Dalam keadanku yang masih menangis. Mas Yogi tiba tiba datang. Dia melihatku masih berada dalam pelukan Candra."Bagaimana keadaan Reza?!" Tanya Mas Yogi cemas."Dia masih di ICU, belum sadarkan diri." Jawab Candra.Mas Yogi memperhatikan Candra baik baik. Lalu dia melepas tangan Candra yang masih memelukku."Lepaskan!!" Katanya."Mas. Apa apaan sih kamu?" Kataku yang melihat tingkah kasarnya."Jadi seperti ini kelakuanmu sekarang?! Kamu tidak pecus urus Reza karena sibuk gonta ganti pacar?!!!" Bentak Mas Yogi.Candra yang melihatku dibentak olehnya segera membelaku."Jangan bicara keras pada perempuan." Katanya yang langsung berada didepanku."Memang kamu siapanya Reina?!" Tanya dia emosi."Sudah ku bilang aku tunangannya!!!" Kini Candra mulai membentak Mas Yogi."Kamu memang perempuan murahan Re!!! Dimana tunanganmu yang satunya lagi???!!!" Teriak Mas Yogi yang membuat orang disekitar menatap kami.Plaaaakkkkkkkkk, Sebuah tamparan keras mengenai pipi Mas Yogi. Tamparan dari Bapak. D
Sudah berkali kali aku pingsan sebelum Reza dimandikan. Aku bahkan tidak bisa ikut memandikan jenazahnya.Setelah semua beres, kami keluarganya juga beberapa tetangga ikut dalam prosesi pemakaman Reza. Candra menggandeng tanganku. Ibu dan Bapak berdiri disampingku. Mas Yogi juga ikut mendampingiku. Prosesi pemakaman berjalan lancar. Para tetangga berbondong bondong pulang setelah semuanya selesai, disusul Ibu juga Bapak.Aku masih terpaku disana. Melihat gundukan tanah yang mengubur anakku itu."Semoga kamu bahagia disana Nak." Kataku lirih.Candra dan Mas Yogi juga masih menemaniku. Mas Yogi tampak sedih juga menyesal."Maafkan Papa Za. Gara gara keegoisan Papa, kamu harus melihat orang tuamu berpisah. Pasti berat buatmu Nak." Ujarnya.Setelah mendoakannya, Candra kemudian mengajakku untuk pulang. Mas Yogi yang masih bersedih disana, ku tinggalkan begitu saja. Walaupun kasihan, namun dia tetap bukan suamiku lagi.Sesampainya dirumah, kulihat tamu tamu sudah berdatangan. Mereka dat
Malam itu, masih dalam suasana duka. Ibu dan Bapak berpamitan untuk pergi ke rumah sakit. Mereka ingin menemani Diki, Bagaimanapun juga, Reza telah tiada."Kamu dirumah aja gak papa Re. Kami saja yang ke rumah sakit." Kata Ibu ketika berpamitan."Bolehkah Reina ikut, Bu? Reina ingin bertemu Diki juga. Kami belum bertemu sama sekali setelah dia sadar." Jawabku."Apa kamu gak papa Re? Lebih baik istirahat dirumah saja." Sahut Bapak."Tidak Pak. Aku ikut ke rumah sakit saja. Lagian aku hanya akan bersedih jika sendirian dirumah." Lanjutku."Baiklah." Kata Bapak lalu menyuruhku untuk bersiap siap.Usai bersiap kami langsung pergi ke rumah sakit. Diki pasti merasa sangat bersalah dengan kejadian ini. Om Riko ternyata sudah menunggu kami didepan. Dia karyawan paling setia di showroom Bapak."Mari masuk Re, hati hati." Katanya mempersilahkanku masuk ke mobil."Terimakasih Om." Jawabku masih lemas.Mobil segera berjalan setelah Ibu dan Bapak juga masuk. "Bagaimana kondisi Diki?" Tanya Om Ri
Aku mengikuti Ratna masuk ke ruanh rawat Diki. Disana ku melihat dia masih bergaya sopan didepan Bapak juga Ibu. Dia benar benar sedang cari muka pada orang tuaku."Kamu tau Diki kecelakaan dari siapa?" Tanya Bapak sopan."Dari teman Om, Mas Yogi. Dia juga temanku." Katanya polos."Kamu juga kenal dengan laki laki brengsek itu?" Tanya Bapak kemudian."Apa Om bilang tadi? Laki laki brengsek? dia terlihat orang yang baik dan polos." Jawab Ratna."Jangan dekat dekat dengannya, nanti kamu masuk perangkapnya." Lanjut Bapak.Aku, Ibu dan Diki sangat tidak tahan mendengar Ratna membodohi Bapak seperti itu. Ingin sekali ku ungkap jika dialah wanita yang membuat Mas Yogi pergi meninggalkanku. Namun jika ku ungkap soal itu, Ratna pasti akan mengatakan soal hubungannya dengan Diki. Karena tidak ingin Bapak tau soal hal itu, Akhirnya untuk sekarang, aku terpaksa mengikuti permainannya."Oh gitu ya Om. Em, sebenarnya aku juga kenal seorang lelaki, Lelaki ini amat ku cintai. Namun sepertinya kelua
