Tamparan keras mendarat di pipi Kevin.Kevin masih merasakan panas di pipinya ketika matanya menangkap bayangan sosok yang sangat di kenalnya. Dan kini berdiri di depannya dengan penuh amarah. Dia adalah Lilian, mamanya.Wajah Lilian penuh amarah, matanya berkilat-kilat menatap Kevin sebelum beralih ke sosok di belakangnya. Maira, yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut, menegang di tempatnya."Jadi perempuan ini yang membuatmu lupa diri?" Suara Lilian terdengar tajam dan penuh penghinaan. "Seorang perempuan murahan yang menggoda putraku untuk mendapatkan uangnya?"Maira terperanjat. "Ma … maaf, Tante, saya tidak ….""Keluar!" Lilian menunjuk ke pintu dengan penuh wibawa. "Aku tidak ingin melihat pel*cur seperti kau ada di sini!"Wajah Maira memucat. Matanya melirik Kevin, berharap ada pembelaan. Namun, Kevin hanya diam, ekspresinya dingin."Tante, saya tidak menggoda Kevin. Kami hanya ….""Hanya apa?" Lilian menyeringai sinis. "Kau pikir aku tidak tahu tipe perempuan sepertimu? Y
Hari-hari setelah malam gala dinner terasa berbeda. Hubungan antara Cinta dan Rama berubah seolah tanpa batasan.Dendam yang dulu membara di dada Rama kini hanya menyisakan gairah yang semakin sulit ia kendalikan. Ia mulai melihat Cinta bukan hanya sebagai perempuan yang ia sewa untuk memuaskan nafsu semata, tetapi sebagai seseorang yang mengisi hari-harinya dengan cara yang tak pernah ia duga.Di sisi lain, Cinta tetap berusaha menjalani perannya dengan profesional. Ia tahu ini hanya sementara, dan hitung mundur menuju perpisahan mereka semakin dekat. Cinta sadar jika dia harus bisa mengendalikan diri agar tidak terbawa perasaan.Kini mereka menjalani hari-hari yang terasa seperti rutinitas pasangan sebenarnya. Di siang hari, mereka bertemu dengan klien-klien penting, menghadiri pertemuan bisnis, dan menikmati makan malam di restoran mewah.Rama selalu memastikan bahwa Cinta tampil sempurna setiap kali mereka bersama. Tidak peduli berapa uang yang dia keluarkan untuk membelikan Cinta
Evita duduk dengan tenang di kursinya, menyesap kopi yang baru saja disajikan. Di hadapannya, seorang pria berpenampilan rapi meletakkan amplop cokelat di atas meja. Senyumnya tipis, penuh arti, seolah menikmati ekspresi Evita yang berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar."Seperti yang saya katakan sebelumnya, Nona Evita," ujar pria itu, menyandarkan tubuh ke kursinya, "Tuan Rama bukan pria yang bersih yang selama ini Anda bayangkan."Evita menatapnya tajam, lalu membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa foto, Rama di lobi hotel mewah, Rama di restoran bersama seorang perempuan berbeda di setiap tempat, Rama memasuki kamar hotel dengan seorang wanita yang jelas bukan pasangan tetapnya."Setiap kali dia melakukan perjalanan bisnis, selalu ada perempuan yang menemani," lanjut pria itu. "Mereka bukan sekadar rekan bisnis atau kolega. Mereka adalah perempuan bayaran, kelas atas, tentu saja."Evita meremas foto-foto itu dengan erat. Hatinya terasa panas. "Dan sekarang?"Pria itu
Cinta melangkah lebih dulu, melewati Rama tanpa menoleh. Tapi saat dia sampai di pintu, suara Rama menghentikannya.“Apa yang akan membuatmu bertahan di sisiku?” tanya Rama, suaranya berat, penuh dengan beban yang sulit terucapkan.Cinta berhenti, tangannya menggenggam erat kopernya menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Dia menoleh sedikit, hanya cukup untuk melihat bayangan Rama di sudut matanya.“Dalam hidup ini, tidak semuanya bisa kau miliki, Rama. Termasuk aku.” Suara Cinta hampir bergetar, tapi coba dia tahan. Cinta tak ingin Rama melihat sisi rapuh dalam dirinya.Rama berdiri mematung dengan perasaan yang sulit dia jelaskan. Tatap matanya tertuju pada punggung Cinta yang semakin menjauh meninggalkannya pergi. Kembali Rama harus merasakan kehampaan seperti saat dia mendengar pernikahan Cinta dengan Kevin. Hal yang membuatnya mengenal dunia malam dan senang bermain perempuan.Tetapi, tampaknya Rama bukanlah pria yang mudah menyerah. Dia mengejar Cinta, langkahnya cepat, penuh t
