"Oh ya Wul, kenapa kemarin suamimu datang? Mau apa dia?" tanya Candra saat mengantarku pulang."Entah Ndra apa yang sebenarnya dia mau." Jawabku.Candra tidak bertanya lagi setelah mendengar jawabanku. Dia kemudian mengalihkan pembicaraan."Oh ya Wul, kenapa kamu gak pernah tanya tentang pekerjaanku? Apa kamu gak penasaran kenapa aku selalu bisa menemuimu kapanpun??" Tanya Candra."Memangnya apa pekerjaanmu?" Tanyaku akhirnya. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan pekerjaan seseorang. Karena bagiku, seseorang tidak bisa diukur dari pekerjaannya. Aku tidak pernah mempermasalahkan tentang pekerjaan teman temanku. Asal mereka asik dan aku merasa nyaman, mereka tetap temanku."Sebenarnya aku seorang penulis. Aku baru akan menerbitkan buku ke duaku." Lanjutnya."Penulis? Wah keren Ndra." Jawabku."Awalnya sih emang hanya iseng iseng aja Wul. Ngungkapin apa yang ada diotakku, tapi lama kelamaan, aku semakin tertarik untuk masuk lebih jauh lagi. Ternyata menyenangkan." Terangnya."Kapan
Setelah berpisah dengan Reina, aku mulai menjalani hidupku bersama Ratna. Dia akan segera menjadi istriku. Ratna sangat baik dan menyayangiku. Setiap hari ratna selalu datang ke apartemenku. Dia selalu mengatakan jika dia ingin segera menjadi istriku. Hubungan kami selalu baik baik saja. Namun entah apa motivasi Reina, dia selalu mengatakan bahwa Ratna perempuan yang jahat. Dia selalu saja menyuruhku untuk berhati hati. Mungkin dia melakukannya karena belum sepenuhnya merelakanku. Dia masih mengharapkanku kembali padanya, pikirku selalu.Setelah berpisah dariku, kulihat kehidupan ekonominya semakin membaik. Ku dengar juga dia sekarang menjadi seorang manejer keuangan di suatu perusahaan. Aku senang melihat mantan istriku itu bisa bertahan hidup walaupun tanpa adanya diriku. Dia juga bisa menyekolahkan Reza dan membiayai semua fasilitas Reza.Sedangkan hubunganku dengan Ratna, semakin hari semakin memburuk. Dia terlihat berubah akhir akhir ini. Dia jadi jarang datang ke apartemenk
Ibu belum bangun juga ketika aku sudah selesai masak. Ku suruh Diki untuk membangunkannya."Tolong bangunkan Ibu Dik. Dia harus tetap makan walaupun sakit." Kataku."Iya Kak." Jawab Diki kemudian berjalan menuju kamar Ibu.Diki belum juga kembali setelah pergi beberapa menit yang lalu. Aku dan Reza masih menunggu mereka untuk makan bersama."Ma, kok lama banget Nenek sama Om Diki? Reza udah keburu lapar nih." Katanya."Ya udah Reza makan duluan ya. Sini Mama ambilin nasi sama lauknya." Kataku.Setelah mengambilkan nasi juga lauknya, aku segera menyusul Diki ke kamar ibu."Belum bangun juga Ibu Dik?" Tanyaku heran."Belum Kak. Badan Ibu panas banget, Ibu demam kak." Kata Diki sembari memegang megang jidat Ibu."Ya udah Kakak ambil air buat konpres ya." Kataku kemudian berlari menuju dapur.Ibu masih menggigil setelah ku kompres. Sepertinya Ibu harus dibawa ke rumah sakit jika kondisi belum mendingan."Telepon Bapak aja Kak." Kata Diki selanjutnya."Jangan Dik. Nanti bapak khawatir. Ki
Candra? Apa mungkin dia adalah Candra yang selama ini ku kenal?Arghhhhhhh, Bukan. Pasti Bukan Dia. Mana mungkin Bapak kenal dengan orang tuanya. "Bagaimana menurutmu Re? Mungkin saja kamu jadi berubah pikiran karena mendengar namanya?" Tanya Bapak lagi."Jawaban Reina masih sama Pak." Kataku.Bapak lalu pergi setelah mendengar jawabanku. Dia tidak memaksaku untuk setuju dengan apa yang dia mau."Eh, sebentar Pak. Apa Bapak tau nama lengkapnya?" Tanyaku menghentikan langkah Bapak."Aduh, Bapak tidak tau kalau nama lengkapnya Re. Tapi yang bapak tau dia pria yang baik." Jawab Bapak lalu keluar dari kamarku.Setelah Bapak pergi, aku kemudian teringat dengan apa yang Candra katakan ditelepon tadi. Dia bilang dia hanya menjadi aset Kakaknya? Apa berarti dia tinggal bersama Bu Serli. Lalu dimana orang tuanya? Karena dulu kita memang tidak terlalu dekat, aku tidak begitu tau tentang keluarganya. Lagian tidak baik juga ikut campur urusan keluarga orang. Perasaan penasaranku tidak kunjun