Polisi menghubungiku setelah dua hari yang lalu ku laporkan masalah kecelakaan yang menimpa Diki."Selamat pagi Bu Reina." Kata pak polisi."Iya Pak, selamat pagi.""Kami akan mengabarkan, bahwasanya setelah kami selidiki, ternyata kecelakaan itu benar benar sengaja dibuat oleh seseorang." Kata pak polisi."Jadi beneran ada yang sengaja mau mencelakai adik dan anak saya Pak?""Iya Bu. Untuk sekarang kami masih mencari bukti, butuh beberapa hari untuk kami menyelidiki siapa orang yang ada dibalik ini semua.""Oh, baik pak kalau begitu.""Mungkin Ibu ada musuh atau seseorang yang punya dendam dengan Ibu?" Tanya Pak polisi."Sepertinya saya tidak punya musuh pak. Tapi orang yang tidak menyukai saya, ada." Kataku jujur.Benarkah Ratna? Hanya dia satu satunya orang yang tidak menyukaiku."Boleh Ibu beri tahu kami, agar kami dapat menyelidikinya." Kata polisi.Akhirnya, ku beritahu nama juga alamat tempatnya bekerja."Baik Bu. Terimakasih atas informasinya. Ini sangat membantu kami." Kata P
Empat hari sudah polisi menyelidiki kasus kecelakaan Diki. Namun belum ada kabar dari mereka. Sepertinya mereka belum menemukan siapa pelaku dari kasus kecelakaan ini."Kenapa melamun?" Tanya Candra yang masih berada dirumahku setelah menjemputku tadi."Masih nungguin kabar dari polisi Ndra." Jawabku."Soal apa?" Tanya dia yang memang belum ku beri tahu masalahnya."Kecelakaan Diki." Jawabku."Kamu lapor polisi Re?" Tanya Candra."I_iya Ndra. Diki berkata bahwa dia melihat sebuah mobil yang sengaja ingin menabraknya." Jawabku."Kenapa kamu gak kasih tau aku? Aku kan bisa menyelidikinya juga Re." Jawabnya."Maaf Ndra. Aku masih belum yakin soalnya, sehingga aku tidak memberitahumu. Aku hanya memberi tahu polisi saja. Mereka pasti akan menyelidiki lebih lanjut lagi." Jawabku."Dimana Diki? Bolehkah aku menemuinya?" Tanya Candra."Bukannya kamu udah sering menjenguknya?" Tanyaku. Candra memang hampir tiap hari menjenguk Diki ketika kesini."Ini masalahnya lain Re. Aku mesti bertanya leb
Pagi harinya, saat kami sedang sarapan, terdengar suara mobil Candra datang. Sepertinya dia tidak kesiangan lagi hari ini."Assalamualaikum." Salam Candra.Aku keluar untuk mempersilahkannya masuk. Ku ajak dia ke ruang makan untukku ajak sarapan sekalian."Ayo ikut sarapan sekalian Nak Candra." Ajak Bapak."Iya Om, saya sudah sarapan barusan." Jawab Candra."Jadi gak mau gabung nih?" Tanya Ibu."Iya tante makasih. Lain kali saja." Jawab Candra.Karena Candra tidak ikut bergabung maka aku segera menghabiskan sarapanku. Merasa tidak enak jika membuatnya menunggu terlalu lama."Ya udah ayo!" Ajakku yang sudah menyelesaikan sarapan."Kok buru buru Re. Habisin dulu aja gak papa." Lanjut Candra."Udah Ndra. Aku udah kenyang." Jawabku.Kami pun berangkat setelah berpamitan.Dalam perjalanan, Candra terlihat khawatir. Sepertinya ada yang sedang dipikirkan."Kamu kenapa Ndra? Kok kaya cemas gitu?" Tanyaku."Em_em gimaja ya Re? Aku mau mulai ngomongnya dari mana?" Kata Candra."Ngomong aja, g
Sore itu ketika aku hendak membaringkan badan ke kasur, tiba tiba ponselku berbunyi. Telepon dari Candra."Halo, ada apa Ndra." Tanyaku. Candra meneleponku padahal baru saja pergi dari rumahku beberapa menit yang lalu."Aku baru saja nemuin Kak Serli. Dia terlihat bingung ketika ku tanya soal kecelakaan." Lanjut Candra."Berarti bukan dia pelakunya Ndra." Jawabku."Iya, sepertinya aku salah sangka Re. Oh ya, soal jam tangan yang tadi kamu titipin ke aku, udah aku kembalikan pada Kak Serli." Sambungnya."Apa dia marah?" Tanyaku."Dia diam saja. Dia beralasan jika dia cuma ingin dekat dengan calon adik iparnya." Ujar Candra."Mungkin memang benar apa katanya Ndra." "Gak mungkin Re. Dia bukan tipe orang seperti itu. Pasti dia punya niat lain, namun dia pandai mencari alasan." Sambungnya."Ya udah Ndra. Gak papa, asal dia gak marah. Dan soal kecelakaan itu, aku yakin bukan Bu Serli orangnya." Tambahku."Iya Re. Semoga polisi cepat menemukan pelaku yang sebenarnya." Ucap Candra.Setelah i
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken