"Loh kamu yang mau apa! Aku ini calon istri, Mas Mahesa. Kamu lupa?" Suara Anitta tak kalah kencang dari Diana.
Dengan terpogoh aku berlari menuju pintu, mata terbuka lebar. Diana benar-benar ada didepan mataku."Diana ... kamu pulang sayang?" Ucapku dengan senyum haru. Diana tersenyum hangat, menubruk pundak Anitta yang menghalangi langkahnya lalu melewatinya."Iya, kamu sehat Pih?" Diana berkata dengan senyum yang begitu manis, membuat kepala ini mengangguk dengan cepat."Sudah makan?" Diana menaruh telapak tangan dikeningku, lalu mencium pipi ini dengan lembut."Sudah, ayo masuk kedalam," ucapku sambil menuntun masuk tangannya. Diana tersenyum manis, berjalan sambil bergelayut mesra dipundakku.Ada apa ini? Mengapa Diana begitu manis. Sudah sudikah kiranya dia memaafkan aku?Tak sengaja mata melirik Anitta, yang menatap sinis tak suka. Tapi aku tak peduli, bagiku saat ini Diana sudah pulangSilau mentari menerpa wajah, tubuh bergeliat melemaskan otot. Meraba samping ranjang, mata menyipit saat tak kutemukan Diana disamping tidurku. Perlahan bangun, duduk bersandar dipunggung kasur, mengumpulkan segenap kesadaran.Waktu menunjukan pukul 6 pagi, suara aktifitas didalam kamar mandi terdengar membuat hati yang tadinya gundah menjadi tenang.Sambil menguap aku meraih gawai yang tergeletak diatas nakas, pesan dari Nitta berjejer memenuhi layar. Kembali aku meredupkan layar, malas untuk membaca segala rentetetan keluh kesahnya."Sayang ... mandinya sudah?" Ucapku setelah mengetuk pintu dua kali."Iya, tunggu sebentar!" Teriak Diana dari dalam."Buka pintunya, kita mandi sama-sama." Tak ada balasan suara dari dalam, tak lama pintu toilet terbuka pelan."Aku sudah selesai," ucapnya seraya melilitkan handuk dikepala. Aroma sabun mengeruak, saat Diana melewatiku.Ada yang menghangat dihatiku, melihat Diana berada disini gairah hidu
"Sama-sama, Pih. Semoga keluarga kita selalu dilindungi oleh Tuhan, dari orang-orang jahat yang mau merusak kebahagiaan kita," sahut Diana tegas. Namun senyum dibibirnya menciptakan kehangatan didalam dada.***Ofd.Setiap hari Anitta terus saja meneror, aku sampai mengnonaktifkan gawai untuk sementara waktu.Tepat hari ini, dimana seharusnya kami melakukan pernikahan. Tapi aku mangkir, tak menanggapi semua rentetannya.Menikah dengan Anitta? Entah mengapa hati merasa kurang yakin, aku takut fikiran buruk tentangnya menjadi kenyataan.Setelah difikir-fikir, uangku memang habis terkuras untuk memenuhi gaya hidupnya. Dan aku tidak mau terus-terusan seperti itu. Uang yang seharusnya bermanfaat kini lenyap karna kesenangan sesaat. Anitta tentu saja, tak mau tahu saat aku mengeluh kekurangan uang.Sibuk menata hati bersama Diana, menyusun rencana untuk membuka usaha sendiri. Cukup sudah aku mengemis dihadapan Mamah, penolakan mereka membuat hatiku sakit. Aku bertekad akan membuka usaha send
"Kalau itu rencana kalian, kenapa tidak dilaksanakan? Menikahlah, aku merestui hubungan kalian." ucap Mamah tegas, sorot matanya menatap Anitta yang terbelalak kaget mendengar ucapan orangtua perempuanku.Anitta menoleh kearahku, gurat wajahnya menyimpan sejuta pertanyaan. Anitta terlihat bingung, alisnya menaut dengan kencang lalu menoleh pada Mamah dan menatapnya lurus-lurus."Apa saya tidak salah dengar?" wajah Anitta terlihat antusias, tak berkedip menatap Mamah."Ya, dari pada kalian terus berbuat dosa?" Mamah mengangkat bahu dan kedua tangannya."Lebih baik diresmikan, bukan? Toh kalian juga sepertinya tidak ada niat untuk saling menjauh," sambung Mamah, membalas tatapan mata Anitta.Anitta menatapku, kepalanya terangkat mengisyaratkan agar aku buka suara."Tapi, Diana? Dia tidak akan setuju Mah," sahutku. Mamah menghela nafas, menatap aku dan Anitta bergantian."Ya tentu saja, dia pasti akan menolak mentah-mentah," jawab Mamah santai.Aku tersenyum kecut, untuk apa Mamah menyur
Pov Diana.Bibir melengkung tipis, otakku berputar mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Mamah mertuaku.Bisa saja, saat ini aku berada dihadapannya. Tapi fikiranku berada ditempat dimana aku dan Fiona sedang terlibat dalam diperbincangan yang sangat serius."Saat Mbak Fiona tahu, suami berkhianat. Apa langkah yang Mbak ambil saat itu?" Tanyaku setelah menyesap minuman berasa jeruk. Asam kecutnya langsung menerjang lidah, saat air berwarna sedikit kuning itu mengalir melewati sedotan dan mengenai indra pengecapku.Bibir ranum Fiona berjinggat sebelah, lalu nafas panjang berhembus setelahnya. Mata itu menerawang jauh, gurat kepedihan sekilas tergambar dari manik coklatnya. Lalu dia mengembangkan senyum."Hmm ... apa ya? Mungkin aku pernah mencoba memberinya kesempatan," sahut Fiona sambil menganggukkan kepala."Memberi kesempatan?" Aku mengulang kalimatnya."Dia terus mengiba, memohon ampun. Bahkan berlutut dikaki ini," sambung Fiona dengan senyum yang terlihat getir. Aku m
Pov Mahesa"Mas ... tidak bisakah aku tinggal dirumah megahmu? Diana terlalu serakah, rumah sebesar itu ditinggali hanya dengan beberapa orang saja," cibir Anitta, tangannya membelai lembut wajahku.Sudah satu minggu aku berada di apartementnya. Hari ini sudah waktunya aku kembali kerumah untuk menemui Diana."Mas, aku ikut ya," pinta Anitta dengan wajah penuh harap."Untuk apa? Mas sudah bayar uang sewa apartement ini. Sayang kan, jika tidak ada yang mengisi," tukasku sambil memasang kancing kemeja yang melekat ditubuhku."Huh ... Bilang saja Mas tidak mau aku ada dirumah itu. Lagi pula, rumah itu bukan hak milik Diana kan? Sudah seharusnya, aku juga tinggal dirumah itu, aku ini istri kamu. Ingat itu, Mas." balas Anitta, tak mau kalah."Sudahlah, Nitt. Permintaanmu lama-lama aneh. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk menikah, sekarang tolong jangan mengusik Diana. Dia sudah cukup terluka dengan pernikahan ini," bantahku, mencoba memberi pengertian.Anitta memutar bola matanya dengan
Rasa terbakar kembali menjalar, kini mata terbelalak saat melihat yang mengalir bukan air seni melainkan darah pekat dengan lelehan cairan berwarna kuning kental."Astaga, mengapa pipisku mengeluarkan nan*h?"Jantung langsung berdetak kencang, kepala berkunang-kunang, dengan nafas yang mendadak sesak.Tubuh terhenyak menghimpit tembok, lutut mendadak sangat lemas.Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mendapat penyakit ...Agrh ... menyugar rambut dengan frustasi, segera membersihkan apa yang sudah aku keluarkan. Lalu keluar dari bilik toilet tak berani menuntaskan hajat.Aku sungguh tidak tenang, lama berdiam diri duduk diatas ranjang dengan fikiran tak menentu arah. Segera mengamati tangan, terlihat ruam halus yang bermunculan dikulitku.Aniita ... apa mungkin dia yang menyebabkan ini semua? Aku sudah lama tak menyentuh Diana. Tidak salah lagi, pasti Anitta biang dari masalah ini. Aku harus meminta penjelasan darinya."Kenapa, Mas? Kok lemas sih?" Diana mengamati wajahku."Mm ... kur
"Jawab!!" Nafasku memburu, membuat wajah cantik yang sangat aku gilai itu semakin menegang.Anitta bangkit dari sisiku, berjalan memutari meja."Ka-mu bicara apa sih, Mas? Kamu fikir aku ini perempuan macam apa, Hah!" sentak Anitta dengan nafas tak teratur.Sepertinya dia tidak terima dengan kata-kataku."Kamu hanya terlalu lelah, Mas. Kenapa? Apa Diana bicara yang tidak-tidak padamu, hingga kau semarah ini padaku?" Ucap Anitta dengan mimik memelas."Ayolah ... perempuan itu tidak sepenuhnya rela kamu menjadi suamiku. Dia pasti sudah mencekokkimu, dengan kata-kata mengujar kebencian!" sambungnya dengan wajah mengeras. Aku terkekeh geli, menatapnya tak percaya."Diana pasti sudah memfitnahku!" Anitta menatap lekat, meyakiniku.Bisa-bisanya disaat kemarahanku tersulut begini, dia menyeret Diana untuk menutupi kesalahannya.Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekatinya. Kini pandangan kami beradu tatap, namun Anitta segera memalingkan wajah."Dengar ..." aku meraih wajahnya dengan satu t
"Dasar perempuan pembawa sial!" umpatnya begitu bengis lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kearahku dengan wajah merah padam dan sorot mata penuh amarah.Mau apa dia?Alisku menaut kencang, langkah kakinya semakin cepat mendekatiku.Anitta melayangkan tangan kearahku, dengan tangkas aku menghindar sehingga yang dia pukul hanya udara membuat tubuhnya sedikit oleng."Huh ..." matanya semakin membesar, kemarahan semakin memuncak saat targetnya tak mengenai sasaran. Anitta membalik badan dan meraih tanganku. Tak sempat menghindar, kuku itu mengenai lengan ini menyisakan goresan yang cukup panjang."Aduh ..."Perih dan panas membakar kulit, membuat emosiku kini tersulut dibuatnya."Apa-apan kamu sund*l!" ucapku menahan geram. Otakku begitu mendidih, melihatnya tersenyum sinis kearahku."Jangan belaga sok suci kamu! Kau yang menjebakku kan? Kau yang menyekapku, hingga para bajing itu menodaiku!" Sembur Anitta dengan mata merah melotot tajam.Aku terkekeh geli menanggapinya, memb
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su