Pov Anitta.
Menjadi wanita cantik memang menguntungkan, semua mata laki-laki selalu mengikuti setiap gerakkanku. Tubuh tinggi dengan bagian padat didaerah tertentu, menambah daya pesonaku. Siapapun, jika aku sudah berkehendak, dia pasti bertekuk lutut dikakiku.
Tentu ... targetku adalah laki-laki berdompet tebal, bagiku tampan saja tidak cukup, yang aku butuhkan adalah limpahan materi. Tak peduli, dia sudah bau tanah sekalipun, jika dia bisa memenuhi segala keinginanku. Maka dengan senang hati aku akan selalu ada disisinya untuk menyenangkan segala yang mereka butuhkan.
Hidup itu harus realistis, aku tidak munafik. Menjadi diri sendiri adalah pilihanku dan seperti inilah hidupku. Sejak dulu aku sudah terbiasa merasakan sakit, malu dan dihina bertubi-tubi. Bagiku hidup adalah perjuangan, semua pasti ada konsekuensinya. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Sebenarnya aku terlahir dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, Ayahku seorang staff pent
"Silahkan Pak," ucapku seraya menaruh minuman kaleng dan dua potong brownis diatas meja."Kamu tinggal disini, sendiri?" Tanya Pak Mahesa sambil mengamati apartement milikku."Iya ..." jawabku sambil menjatuhkan tubuh disofa tepat didepannya."Sudah lama?""Lumayan, tapi sebentar lagi saya pindah dari sini," sahutku."Kenapa?" alis itu nampak menaut."Saya tidak bekerja, jadi tak ada uang untuk bayar sewa," jawabku. Pak Mahesa menatap sekilas, lalu mengalihkan pandangan."Kenapa tidak balik kerja dikantor lagi, dari pada disini tidak ada kerjaan," ucapnya."Untuk apa kembali kekantor? Untuk melihat kemesraan Bapak bersama istri? Menyakitkan," desahku sambil menyenderkan tubuh. Wajah aku buat sesedih mungkin, demi manarik simpatinya."Kamu tak suka dengan istri saya?" tanyanya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.Tentu aku tidak suka, istrimu menghalangi langkahku!"Ada perlu apa repot-repot mampir kesi
"Jangan galak-galak dong cantik, mari kita bersenang-senang dulu," ucapnya dengan tatapan mesum sambil menyorot bagian sensitifku.Aku tersentak kaget, saat tangan kasar salah satu dari mereka meraih dagu ini.Repleks aku menghindar, lalu mundur beberapa langkah."Cantik ..." kekehnya sambil melempar pandang pada teman penjahatnya.Laki-laki berambut plontos itu terkekeh, lalu berjalan mendekatiku."Pergi!!" Teriakku sambil terus memundurkan langkah."Pergi kemana? Enak disini temani kamu. Haha."Tatapan mereka semakin liar, gelak tawa keduanya memenuhi ruang sempit ini."Mereka bilang kamu ahlinya memuaskan laki-laki," ucap laki-laki dengan brewok yang memenuhi rahannya."Aku jadi penasaran," kekeh sirambut plontos.Jantungku semakin berdetak tak karuan, tubuhku meremang saat si bewok menarik kasar lengan ini."Pergi!!" Aku meronta berusaha
"Cepat bantu aku," ucap seseorang. Kemudian tubuhku terangkat dengan pelan dan hati-hati.***OfdMata terbuka pelan, kepala langsung berdenyut sakit saat kesadaran mulai kembali. Samar terdengar suara orang bicara diluar kamar yang aku singgahi ini. Aku langsung memijat pelipis, sambil meringis menahan sakit.Agrh..Kandung kemihku terasa penuh, dengan susah payah aku beringsut menuruni tangga. Suara orang berbincang semakin jelas, perlahan aku membuka pintu."Permisi.." ucapku kikuk saat sudah keluar. Ada tiga laki-laki remaja, dan satu perempuan tua. Berkumpul diruangan."Eh.. sudah bangun?" Perempuan tua itu menatap hangat lalu berjalan kearahku. Semua mata kini tertuju padaku."Mau kemana?" Tanyanya."Mau pipis Buk," jawabku."Ayo Ibu antar," ajaknya lalu berjalan mendahuluiku. Remaja yang berkumpul menatap kasihan kearahku, tersenyum tipis saat melihat aku mengan
"Hukum istrimu Mas, dia sudah menyiksa aku." Pintaku dengan deraian air mata.Mas Mahesa bergeming ditempat, sorotnya menyimpan kesedihan."Tapi kamu baik-baik saja kan?" Tanyanya.Aku menggeleng lemah. "Aku takut Mas, bayangan para penjahat itu menyiksaku terus teringat dikepala. Aku sangat takut.." aku berucap sambil terisak pilu, berharap Mas Mahesa mau menuruti keinginanku."Aku yakin Diana pelakunya.. dia sudah tahu tentang perselingkuhan kita. Dan dia marah besar padaku," ucapku bersungguh-sungguh."Tapi Diana bersikap biasa saja, tak ada yang berubah dari dirinya," bantah Mas Mahesa, membuatku kesal."Dia cuma pura-pura Mas.. aku yakin semua kesialan yang menimpaku belakangan ini adalah ulahnya," semburku murka. Aku benar-benar kesal dengan perempuan tua itu. Aku yakin dialah dalang dari semua masalahku.Mas Mahesa masih bergeming, ucapan yang keluar dari bibirku seakan tidak tercerna olehnya."Pulang sana Mas.." desahku