Gerakan Cinta saat menuruni ranjang membuat Chiara terbangun. Matanya berkedip perlahan sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Bocah kecil itu menggeliat, sebelum akhirnya ia melihat sosok yang begitu dirindukan telah berada di hadapannya.“Mama!” Suara Chiara melengking penuh kebahagiaan.Cinta terkejut dan menghentikan langkahnya. Melihat putrinya yang kepayahan untuk menghampirinya, Cinta pun bergegas mendakti puutrinya lebih dahulu. Pelukan erat nan hangat langsung menyambut Cinta.“Mama pulang! Mama pulang!” suaranya dipenuhi kegembiraan, dan tubuh kecilnya bergetar karena tangis bahagia.Cinta tersenyum sambil menahan air matanya. Ia membalas pelukan Chiara, meresapi setiap detik kebersamaan ini.“Iya, Sayang... Mama pulang,” ucap Cinta penuh kehangatan.Chiara mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Mama lihat! Aku bisa jalan lagi!”Dengan hati-hati, dia meraih alat bantu jalannya yang diletakkan di sisi ranjang. Perlahan, dia berusaha berdiri. Kakinya masih tampak lemah, tapi ad
Mata Rama menyipit tajam. Ia merasakan dadanya menegang saat menyadari jika sang mama mengetahui perilaku buruknya selama ini.Widya tersenyum miring, menyadari reaksi putranya. "Kau kira mama tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini."Rama hanya diam, tanganya mengepal kuat."Bermain-main dengan perempuan bayaran, menghambur-hamburkan uang," Widya melanjutkan, suaranya seperti pisau bedah yang memotong tanpa ampun. "Kau harus berubah, Rama. Kau adalah satu-satunya pewaris keluarga Narendra. Kau yang akan menjadi penerus pucuk pimpinan perusahaan kita."Rama menatap lantai, tapi dengan keras kepalanya dia tetap tidak bisa menerima. "Beri aku satu kesempatan lagi," bisik Rama dengan suaranya yang parau. "Beri aku satu kesempatan lagi untuk mencari Cinta."Widya menghela napas panjang, menahan amarah yang dipendam menghadapi Rama yang sulit diatur."Evita mencintaimu," ucap Widya dengan suara yang meninggi. "Apa lagi yang kau cari?"“Cinta, Ma. Cinta Prameswari.”Widya menghembuskan n
Bunda Aminah menatap Chiara yang kini sudah terlihat asik berkumpul dengan anak-anak yang lain. Perempuan paruh baya itu sengaja menyingkirkan Chiara, karena dia tidak ingin bocah itu mendengar pembicaraan dewasa antara dirinya dengan Cinta.Bunda Aminah menghela napas pelan, menatap Cinta dengan penuh kasih sayang. Di hadapannya, wanita muda itu tampak letih, namun tetap berusaha menyembunyikan kegelisahannya."lalu kau mau ke mana?" tanya Bunda Aminah lembut. Dia bisa memahami alasan Cinta yang ingin segera meninggalkan panti asuhanCinta menggeleng. "Saya belum tahu, Bunda. Saya harus mencari tempat tinggal dulu, tapi tanpa pekerjaan tetap, saya tidak tahu harus mulai dari mana."Bunda Aminah menatapnya prihatin. "Chiara bisa kau titipkan di sini selama kau belum mendapat tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Untuk masalah dengan Bu Widya, nanti itu urusan Bunda."Cinta tersenyum tipis, namun sorot matanya sendu. "Terima kasih, Bunda. Saya akan berusaha secepatnya mendapat pekerjaan
Rama berdiri tegap di depan meja kerja ayahnya, Arman. Di tangannya, setumpuk dokumen penting yang berisi laporan hasil perjalanannya. Dengan tenang, ia menyerahkan dokumen itu, sementara Arman membukanya dengan penuh minat.Ruangan itu sunyi sesaat, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibalik dengan teliti. Wajah Arman menunjukkan ekspresi puas seiring dia membaca satu per satu isi laporan. Setelah beberapa menit, dia akhirnya menutup map itu dan menepuk pundak Rama dengan bangga.“Bagus sekali, Rama,” ucap Arman dengan penuh kebanggaan. “Kau tidak pulang dengan tangan hampa. Kontrak ini adalah bukti bahwa kau memang sudah siap mengambil peran yang lebih besar.”Rama hanya tersenyum tipis. Dia sudah terbiasa dengan pujian seperti ini dari ayahnya—pujian yang selalu datang setelah sebuah pencapaian. Tetapi, bukan itu yang dia cari. Dia ingin diakui bukan hanya karena hasil kerjanya, tapi sebagai dirinya sendiri.Arman bersandar di kursinya, menyilangkan jari-jari tangannya di a
Waktu seakan berhenti. Tidak ada suara lain yang terdengar di telinga Rama, selain degup jantungnya sendiri.Ingin rasanya Rama bangkit dari tempat duduknya, berlari dan merengkuh pinggang Cinta. Ingin rasanya menculiknya dan langsung membawanya ke hotel terdekat. Rama sudah tidak sanggup menahan gairah, dia ingin mengulang saat-saat intim bersama Cinta.Tapi akal sehat Rama masih menahannya di kursi, duduk manis hanya menatap, dan menunggu reaksi pertama dari Cinta.Dan Cinta… masih berdiri di tempat. Seolah hatinya belum memutuskan apakah dia harus menghampiri Rama, atau justru kembali melangkah menjauh sebelum semuanya dimulai kembali.“Mbak, tamunya nunggu sudah lama,” ucap Rizka pelan dan ragu-ragu, karena melihat reaksi Cinta yang sangat berbeda. Sangat serius dan ada ketakutan.Cinta mengangguk pelan diikuti hembusan napas kasar. “Ya, aku akan ke sana.”Tidak ada guna lari, karena Rama akan terus mengejarnya. Seperti halnya masalah dengan Nora, dia pun akan menghadapi Rama.Di
Rama memejamkan mata sejenak. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Arman bukan hanya restu, tapi ujian. Ujian tentang kesungguhan dan harga diri. Bukan hanya kesungguhan atas rasa cintanya, tetapi juga niatnya untuk berubah. “Terima kasih, Pa. Aku akan buktikan,” ucap Rama ketika membuka mata dan menatap sang ayah.Arman mengangguk. “Lakukan dengan tenang. Jangan gegabah. Mamamu biar papa yang urus.”Meski Arman sadar meyakinkan Widya bukanlah hal yang mudah, tetapi dia tetap mendukung putranya. Sudah terlalu lama putranya tersesat. Motivasi apa pun yang akan membawa perubahan akan dia dukung dengan sepenuh hati.***Hari yang dinantikan Rama akhirnya tiba. Dengan langkah mantap, dia melangkah keluar dari rumah.Rama mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi, dipadukan dengan celana panjang warna abu tua. Jasnya belum dikenakan, masih disampirkan di lengan. Wajahnya bersih, segar, dan kali ini tak ada aroma parfum yang berlebihan atau gaya yang mencolok. Hanya lelaki biasa yang
Rama berdiri di ambang pintu ruang kerja ayahnya, memandangi sosok Arman Wijaya yang sedang membetulkan dasi di depan cermin. Setelan jas abu-abu gelap membungkus tubuh tegap itu, seolah menghapus bayang-bayang sakit yang sempat membuat Rama resah berminggu-minggu“Hari ini papa akan kembali ke kantor?” tanya Rama sambil menatap dengan saksama sang papa, seolah ingin memastikan jika pria di hadapannya sudah benar-benar sehat.Arman menoleh dan tersenyum kecil. “Papa sudah cukup istirahat. Perusahaan butuh orang tua seperti papa untuk mengingatkan anak muda seperti kamu agar tidak terlalu ambisius.”Meski tidak ke kantor, tetapi informasi tetap mengalir kepada Arman. Terutama proyek besar yang berhubungan dengan Narendra Green Dinamic. Selain itu juga Rama yang selalu lembur, entah karena terlalu antusias atau ada target lain yang dia kejar.Rama tertawa kecil, rasa lega menyelinap dalam dada. Ia mengangguk, “Papa tahu kan, aku tidak akan main-main dengan tanggung jawab.”“Dan Papa tah
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O
Nora. Sahabat masa kecil, seseorang yang dulu tidur di ranjang sebelah di panti asuhan. Yang berbagi sepotong roti dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang lebih baik. Tetapi dia adalah perempuan yang telah menghancurkan hidup Cinta. Dengan kata-kata manis dan senyum pura-pura, Nora menggiringnya ke dalam perangkap. Membuatnya percaya bahwa pekerjaan itu akan membawa kehidupan lebih baik, tetapi yang ia dapatkah adalah kehinaan. Kehinaan bersama Rama. Satu bulan menjadi budak nafsu mantan kekasihnya, sampai kini masih menghantui tidurnya.Sekarang, Nora duduk santai, tertawa pelan, tanpa beban. Seolah semua itu tak pernah terjadi. Seolah mereka masih dua anak yatim piatu yang saling menjaga.Tiara menoleh dan melambaikan tangan dengan wajah senang melihat kehadiran Cinta. “Kak Cintaaa! Lihat Kak Nora datang."Cinta mengangguk pelan. Senyum kecil dipaksakan, meski tangan yang menggenggam alat bantu jalan Chiara mulai gemetar.Nora bangkit dari duduknya, menghampiri Cinta lalu