"Ya ... aku percaya," ucapnya kemudian setelah diam beberapa saat.
Aku bernafas lega, lalu memeluknya dengan segenap jiwa dan ragaku."Kenapa sayang?" tanyaku saat melihat raut Fio yang masih terlihat gelisah.Fio menghela nafas, lalu menatap dengan lekat. "Aku hanya berfikir, jika dia bisa senekat itu. Dia pasti akan berbuat hal diluar dugaan dilain kesempatan," ucap Fiona."Dia bisa saja terus mendekati Mas Yas, aku jadi mengingat seseorang ..." sambung Fiona dengan wajah cemas."Awalnya menolak, tapi jika terus didekati dan digoda. Bukan hal mustahil, setan akan hadir diantara mereka.""Aku harus bagaimana?" tanyaku cemas. Aku tak ingin Fio berprasangka buruk tentangku. Terlebih, dia memiliki masalalu yang kelam, tentang perselingkuhan."Apa aku harus mengajukan pindah?" usulku."Pindah kemana?" tanya Fiona."Mas coba melamar dirumah sakit Permata Family, rumah sakKepalaku pusing seketika, aku menggigit guling, dengan mata yang terkatup rapat. Menahan gejolak yang siap meledak-ledak.Argh ... Fahri!!"Kamu kenapa Mas? Mukanya merah gitu?" Fiona menatap heran."Ga apa Fi, Fahri sudah?" tanyaku."Fahri kalau mimi lama Mas, sabar ya," jawabnya sambil tersenyum."Iya ..." sahutku lemas.Kehidupan setelah menikah dan mempunyai anak sungguh berbeda, jika dulu kapan saja kami bisa melakukannya. Saat ini harus bersabar, karna ada Fahri ditengah-tengah kami. Aku jadi berfikir, bagaimana nanti kalau anak kami banyak ya?Setelah memastikan Fahri benar-benar terlelap, kamipun melanjutkan adengan yang sempat tertunda. Tapi Fiona tidak agresif sehelumnya, seprtinya dia kehilangan selera."Kamu kenapa sayang?" tanyaku saat melihat wajah Fiona yang memerah dan bercucuran keringat."Sakit Mas ..." rintihnya. "Aku dapat sembilan jahitan, rasanya
Mataku menatap datar gambar seorang laki-laki bertubuh atletis, dengan seorang wanita cantik disampingnya. Desir amarah mulai tersulut saat aku melihat lembar demi lembar gambar dengan berbagai pose menjijikan. Ah.. suamiku. Meski usiamu sudah memasuki kepala empat, kau memang masih terlihat gagah dengan wajah yang begitu rupawan. Sementara wanita disampingnya, terlihat masih muda berparas cantik dengan tubuh sexy menggairahkan. Sungguh pasangan yang sangat ideal, rasanya aku ingin mengabadikan mereka dalam peti dingin berdinding kaca. "Namanya Anitta, dia sudah bekerja selama dua tahun diperusahaan Tuan Mahesa," jelas Jordy. Pegawai sekaligus orang kepercayaanku. Menghela nafas berat, kuhempas lembaran gambar terkutuk itu diatas meja. Detak jantung kini bergenderang, tanganku mengepal kuat menahan amarah yang menggolak-golak didalam dada. Kepala sampai ujung kaki ini terasa dingin membeku, hanya hati yang panas sebab rasa cemburu yang membara
Matahari telah menjungjung tinggi, ada kehampaan disanubari saat mengedarkan pandang kesetiap sudut rumah. Anak-anak sudah pergi bersekolah, pun dengan Mas Mahesa yang sejak pagi sudah berangkat menuju kantor.Memandangi pantulan diri didepan cermin besar yang ada dilemari, tubuhku masih terjaga dan menarik dengan wajah putih bersih terawat tanpa celah. Usiaku dan Mas Mahesa terpaut lima tahun, dia lebih tua dariku. Banyak yang bilang, kami adalah pasangan serasi yang penuh dengan keharmonisan dan kebahagiaan.Setiap mengingat gambar menjijikan itu, hati ini selalu bergemuruh. Rasanya ingin kulahap habis, perempuan yang berani mengusik kebabagiaanku.{Menurut informasi, Anitta adalah perusak rumah tangga temannya sendiri. Dia bahkan pernah menjadi simpanan Om-Om dan pernah dipermalukan dimuka umum.}Pesan dari Jordy membuatku ternganga, itu berarti bukan hal baru dia memacari suami orang?Cih ... seleramu bahkan murahan sekali Mas, bekas siapa saja
Wajah Anitta merah padam menahan malu sekaligus amarah. Aku tersenyum manis, sesekali melirik kearah Mas Mahesa yang masih diam terpaku ditempatnya.Mungkin suamiku bingung, harus bagaimana. Mau membela disini banyak staffnya, Anitta beberapa kali menatap kearahnya. Sepertinya ingin mendapat pembelaan dari Mas Mahesa.Tiba-tiba aku terkekeh, sambil menutup mulut."Hanya bercanda, jangan terlalu diambil hati, mana mungkin seorang perempuan cantik seperti kamu mau jadi simpanan laki-laki yang sudah beristri," seruku sambil tersenyum lepas."I-iya Bu.." sahutnya.Anitta menghela nafas, dia ikut terkekeh melihatku yang masih menertawakan ucapanku sendiri."Sudah saya permisi dulu," suamiku bangkit dari duduknya. Aku melirik kearah Vani, dia seperti tidak suka melihat Anitta. Matanya terus saja menyorot Anitta dengan sinis. Sementara yang dilirik terlihat cuek, dan keluar dari ruangan."Van..""Eh.. iya Bu," Vani berjalan kearahku.
