Tuhan ... sembuhkan aku.Haruskah aku menularkan penyakit ini pada Diana, agar dia selalu setia disisiku?"Kamu kenapa, Mahes?" Mamah menatap lekat."Takdir hidupku, kenapa sepedih ini ya Mah. Mahes rasanya tidak berarti, perasaan saat ini takut dan marah entah pada siapa," sahutku diiringi dengan nafas panjang."Takdir memang sudah digariskan oleh Tuhan, tapi kembali pada diri sendiri. Mampukah menahan godaan? Jangan menyalahkan orang lain dengan derita yang kamu alami saat ini. Semua tidak akan terjadi kalau kamu bisa berfikir dengan jernih," sahut Mamah pasrah, wajahnya begitu lelah, lingkar hitam dibawah mata terlihat meski samar."Mamah pun, terluka melihatmu seperti ini, Mahes. Diusiamu yang tidak lagi muda, kamu harus menganggung aib sehina ini. Bagaimana kalau rekan-rekanmu tahu tentang penyakitmu, mereka pasti berasumsi keluarga kita, keluarga yang rusak moralnya.Penyakitmu itu, setiap orang mendengarnya pasti sudah berfikiran buruk," sambung Mamah sambil memijit keningnya.
"Aargh!"Aku memekik keras, kali ini tendangan Diah mengenai bawah perutku."Mampus lo!" umpat seseorang. Perut terasa keram, cairan bening mengalir begitu saja dari mataku akibat rasa sakit yang tiada terkira. Nafas ini tersenggal, aku mengulurkan tangan memohon bantuan pada Dini."Aaaa ..." Aku kembali menjerit. Jemariku diinjak oleh Diah, dengan bertubi-tubi."To--long," suaraku tercekat dikerongkongan, pandanganku menghitam seiring dengan bentakkan keras suara laki-laki.***OfdMata mengejrap pelan, mengedarkan pandang kesetiap sudut ruangan. Memijit kening yang terasa berdenyut ngilu, perlahan beringsut bangun dan duduk bersandar diatas bangkar.Sepertinya aku ada didalam klinik penjara."Aiisshh ..."Aku meringis nyeuri, saat tak sengaja menarik selang jarum yang menempel dikulitku. Tubuh begitu ngilu, setiap menggerakkan dibagian mana pun akan terasa begitu sakit.Menaikan baju dengan pelan, bawah pusarku terlihat memar membiru. Aku memejamkan mata, perlakuan Diah benar-benar k
"Halo, Di. Bisa kerumah sakit sekarang? Kondisi Mahesa menurun," jawab Mamah dengan suara panik.Aku dan Ibu saling berpandangan, rasa cemas langsung menyelusup dihatiku."Mas Mahesa kenapa, Mah?" tanyaku cepat."Nafasnya sesak, dia terus memanggil namamu," jawab Mamah dengan suara tersendat-sendat."Kamu datang ya, Nak. Mamah tunggu," Mamah langsung menutup sambungan."Mahesa kenapa, Di?" tanya Ibu."Tidak tahu, Bu. Mamah bilang nafasnya sesak," jawabku panik.Aku langsung beranjak dari kursi, Ibu menahan tanganku."Mau kerumah sakit?" "Iya Bu. Kasihan Mas Mahesa," jawabku cemas.Ibu menghela nafas, lalu melepas pegangan tangannya. "Sejujurnya Ibu tidak mau kamu repot-repot menguruh Mahesa. Laki-laki itu sudah keterlaluan menyakitimu," desah Ibu dengan wajah prihatin."Tapi ... mau bagaimana lagi, kamu masih istrinya," sambung Ibu, pasrah."Diana tidak apa-apa kok, Bu. Mungkin saat ini Mas Mahesa sedang menerima apa yang dia tuai," jawabku diiringi nafas panjang.Sejujurnya aku cuku
Pov Diana.Dokter menerobos masuk, berlari kecil kearahku."Sangga kepala pasien, Sus," titah Dokter saat melihat kondisi Mas Mahesa. Mata suamiku terbuka bola matanya terus berada disatu sisi, lidahnya terjulur keluar suara gemeletak giginya terdengar kuat.Aku bergidik ngeri, lidah Mas Mahesa mengucurkan darah. Sepertinya Mas Mahesa menggigit lidahnya sendiri."Pasang bantuan pernafasan, Sus," titah Dokter pada asistennya. Mas Mahesa mengerang, terdengar suara mengorok dari mulutnya.Mamah menangis histeris melihat Mas Mahesa, hatiku pun menjerit pilu melihat Mas Mahesa yang seperti sedang menghadapi sarakatulmaut.Ya Tuhan ... jika Mas Mahesa bisa bertahan, mungkin aku bisa memaafkan dan membersamai dirinya lagi.Dokter melepas kancing baju Mas Mahesa, juga memiringkan tubuhnya. Dua menit dalam keadaan tegang akhirnya tubuh Mas Mahesa berangsur tenang."Tolong selalu awasi pasien. Jangan ditinggal sendirian," ucap Dokter setelah memastikan keadaan Mas Mahesa baik-baik saja."Kenapa
