Sebuah rejeki yang luar biasa bagi Nuri yang tidak menyangka, bahwa pembukaan warung basonya hari ini sangat ramai.. Sejak buka pukul sebelas sampai sekarang jam tiga sore, Nuri sama sekali belum istirahat. Hanya saat solat zuhur dan makan siang tadi, itu pun terburu-buru karena pembeli datang silih berganti. Bukan hanya yang makan di tempat, tetapi juga yang datang mampir bungkus. Untunglah ada Udin, jika tidak, ia bisa pingsan karena tidak ada yang membantunya. Udin bolak-balik mengantar mangkuk baso pada pembeli yang sudah menunggu pesanan mereka. Udin juga membantunya membuatkan minum pembeli. Baru ada es teh manis dan juga teh hangat. Untuk aneka jus, ia belum sempat untuk menyediakannya. "Mbak, mi ayam gak ada ya?" tanya salah satu pembeli pada Nuri. "Iya, Mbak, baru ada baso saja," jawab Nuri. "Ya sudah, baso setengah dua mangkuk. Yang satu pakai mie kuning aja, yang satu mi campur." Nuri mengangguk sambil memperhatikan di mana pembelinya duduk. Ia mulai menyiapkan sesuai p
Nuri tidak berdaya. Tubuhnya masih penyesuaian di hari pertama jualan. Mata mengantuk dan rasa lelah yang luar biasa. Begitu selesai mandi, Nuri solat magrib, dan langsung berbaring di kasur. Drt! Drt! Tanpa melihat siapa yang menelepon, Nuri langsung saja mengangkat panggilan itu. "Halo, assalamu'alaikum, Nuri.""Wa'alaykumussalam, Mas.""Nuri, saya di depan warung, kenapa tutup ya? Apa gak jadi pembukaan hari ini?""Ya Allah, Mas di depan ya. Udah habis, Mas. Jam setengah lima udah habis, Mas. Ini saya malah lagi rebahan, lagi merasakan lelah luar biasa.""Yah, sayang banget, padahal saya mau nyobain masakan kamu. Jadi saya pulang lagi dong nih?""Iya, Mas, maaf ya. Saya ngantuk berat dan beneran capek. Untung tadi ada Udin yang bantuin cuci mangkuk dan panci. Saya udah gak sanggup, Mas. Besok buka jam sebelas, Mas. Datang awal saja ya, Mas, biar kebagian." "Ya sudah, gak papa. Kamu istirahat saja.""Oke, Mas, assalamu'alaikum." Nuri sudah setengah sadar. Ponselnya ia matikan ag
Pria itu masih tidak percaya kalau mantan istrinya membuka warung baso dan laris pula. Berarti Nuri memang bisa memasak. Buktinya ia pandai membuat baso, bahkan membuka warung baso. Jika hanya sekedar bisa, tentu saja ia tidak akan nekat. Berarti Nuri memang mahir, tetapi kenapa saat masih bersamanya, masakan Nuri selalu asin? Terakhir ia menikmati makan sore buatan Nuri memang rasanya pas. Video Nuri yang tengah melayani pembeli di warungnya, selalu berputar di kepalanya. Ma, bagi video Nuri tadi. SendMamaEmmoh!Dika tertawa. Mamanya tidak mau mengirimkan video Nuri tadi karena mamanya ingin balas dendam dengannya. Kring! Kring! Nama Tika muncul di layar setelah ia mengabaikan tiga puluh misscall dari Tika. "Halo, Tika, gimana? Udah enakan? Masih meriang gak?""Enakan apa sih, Pak? Bapak tuh aneh! Kenapa saya dibalikin lagi ke kosan dan Bapak malah pulang?" "Loh, katanya kamu kedinginan, jadinya aku kirain kamu demam, gak enak badan, jadinya aku antar ke kosan saja. Apa sala
Bab 72"Assalamu'alaikum! Permisi, Mbak?" Terdengar teriakan seorang lelaki di luar kontrakan. Nuri yang tengah mengaduk kuah baso bergegas berjalan menuju pintu. Tampak pemuda asing berdiri di depan kontrakannya. "Wa'alaykumussalam, Ardi, ya?" tebak Nuri. "Wah, Mbak dukun, ya? Kok bisa tahu nama saya?" jawab si Pemuda yang belum diketahui namanya. Nuri sontak berdecak kesal. "Jangan sampai saya nggak jadi terima kamu kerja, ya," sahutnya. Ia yakin pemuda yang berdiri di hadapannya itu pasti teman Udin. Memangnya siapa lagi lelaki yang akan datang ke kontrakannya? "Eh, jangan dong, Mbak. Perkenalkan, saya Ardi, temannya Udin. Dia bilang Mbak butuh orang buat bantu jualan baso, ya? Udin nyuruh saya datang ke alamat ini, Mbak." Pemuda yang tidak lain memang Ardi tersebut cepat-cepat meminta maaf. Jangan sampai Nuri tidak jadi memperkerjakannya karena sikap kurang akhlaknya barusan. "Iya, saya udah tahu. Kamu beneran mau bantuin saya?" tanya Nuri serius. "Iya, seriuslah, Mbak. Asal