Tubuhku semakin lemas, saat sedang mandi membersihkan badan tubuhku langsung ambruk dengan pandangan yang semakin gelap.***Ofd.Mata terbuka pelan, tempat asing berwarna putih dengan aroma obat menguar diindra penciuman. Kepala berdenyut ngilu, ditanganku sudah terpasang selang infusan.Tak ada siapapun disini, aku ada dimana? Mengapa aku bisa ada ditempat ini?Beragam pertanyaan menumpuk dikepala, membuat semakin pusing untuk sekedar menoleh kerini dan kanan. Kembali aku menutup mata meski telinga mendengar suara kecil yang ada didalam ruangan.Tak lama suara pintu terbuka, kupaksa membuka mata meski berat. Samar aku melihat laki-laki berbadan tegap memasuki ruangan, ditemani dua orang perempuan berseragam senada."Pasien masih belum sadarkan diri ya?" Tanya Dokter laki-laki yang masih muda dan terlihat tampan itu."Eh.. pasien sudah membuka matanya Dok?" Suster berwajah imut menelisik wajahku. Aku tersenyum tipis, mengisyaratkan su
Tatapannya kini beralih pada perempuan gila itu, bukannya segera menolong. Mas Mahesa hanya diam ditempat dengan tubuh seakan membeku."Mas.. kenapa diam! Usir perempuan gila ini," sentakku menyadarkannya."Eh.." Mas Mahesa terlonjak mendengar suaraku."Mas!!""I-iya.." aku mendicih sinis, kenapa Mas Mahesa seperti orang bodoh. Dia terlihat menggaruk tengkuk lehernya, menatap takut pada sosok preman didekatku.Perempuan gila itu tersenyum miring, menatap Mas Mahesa dengan dingin. Siapa sebenarnya perempuan ini, kenapa Mas Mahesa diam saja?Dengan susah payah aku bangkit, dan berjalan menuju Mas Mahesa."Telpon Polisi sekarang Mas. Dia sudah menganiaya aku," titahku dibalas dengan senyum kecut oleh Mas Mahesa."Mas ... Ish," aku mengguncang lengannya."Telpon dong Mahes.. jangan diam saja, sekalian bawa jendral kesini. Tanggung kalau cuma Polisi," ucapnya dengan senyum mengejek."Mah.." liris, calon suamiku.
Pov Diana.Selepas anak-anak pergi sekolah dan Mas Mahesa berangkat kerja, aku bergegas menuju garasi. Melajukan mobil dengan kecepatan sedang, tujuanku pergi kerumah Mamah mertua.Aku ingin mengeluhkan tentang sikap Mas Mahesa selama ini. Akan aku terima segala petuahnya, bagiku mertua adalah orangtuaku sendiri. Aku yakin mereka akan memberi nasihat yang bijak, seperti masalah sebelumnya."Hei ... kok datang tidak mengabarkan?" Mamah Hana tersenyuma manis, menyambut kedatanganku."Maaf Mah, tidak sempat. Mamah lagi sibuk?" Tanyaku setelah mencium tangan dan mencium kedua pipinya."Tidak juga, Mamah free hari ini," jawabnya sumringah. "Ayok masuk, kita ngobrol didalam," ajaknya sambil mengamit lenganku.Aku dan Mamah memang cukup dekat, kami mempunyai hobi dan selera yang sama itulah yang menyebabkan kami menjadi lebih akrab."Si Tuti bikin pizza, cobain Di." Mamah menyodorkan pizza dengan toping sosis dan daging dengan lelehan mozare
"Ini siapa ya?" Tanyanya."Saya Diana, benar ini dengan nomer Mbak Fiona?" Jawabku tegas."Benar ...." sahutnya. Bibirku melengkung tipis, untuk beberapa detik aku terdiam. Memikirkan harus memulai pembicaraan dari mana."Maaf, Diana siapa ya?" Suara Fiona terdengar."Eh iya Mbak, saya ... saya ada perlu dengan Mbak Fiona. Bisa kita bertemu?" Aku menggigit bibir, mencerna kata-kataku sendiri."Bertemu? Apa sebelumnya kita pernah kenal?" Tanyanya."Kita memang belum pernah kenal, tapi saya membutuhkan bantuan Mbak Fiona," jawabku."Butuh bantuan?" Nadanya terdengar heran."Maaf saya sibuk.""Ini masalah Anitta," ucapku kemudian, sebelum Fiona memutuskan sambungan. Dia pasti berfikir, aku seorang penipu, yang butuh bantuan uang. Fiona terdiam, aku memeriksa gawai. Detik panggilan masih berjalan."Anitta? Anitta siapa?" Tanyanya."Anitta ... Per
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su