Sesampaiku dikantor, ku lihat Bu Serli sudah berdiri didepan pintu ruanganku. Sepertinya dia sengaja menungguku."Selamat pagi Re." Sapa Bu Serli."Iya Bu selamat pagi. Ada apa Ibu pagi pagi menemui saya?" Tanyaku heran. Dia bahkan jarang sekali pergi ke kantor selama ini."Saya mau minta tolong sama kamu Re, boelh?" Lanjutnya."Minta tolong apa Bu?" "Tolong bujuk Candra untuk pulang ya Re. Sepertinya hanya kamu yang bisa menghubunginya." Sambung Bu Serli.Apa Candra belum pulang juga? Kemana dia sebenarnya?"Baik Bu. Nanti saya coba hubungi dia kembali. Memangnya Candra masih belum mengangkat telepon Ibu?" "Belum Re. Dia masih marah dengan saya sepertinya." Tambah Bu Serli.Ternyata Candra beneran marah seperti apa yang dikatakannya. Dia mungkin marah karena bu serli hanya menganggapnya aset."Em, maaf sebelumnya Bu. Ada masalah apa sebenarnya hingga dia pergi?" Tanyaku ragu ragu. Takut Bu Serli akan marah."Cuma hal sepele Re. Aku menyuruh dia meyakinkan Mas Hisyam jika dia mampu
Usai bekerja, seperti yang sudah dibicarakan via telepon semalam, Fida menungguku untuk bersama sama ke butik. Dia ingin mencari baju disana, mungkin aja ada yang ia suka."Hai Da, udah lama menunggu?"Tanyaku yang sudah melihat Fida di depan kantor."Baru aja Re. Ya udah, tunggu ya! Aku ambil mobil dulu." Fida pergi ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Sembari menunggu, ku buka ponselku. Siapa tau ada pesan masuk yang belum terbaca.[Re, Candra jadi kesini. Dia bersedia menunggu sampai kamu pulang.] Ternyata pesan dari Ibu.Dia jadi datang? Bukannya aku sudah menyuruh Ibu untuk menundanya?Karena merasa tidak enak jika membuat Fida kecewa, akhirnya aku pergi ke butik dengannya dulu. Biarkan Candra menungguku dirumah. Dia juga bilang akan menunggu sampai aku pulang."Ayo Re." Ajak Fida yang berhenti didepanku.Aku segera masuk dan duduk disebelahnya. Kini hubungan kami sudah baik baik saja. Sudah kembali seperti dulu. Aku bahkan sudah melupakan apa yang Fida perbuat tempo hari."Oh
Sesampainya aku dirumah, Bapak dan Ibu terlihat sengaja menungguku untuk meminta penjelasanku kenapa terlambat pulang. Kali ini kulihat wajah mereka serius."Kenapa baru pulang Re? Gak biasanya pulang terlambat." Tanya Ibu setelah aku duduk bergabung bersama mereka."Maaf Pak, Bu. Tadi Reina ke butik dulu. Lihat perkembangan butik." Jawabku."Kamu sengaja menghindari Candra ya? Kenapa ke butiknya harus hari ini, Kan bisa besuk." Kata Bapak."Reina baru buka pesan dari Ibu ketika sedang berjalan ke butik. Sayang aja kalau harus berbalik arah udah hampir sampai soalnya. Lagian kata Ibu, Candra bersedia menunggu Reina sampai Reina pulang." Jelasku."Iya tadinya memang mau menunggu, tapi dia tiba tiba ada urusan mendadak." Sahut Ibu.Haruskah aku menanyakan nama lengkapnya sekali lagi pada Bapak? Mungkin kali ini dia sudah tau nama lengkapnya. Tapi apa ini ide yang baik? Jika mungkin Candra yang dimaksud adalah Candra temanku, Bapak pasti akan senang karena kami sudah saling mengenal se
"Malam ini Candra akan ke sini Re." Kata Ibu setelah melihatku pulang."Kenapa gak bilang Reina dulu Bu?"Kataku sedikit kesal."Kamu selalu menghindar jika Ibu bilang. Nanti malam Candra akan datang bersama orang tuanya." Kata Bapak menimpali.Berarti Candra akan benar benar kesini. Berarti Ibu dan Bapak juga akan tau jika yang kemarin datang bukan Candra, melainkan orang suruhan Candra."Kamu siap siap dulu, mandi sana." Kata Ibu.Karena tidak ingin membuat Ibu atau Bapak merasa kecewa, akhirnya ku turuti juga kemauan mereka. Selesai mandi, aku segera membantu Ibu didapur. Memasak cemilan yang akan dihidangkan untuk Candra dan kekuarganya."Sini Reina bantuin, Bu." Kataku yang melihat Ibu sibuk didapur."Itu kamu goreng kacang aja Re, biar ibu yang masak ikan." Lanjut Ibu.Ibu terlihat bahagia menyambut kedatangan keluarga Candra. Semoga Ibu tidak kecewa jika melihat Candra yang asli datang, pikirku.Setelah semua makanan siap, kami lalu menunggu kedatangan mereka. Tak lama kami men
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken