menghela nafas, lalu merengkuh tubuh ini kedalam dekapannya."Mas ngerti ... maaf membuatmu tak nyaman," bisiknya sambil mengusap tubuhku.Mas DanBangkit dari kursi, aku berjalan keluar rumah dengan hati yang kesal luar biasa. Dari pintu rumah kulihat Paman tengah santai duduk di posnya, saat melihatku dia langsung bangkit dan menegakkan badan."Paman ..." sapaku saat mulai dekat berjalan kearahnya.Paman menatapku lurus, menunggu ucapanku selanjutnya."Awasi dua manusia itu, laporkan apa saja kegiatan mereka dirumah ini."Laki-laki bertubuh kekar itu mengangguk pasti, tersenyum miring lalu aku meninggalkannya menuju mobil. Lelah sekali rasanya jiwa dan ragaku. Masih terasa mimpi, Mas Daniel menduakanku.***ofd.Seminggu sudah berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda Mas Daniel ingin mengembalikan uangku. Apa dia lupa ingatan? Sudah tiga hari pun dia tidak menjemputku seperti biasa. Apa dia sudah lelah merebut hatiku kembali?Malam ini sengaja aku menunggunya dirumah, duduk santai didepan TV sesekali mengecek gawai membuka beberapa pesan.Ck, sial. Bahkan Sandra pun tak
"Argh ... Mas tolong aku," isaknya pilu. Matanya menatap nanar kearah suamiku.Mas Daniel diam ditempat, dia terlihat bingung harus berbuat apa."Mas ..." tangan Anitta terulur berharap, Mas Daniel menyambutnya.Sayang gayung tak bersambut, alih-alih menolong Mas Daniel malah melemparkan pandangan kearah lain. Sadar ulurannya tidak akan tersambut, Anitta kembali terisak memandangiku penuh kebencian."Awas kau perempuan mandul!" jeritnya makin histeris.Laki-laki bodoh itu nampak menelan salivanya, dia menatapku dengan sorot mengiba. Dasar manusia tidak berakal, akan kubuang kau bersama gundikmu. Tunggu saja saat itu.Aku merapihkan baju yang sedikit berantakan. Berjalan mendekati Mas Daniel, dan tersenyum manja didepannya."Antar aku ke kantor sayang," ucapku tanpa beban. Tanganku meraih tas kecil yang berteger diatas meja.Mas Daniel membeku, dia seakan tidak mendengar aku berbicara. Matanya ter
Dengan gerakan pelan, Anitta mulai menyuap potongan daging kedalam mulutnya, perlahan mulutnya bergerak mengunyah makanan itu. Wajahnya terlihat pucat, urat-urat dilehernya nampak menonjol keluar. Dia menatapku nanar, aku hanya menyunggingkan senyum.Anitta semakin tercekat, wajahnya merah padam, sekali hentak dia bangkit melarikan diri menuju wastapel, seketika dia langsung mengeluarkan isi perutnya."Huek ... Huek." suara air mengalir, Anitta masih sibuk dengan activitasnya.Aku bangkit dari kursi, berjalan sambil meliriknya sinis. Anitta membalas tatapanku dengan mimik menyedihkan, dan bibir yang bergetar. Aku mengibaskan tangan diudara lalu melewatinya dengan tawa yang begitu membahana.Menyedihkan, demi cinta dia rela menelan racun. Percis seperti laki-laki bodohnya, belaga berkorban tapi tidak punya nyali yang cukup besar. Benar-benar pasangan yang serasi.***Ofd."Fiona!" suara Mas Daniel menggelegar, membuka p
Transfer secepatnya?Cih ... jangan mimpi! Sampai dia terbujur kaku hingga kembali muda lagi pun, aku tak sudi untuk mengeluarkan uang walau sepeserpun. Cukup sudah aku bodoh selama ini, toh aku hanya menantu yang tidak tahu diri.Ting ....{Fi ... transfer 20juta ya. Bulan ini Mamih harus bayar cicilan mobil Arina juga, nanti uangnya di ganti Daniel.}Pesan dari Mamih kubaca berulang kali, membuat jantung seakan berderak cepat saking ingin memaki dirinya. Untung saja kau jauh Mih, coba kalau dekat? Sudahku sumpal mulut tebalnya dengan keset.Enteng sekali ucapannya. Alasan klasik dengan kata nanti di ganti, toh sampai lebaran monyet pun uangku tidak ada yang kembali.Cih ... bikin hariku tambah suram saja Nenek tua ini.Ting ...Kembali gawaiku berbunyi.{Fi ... hari ini sibuk ga? Temani gue nyalon yuk.} pesan dari Nadia diterima.Huh ... menghembuskan nafas lega, aku kira
Aku terkesip mendengar teriakan Anitta yang begitu lantang. Kucoba meraih sedikit oksigen yang masih tersimpan didalam paru.Tekanan sedikit mengendur, bantal kembali terangkat pasukan oksigen langsung menyerbu penciumanku."Cih ..." Anitta meludah tepat mengenai pipi kiriku.Benar-benar keparat sekali, gundik ini."Mampus juga kau akhirnya, perempuan busuk!" umpatnya begitu geram.Aku masih memejamkan mata, mencoba mengumpulkan tenaga yang masih tersisa.Saat dia menuruni ranjang, dengan rakus aku menghirup udara sebanyak-banyaknya membuat dia menengok muka dan terbelalak. Melihatku yang terduduk dengan nafas terengah sambil mengusap kasar wajah.Dengan sekuat tenaga aku loncat dan menendang belakang tubuhnya.Bugh!Anitta jatuh terjelembab, dengan kedua tangan menahan perut. Aku bangkit dari peraduan sambil mencoba bernafas dengan teratur. Aku paksakan berdiri tegak walau kepal
Kubuka pintu jendela selebar-lebarnya, menghirup udara segar hingga memasuki ke dalam pikiran."Semua sudah berakhir ... tak perlu disesali," gumamku mencoba menghibur hati. Walau tak ku pungkiri sakitnya hati melebihi tertusuk benda tajam.Malam menunjukan pukul 02:00. Deru mesin mobil berbunyi, setelah itu pintu pagar terbuka lebar. Kupandangi mobil suamiku yang membawa selingkuhannya, perlahan mobil itu keluar dari rumah dan menghilang ditelan keheningan malam."Pergi, dan jangan kembali ..."desahku lelah.Kupandangi langit hanya ada bulan yang bersinar terang disana, kemana perginya para bintang? Apa dia juga ikut berkhianat seperti suamiku?Ahh ... lelah sekali jiwa dan raga ini. Seluruh badan begitu sakit, namun ku tahu hati ini yang lebih sakit.Aku menundukan pandangan, mataku tertuju pada sosok laki-laki bertubuh kekar yang memandangku penuh iba. Menyunggingkan senyum tipis dengan badan bergetar pilu. A
"Fionaa ..." lantang suara Mas Daniel."Sstttt ... jangan teriak begitu, aku tidak tuli," ucapku sambil menempelkan telunjuk tangan dibibir lalu berjalan melewatinya. Kuhempas bokong ini di sofa tunggal kesayanganku."Apa maksud semua ini," ucapnya sambil melempar koper, hampir saja mengenai kaki-ku.Aku mendesah lembut, lalu tersenyum tipis setelahnya. "Mari kita akhiri semuanya," ucapku tegas.Mas Daniel berjalan kearahku, lalu berjongkok didepanku dan memegang kedua tanganku."Fi ... aku mohon, jangan seperti ini," ucapnya sambil menatap bola mataku.Kupandang lekat kedua matanya, sorot khawatir memang terpancar jeles dimatanya. Namun aku ragu, jika itu sorot khawatir tentang hubungan ini. Bisa saja dia khawatir dengan hal yang lain."Sudah Mas ... kau tak perlu banyak bersabar dan mengalah lagi dengan sikapku, aku membebaskanmu."sindirku dengan wajah dingin.Mataku terpaku dengan pintu
Mataku terbelalak, mendengar penuturannya. Lalu tertawa nyaring hingga keluar air disudut mata. Melihatku masih tertawa sambil menatapnya lucu, kening Mas Daniel mengkerut. Sepertinya expresiku diluar dugaannya."Kenapa?" tanyanya heran.Ahh ... entah hanya perasaanku saja atau bukan, kulihat Mas Daniel semakin bodoh dari hari ke hari. Efek bergaul dengan Anitta, sepertinya.Dia selalu memanfaatkan situasi, tanpa berpikir dengan logis. Teman memang sangat berpengaruh, bagi kehidupanmu."Daniel ... Daniel," selorohku sambil menyeka sudut mata dengan ujung jari."Kau tidak perlu berbaik hati, tanpamu aku bisa bebas dengan mudah," sahutku dengan senyum yang merekah.Mas Daniel nampak mendelik, matanya menyipit kearahku dengan gusar."Kamu jangan terlalu menganggap masalah ini sepele, Anitta punya bukti tertulis. Kamu tidak bisa mengelak," ucapnya dengan sorot mata serius."Oh ... ya?" balasku menant
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su