Ahh ... mengapa aku jadi sepicik ini, karna takut kehilangan Diana. Aku jadi tak menginginkan kesadarannya.
"Kalau sampai terjadi sesuatu pada anakku, aku tidak akan tinggal diam. Jika Diana membenarkan ucapan Adit, itu berarti tindakkan Mahesa sudah termasuk tindakan kriminal. Aku tidak dapat memaafkannya," tegas Ibu dengan tatapan mematikan. Mamah terlonjak mendengarnya, rautnya begitu khawatir.
"Aku tidak bohong, Bu." lidah mendadak kelu, aku tidak biasa berbohong. Ada rasa yang mengganjal saat mengatakan itu semua.
"Pulanglah, Mahes. Kamu disini hanya membuat gaduh keadaan," Papah ikut bicara.
"Tapi, Pah. Diana ada didalam, mana mungkin aku pulang kerumah," sahutku tak terima.
Aku tahu, saat ini aku bersalah. Tapi tak seharusnya Papah menyuruhku pulang, aku bukan suami yang tak bertanggung jawab. Kesalahanku hanya satu, yaitu ingin memiliki wanita baru.
"Iya, Papah mengerti. Tapi saat ini kondisi tidak kondusif."
"Apanya yang tida
"Ya." Papah mengangguk tegas. "Dan Diana, membenarkan ucapan Adit," sambung Papah dengan tatapan tajam mematikan. Membuat persendianku lemas seketika.Astaga, Diana. Apa yang sudah kamu bicarakan."Apa yang merasuki mu, Mahes? Kenapa bisa berbuat sebodoh itu," wajah Papah mengeras, lalu memijit pelipisnya dengan kencang.Aku menghela nafas, tubuh begitu lemas mendengar kenyataan Diana tidak memihak padaku.Mengapa dia begitu tega, hilangkah segala kebaikan yang selama ini aku lakukan dimatanya? Tidak bisakah Diana menutupi aibku sedikit saja. Kalau sudah begini, bagaimana aku dimata keluarganya. Mungkin saja mereka saat ini sudah mengecapku sebagai seorang penjahat.Argh!Pusing sekali rasanya, kepalaku terasa ingin meledak saking panasnya."Jika keluarga Diana ingin melaporkan masalah ini pada pihak yang berwenang, Papah tidak mau ikut campur. Selesaikan masalahmu sendiri, jangan libatkan Papah. Apalagi Mamahmu," tegas Papah sambil m
Mata membulat sempurna, saat melihat Mamah dan Papah berdiri diambang pintu dengan tatapan murka dan menakutkan. Hawa panas langsung menyerang tubuh, firasatku mengatakan saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Ada apa, Mah? Datang kok marah-marah begitu?" Tanyaku berpura tenang, sambil bangkit dari kursi. Mamah mendengkus sinis, lalu berjalan mendekat. "Kemasi barang-barangmu. Hari ini juga jabatanmu Mamah cabut, Mamah ga mau melihat kamu ada diperusahaan ini," ucapnya dengan nafas memburu dan mata mendelik tajam. Alisku menaut kencang, lelucon macam apa lagi ini? "Mamah lupa? Aku pemilik perusahaan ini. Papah sendiri yang sudah menyerahkan semuanya padaku," balasku tak terima. Enak saja mau mencopot jabatanku, aku ini pemilik. Tidak bisa digantikan. "Sayangnya, saat itu Papah hanya berencana saja Mahes." Timpal Papah, membuat pandangan kini fokus melihatnya. "Mak-sud Papah?"
"Mohon maaf, Pak. Kartu limit, tidak bisa digunakan?" Ucap Mbak kasir sambil menyodorkan kartu dihadapanku.Hah ... Limit, tidak bisa digunakan? mana mungkin?"Tidak mungkin? Saya belum melakukan transaksi apapun hari ini," sahutku sambil menerima kartu atm tersebut dan menimangnya.Apa yang salah?"Mohon maaf, Pak. Saya sudah mencoba sebanyak 2 kali. Tapi tetap hasilnya tidak bisa," balas Mbak kasir, masih dengan senyum ramahnya."Ada apa sih, Mas?" Anitta yang sedang berbincang dengan pegawai salon yang tadi menggodaku, jalan mendekat."Ini, kartu. Kok ga bisa dipakai, padahal uangnya masih banyak," jelasku. Kening Anitta bertautan. Dia melangkah mendekati kasir."Mesinnya tidak rusakkan?" Tanya Anitta."Mesin baik-baik saja, Mbak." Jawab kasir.Aku kembali merogoh dompet dan mengeluarkan kartu yang lain."Coba pakai ini," aku menyodorkan atm cadanganku
Tiba-tiba ucapan Papah terngiang dikepala, yang mengatakan perempuan penggoda seperti Anitta hanya mengincar hartaku saja. Jika Anitta tahu kebenaran tentang hidupku, apakah dia akan melepehku, seperti yang Papah katakan?Ahh ... kenapa kepalaku belakangan ini selalu berdenyut ngilu, rasanya sangat pening, benar-benar sakit dan mengganggu.Mata masih tertuju pada Anitta yang memasuki loby apartement, dia terlihat berhenti dan berbincang dengan laki-laki yang bekerja sebagai keamanan di apartementnya.Ada rasa tak nyaman saat melihat mereka begitu dekat, Anitta masih terus berbincang. Padahal sebelum dia turun dari mobil, dia mengeluh pusing kepala. Apakah saat ini, pusingnya sudah menghilang? Ada rasa kecewa yang terselip dihati ini melihat tingkah lakunya.Melajukan mobil dengan pelan, aku memutuskan untuk singgah kerumah orangtua Diana. Biar bagaimana pun masalah aku dan Ayahnya harus diselesaikan, aku tidak mau Ayah mertua benar
Kembali tendangan mengenai perutku, suara rintihan lolos begitu saja. Dengan pandangan yang semakin buram dan menghitam.***Ofd.Pov FionaSenyum tak henti menghiasi bibir ini, sesekali aku berteriak memanggil nama anak laki-laki kesayanganku. Papah dan anak itu bermain dengan riang, Fahri yang baru bisa berjalan kesana kemari menggerakkan kaki mungilnya berlari kesegala arah."Capek?" Aku terkekeh melihat Mas Yas, yang menggendong Fahri dengan nafas terengah-engah, berjalan menghampiriku."Huh ... larinya cepat banget. Semakin diteriaki dan dikejar, semakin kencang larinya," jawab Mas Yas, sambil mencium gemas pipi anaknya.Aku tersenyum hangat, meregangkan tangan mengambil alih Fahri dalam gendongan Mas Yas. Fahri tertawa riang, kedua tangannya mencondong kearahku."Sudah mau magrib, kita balik ke dealer ya." Ucap Mas Yas."Iya, Papah," sahutku sambil bergelayut manja dilengannya, lalu berjalan beriringan menuju mobil d
"Jordy adalah pengawal Diana, kalau begitu tunggu sebentar. Saya akan berbicara dengan Diana," ucapnya lalu masuk kedalam ruangan.Aku menunggu dengan gelisah, semoga saja keputusanku ini memang tepat. Aku hanya ingin membantu, Nyonya Diana.Tak lama perempuan paruh baya itu keluar, dan mengizinkan masuk. Namun hanya aku yang boleh menemuinya, Mas Yas harus menunggu diluar ruangan."Selamat siang?" Ucapku setelah membuka pintu. Wanita dengan senyum hangat sudah menyambut kedatanganku."Siang, Nona." sahutnya dengan suara pelan."Nyonya, Diana?" Tanyaku. Bibir itu melengkung, seirama dengan anggukan kepalanya."Silahkan duduk," ucapnya sambil menunjuk kursi disamping bangkar."Trimakasih, sudah mau meluangkan waktu datang kesini. Senang bisa bertemu denganmu, Nona." ucapnya sambil tersenyum tipis. Keadaan Diana benar-benar memprihatinkan. Kening kepalanya terbelit perban, serta kaki kirinya tergantung dengan alat bantu rumah sakit.
Malam semakin larut, Anitta belum juga menunjukan batang hidungnya. Aku tak ingin menghubunginya, biarkan saja jika memang dia mengurungkan niat untuk menjengukku dirumah sakit.Ingin menghubungi Mamah, namun logika menolak keras. Mamah pasti bertanya penyebab aku berada disini. Dia pasti akan tertawa, jika mendengar Ayah Diana yang sudah membuatku babak belur seperti ini.Mamah memang Ratu kejam, dari dulu dia seperti itu. Jika aku mempunyai kesalahan, dia akan menghukumku dengan keji. Tak peduli, aku ini anak laki-laki satu-satunya.Ahh ... malangnya nasibmu, Mahesa. Semua masalah terjadi secara beruntun, waktu seolah menjebak dan mempermainkanku.Meraih remot televisi yang ada diatas nakas, mencoba memecah kesunyian didalam ruang yang sepi ini.Televisi menyala, aku menatap layar lebar itu dengan fikiran kosong.Diana ... Hanya dia yang ada didalam ingatanku saat ini. Aku memang bersalah, dan aku sudah mengakui semuanya.Aku ingin
Tiga hari setelah dirawat dirumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Anitta benar-benar menjagaku sepenuh hati.Diana? Jangan ditanyakan, dia mungkin tidak peduli, jika aku mati sekalipun. Benar-benar tak berperasaan, hati ini sungguh sakit. Seseorang yang aku harap bisa menemaniku hingga akhir hayat, ternyata tak ubah bagai serigala. Menyakitkan!Aku memilih untuk pulang ke apartement Anitta, karna pulang kerumah pun tak ada yang mengurus."Kamu ga kerja, Mas?" Tanya Anitta. Hari ini adalah hari ketujuh, aku menginap dikediamannya. Keadaanku sudah kembali pulih, dan sehat bugar."Tidak, Mas malas bertemu Mamah," kilahku. Padahal, memang sudah dicopot jabatanku. Untuk saat ini, biarlah. Anitta tak perlu tahu masalahku yang sesungguhnya."Mas, coba bujuk Mamah. Aku tidak mau hubungan ini terus-terusan tidak jelas," ucap Anitta sambil menaruh segelas kopi diatas meja."Ya, kita memang tidak seharusnya seperti ini. Akupun tak ingin terlalu lama b
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su