"Apapun bisa aku lakukan," sambungnya sambil menghembuskan nafas diwajah dan mencium pipiku dengan tatapan mesum dan senyum menyerigai. Aku beringsut sedikit menjauh, bau nafasnya membuat perutku bergejolak. "Saya ingin bebas, tolong saya," ucapku dengan suara terbata. "Nanti malam, datang kelorong disebelah kiri. Jam satu dini hari," sahutnya masih dengan senyum menjijikan. "Makanlah, kau butuh tenaga extra untuk nanti malam," sambung laki-laki itu sebelum keluar dari pintu. Aku bergidik ngeri, menepis kasar wajah dan pipi bertubi-tubi. Rasanya menjijjkan sekali, tapi aku butuh bantuannya. Dengan tangan bergetar, aku mengambil plastik makanan itu. Mataku berbinar saat melihat banyaknya makanan favoritku didalam plastik. Fikiran melayang, tak terasa meraba perut yang dulu pernah berisi seorang bayi. Bagaimana kabar bayi itu, saat melahirkannya aku bahkan sama sekali tidak memberinya asi. Sesungguhnya, aku ingin merawatnya beberapa hari. Tapi Ibu, tentu saja tidak menyetujuinya.
Makan siang kami lewati dengan suka cita, meja makan kembali hangat, derai tawa yang dulu sempat hilang kini telah kembali lagi."Ingat ... kamu harus banyak istirahat, jangan banyak fikiran. Nanti kalau sudah benar-benar sembuh, kamu boleh memimpin lagi perusahaan," ucap Mamah sebelum pamit pulang."Iya, Mah. Makasih ya," sahut Mas Mahesa. Mamah tersenyum simpul."Kamu juga, Di. Jangan terlalu lelah, perhatikan kesehatanmu sendiri. Kalau perlu pakai jasa baby sister untuk menjaga Mahesa," ucap Mamah diselingi kekehan kecil."Iya, Mah." sahutku. "Mamah nginap saja disini, pasti capek bulak-balik. Besok baru pulang," tawarku."Tidak apa, Di. Dirumah lebih nyaman istirahatnya," sahut Mamah. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala."Makasih ya, Di. Mamah bersyukur punya menantu sebaik kamu," Mamah tersenyum hangat."Sama, Mah. Aku juga bersyukur punya mertua sebaik Mamah," balasku sambil memeluknya."Kenapa, Mah? Kok nangis?" tanyaku saat merasa tubuhnya bergetar."Tidak apa, Mam
Pov Anitta."Gimana, Bu. Sudah terjual mobilnya?" tanyaku penuh harap. Hari ini adalah hari kesepuluh saat aku memintanya menjual mobil."Sudah ..." sahut Ibu diiringi nafas panjang. Aku menautkan alis dari gelagat dan raut Ibu, aku melihat ada kejanggalan disini."Mobil Ibu jual murah, yang penting bisa terjual cepat." sambungnya."Laku berapa?" Tanyaku langsung."200 juta, Nitt," jawab Ibu dengan wajah lesu."Loh gimana ceritanya, mobil Pajero sport itu pasaran masih 400 jutaan Bu. Apa lagi masih mulus tanpa gores sedikit pun. Ibu jual sama siapa?" cecarku kesal. Yang benar saja, masa iya mobil kesayanganku laku setengah harga."Ya ... mau bagaimana lagi. Jual mobil itu susah Nitt, tidak seperti jual emas bawa ketoko langsung jadi uang," suara Ibu naik satu oktaf. Aku mendengkus kesal, ini pasti ada apa-apa. Masa iya mobilku semurah itu."Sekarang uangnya mana?" Tanyaku."Ada, aman di Atm." jawabnya."Ya sudah, mana Atmnya?" Aku menyodorkan tangan."Kamu buat apa dipenjara pegang Atm
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah didepan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles aja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih ga mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang dipersidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya."Ming
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su