Mataku terpejam kuat, nafasku memburu setelah membaca sepenggal kalimat perempuan liar itu.Sekejur tubuhku menjadi panas, detak jantung berdetak dengan sangat ngilu. Kepala berdenyut-denyut, dengan fikiran buruk yang melayang kemana-mana.Ahh ... mengapa sakit sekali, tubuhku bahkan terasa lemas. Menarik nafas sedalam-dalamnya, lalu menghempasnya dengan pelan.Tenang ... aku harus tenang. Jangan sampai tanganku terangkat meraih bantal dan membekap wajah, Mas Mahesa. Dia tidak bisa menceraikan aku begitu saja, selama ini aku sudah mendampingi Mas Mahesa dalam suka maupun duka.Benar ucapan orang, di dalam pernikahan hal yang paling menakutkan adalah orang ketiga. Dan yang paling menyedihkan adalah pasangan yang tidak setia.Aku harus bertindak secepatnya, jika tak bisa disindir secara baik-baik. Aku akan menggunakan rencana B untuk menyadarkannya.Beringsut menuruni ranjang, aku berjalan keluar dari kamar. Waktu menunjukkan pukul 23:00, cuku
Bibirku terangkat sebelah, mataku menatap penuh amarah pada punggung belakang perempuan liar itu.Nikmati kejutan kecil dariku, Anitta. Semoga kali ini kau jera dan menjauh dari kehidupanku.Kaki terayun masuk kedalam ruangan, Mas Mahesa cukup terkejut melihat kedatanganku."Sibuk?" tanyaku."Ehm ... ya begitulah," jawabnya gugup. Seperti ada yang dia sembunyikan."Anitta ... aku kira, dia terlalu sering masuk kedalam ruanganmu." sindirku sambil menyilangkan kaki diatas sofa."Dia itu asistenku. Wajar jika sering masuk kesini," Mas Mahesa terlihat tidak suka dengan ucapanku."Begitukah?" suamiku mengangguk tak acuh."Apa tidak ada staf yang layak menjadi asistenmu selain Anitta? Aku rasa dia bukan perempuan dengan otak pintar," ucapku tenang, namun nada suaraku terdengar meremehkan."Kamu tidak tahu apa-apa. Menurut aku dia cukup baik pekerjaannya," tukas Mas Mahesa.
Kutatap mata menyedihkan itu, berpura prihatin dengan segala cibiran yang terlontar dari rekannya sendiri.Sementara Mas Mahesa, dia membeku di tempat. Menatap layar tanpa berkedip sedikitpun."Tidak ... ini salah faham!" teriaknya nanar, meratap pada suamiku.Anitta segera bangkit dari duduknya, dengan cepat dia mencabut sambungan kabel pada alat proyektor. Gambarpun menghilang seketika.Mas Mahesa menatap datar, wajahnya pias. Tersandar dikursinya."Gila ... itu lo kan Nitt?" seloroh Bayu dengan alis menaut."Bukan ... bukan gue!" seru Anitta."Doyan mabuk juga lo, ajak-ajak dong," sela Kevin dengan tatapan genit."Cih ... murahan banget, mabuk satu perempuan dikamar hotel. Cowoknya ga kehitung," cibir Vani.Ya ... video itu berisikan Anitta yang sedang tercekoki minuman keras, sambil dikelilingi laki-laki yang entah berapa jumlahnya. Aku pun sedikit ngilu melihatny
"Ada apa Mas? Aku lihat Anitta keluar sambil menangis," tanyaku sambil berjalan mendekatinya."A-nitta?" Mas Mahesa nampak gugup. Aku mengangguk samar, menikmati expresi salah tingkahnya."Ya ... Anitta," gumamnya dengan wajah berpikir. "Tadi dia datang, untuk menjelaskan bahwa itu tidak benar," sahut suamiku kemudian."Untuk apa dia repot-repot menjelaskan padamu?" pancingku."Di-a dia takut di pecat. Ya dia takut aku memecatnya," jelasnya sambil meringis tak jelas."Ck ... jelas-jelas itu wajahnya. Mau jelasin apa lagi," cibirku."Sehari-hari kau bersamanya. Pasti hapal luar dalamnya bukan?""Maksud, Mamih?" alis tebal itu menaut."Yah ... maksudku, kau pasti tahu dia seperti apa. Kaliankan selalu bersama kalau kerja," sahutku.Mas Mahesa tersenyum kecut, lalu menyeka kening yang nampak keringetan. Padahal ruangan ini cukup sejuk, sepertinya hati Mas Mahesa tengah terbakar. Membuat suhu badannya ikut memanas.Ai
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su