Bab 73Dika benar-benar memenuhi janjinya kepada Nuri semalam. Ia akhirnya bisa datang ke warung baso milik wanita itu setelah memohon-mohon meminta alamat kepada mamanya. Awalnya Bu Widya tidak mau memberikan alamat warung baso Nuri. Ia tidak mau putranya berbuat macam-macam di sana. Namun, karena Dika menjanjikan akan membelikan apa pun yang dia inginkan, Bu Widya pun setuju. Asalkan Dika berjanji tidak akan memperumit kehidupan Nuri yang sudah rumit. "Assalamu'alaikum, Nuri," ujar Dika mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam. Mas Dika," jawab Nuri. Walau bagaimanapun, Dika adalah calon pembelinya. Ia harus bersikap ramah kepada siapa pun yang datang. " Saya dapat alamat warung kamu dari Mama," kata Dika memberitahu tanpa ditanya. "Oh, gitu. Mas mau pesan apa?" Nuri tampak tidak terlalu peduli dengan pemberitahuan Dika tadi. "Saya juga nggak bawa Tika, sesuai permintaan kamu." Dika lagi-lagi membahas hal yang seharusnya tidak dibahas. Toh, Nuri sudah melihat sendiri kalau Dika d
Tika berdecak sebal sampai-sampai ingin membanting ponselnya ke tembok. Ia meremas selimutnya dengan kuat sambil membayangkan wajah Dika. Sejak kemarin sikap Dika selalu saja menjengkelkan. Kali ini pria itu lagi-lagi berulah dengan cara tidak mengaktifan nomor teleponnya. Alhasil, Tika menjadi resah dan heboh sendiri. Entah sudah berapa kali gadis itu berguling-guling di kasur sambil menatap ponselnya, berharap ada telepon atau pesan masuk dari Dika. Nihil. Dika tetap tidak bisa dihubungi sampai sekarang. "Argh! Pak Dika nyebelin! Dikiranya aku ini lalapan di pecel lele gitu, ya? Yang cuma dilirik kalau lagi mood, tapi dilupain kalau lagi nggak mood! Kamu di mana, Pak Dika?" seru Tika kencang. Masa bodoh kalau sampai ada orang lain yang terkejut dengan teriakannya. Yang jelas, ia benar-benar kesal. "Aku tuh nggak bisa diginiin terus! Apa jangan-jangan semua ini gara-gara Bu Widya? Pasti ibu-ibu satu itu yang ngelarang Pak Dika buat berhubungan lagi sama aku!" gumam Tika suudzon.
"Dengerin saya dulu, dong, Tika. Kamu ini main nyerocos aja. Sakit telinga saya dengarnya!" Terdengar suara decakan berselimut kesal dari Tika di seberang telepon. "Ya Bapak mikir, dong! Seharian nggak ngabarin saya, HP pakai dimatiin segala! Saya kelimpungan nyariin Bapak tahu, nggak! Saya bahkan sampai nekat nunggu Bapak di warung yang dekat dengan rumah Bapak itu. Mana yang punya warung nyebelin. Banyak nyamuk lagi! Komplit penderitaan saya! Saya sebal banget sama Bapak!" omelnya panjang lebar. Entah mengapa pikiran Dika justru tertuju kepada baso komplit buatan Nuri saat Tika menyebut kata komplit. "Pak! Hallo! Dengerin saya nggak, sih? Saya ini bukan suara radio, loh, Pak!" seru Tika lagi. "Iya, iya, saya dengar, Tika. Maaf, ya. Sebenarnya hari ini HP saya itu rusak, jadi saya pergi ke tukang service HP, makanya saya baru pulang sore," ucap Dika berbohong. Mana mungkin ia mengaku baru saja pulang dari warung baso mantan, bisa-bisa nanti malam Tika yang menjadikannya bahan bas
Bab 77"Ardi, sini dulu kamu. Mbak mau ngomong," ujar Nuri tepat di hari ketujuh ia berjualan. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Bakso yang ia jual sudah habis. Mereka berdua tinggal beres-beres dan menutup warung. Ardi yang sedang mengelap mangkuk basah langsung meletakkan mangkuk dan kain lap tersebut, lalu mendekat ke arah Nuri. "Duh, aku deg-degan, nih, kalau ngeliat muka Mbak yang serius kayak gitu. Sumpah, Mbak! Aku nggak ada bikin kesalahan, loh! Aku nggak nyuri uang sepeser pun, aku nggak mecahin mangkuk atau gelas, aku juga nggak makan baso diam-diam. Jadi jangan hukum aku," ujar Ardi sambil duduk di dekat Nuri. Nuri menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ardi. Pemuda yang satu itu memang tahu bagaimana cara menghibur hatinya. "Mbak serius, nih, Ar. Jangan guyon mulu. Ntar Mbak tahan gajimu seminggu, mau?" Nuri pura-pura mengancam Ardi. "Eh?" Wajah Ardi terlihat panik. "Nggak gitu cara mainnya, dong, Mbak! Iya, deh. Aku ngaku. Tadi sempat numpahin gula ke meja
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi