Nuri terkejut saat melihat Tika menangis di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang sangat pendek. Bahkan Nuri bisa melihat area intim pembantunya itu karena handuk yang dikenakan Tika sangat pendek. Apa yang terjadi jika suaminya yang melihat ini? Bisa-bisa ia ijin untuk menikahi Tika. "Kamu kenapa, Tika? Kenapa bisa jatuh?" tanya Nuri yang berusaha membantu Tika untuk berdiri. "Aw! Sakit, tulang ekor saya, Bu, pelan-pelan!" Tika meringis pedih. Air matanya belum mau berhenti mengalir karena rasa panas di bokong yang tidak kunjung hilang. "Aduh, gimana dong? Saya cari bantuan ya." Nuri berlari ke halaman belakang, lalu memberikan handuk pada Tika. "Pakai itu, handuk yang lebih panjang! Handuk pendek kamu ini jangan dipakai lagi kalau masih ingin bekerja di sini. Di sini kamu pembantu, bukan penari telanjang yang pakai baju seperti tidak pakai baju. Pahami itu!" Nuri memang menolong Tika, tetapi sebelum hal itu ia lakukan, terlebih dahulu ia harus menegur Tika yang nekat sekali
"Halo, Nuri, apa ponselku tertinggal di kamar?""Iya, Mas, ini ada di atas meja kerja.""Ya ampun, untung saja. Aku kirain jatuh di jalan tadi. Ya sudah, simpanin dulu saja. Kalau ada telepon dari yang kontak depannya KB, angkat saja ya.""Siap, Mas. Apa itu KB?""Kebon binatang he he.... " Nuri ikut tertawa, dalam hitungan detik kemudian, Dika memutus panggilannya. Baru kali ini suaminya mau tertawa dan sedikit bercanda dengannya. Tiga minggu menikah, ada banyak hal yang masih menjadi PR-nya sebagai istri. Dika terlalu banyak misteri dan tidak bisa ditebak. Pria itu memang belum menyentuhnya dan tidak mencintainya, tetapi Dika cukup brtanggung jawab perihal masalah tanggung jawab lahir. Hal itulah yang membuat dirinya masih bertahan, walau perkataan suaminya terkadang berada dalam mode level iblis. Ia berharap, suatu saat Dika berubah dan dapat menjalani kehidupan pernikahan dengannya sebagaimana mestinya. Tika PembantuSebuah pesan masuk dari Tika ke ponsel suaminya. Kontak Tika y
"Terima kasih atas bantuannya, Nek." Nuri mencium punggung tangan Nenek Gayung yang beraroma parfum mahal. Bulgari. Ia hapal aroma itu, karena Dika pernah mau membelikan untuknya, tetapi ia tolak karena harganya satu juta lima ratus. Tentu rasanya sangat mubazir untuk parfum saja satu juta lima ratus, padahal biasanya ia memakain parfum lima belas ribuan yang botolnya polos tanpa merek. Jika parfumnya saja Bulgari, apakah pakaian dalam Nenek Gayung adalah Louis Vuitton?"Nek, maaf, apa upah urut nya cukup?" tanya Nuri yang merasa tidak enak hati. Ia memasukkan uang dua ratus ribu dalam amplop tersebut. Tentu saja kurang dan kenapa Udin harus memanggil tukang urut super unik seperti Nenek Gayung? "Cukup, yang penting uang asli, bukan uang palsu. Itu, pembantu kamu jangan kerja berat dulu ya. Menggoda majikan itu adalah pekerjaan berat, karena majikannya gak naksir dia, ha ha... kamu gak perlu khawatir. Suami kamu tidak akan tergoda dengan wanita yang memiliki pantat penggorengam sepe
"Mbak Nuri gak kursus?" tanya Nura saat mereka tengah menikmati makan siang dengan menu urap sayuran, ikan asin dan telur balado buatan Bu Fatma. "Libur hari ini, Nura. Besok baru masuk. Aku ijin sama Mas Dika kemarin, katanya boleh." Nuri tersenyum senang. "Berarti dari kemarin mau ke sini gak boleh?" balas Nura dengan tatapan jengah. "Nura, yang penting Nuri sudah di sini hari ini. Sehat dan keliatan segar. Kalau wanita perawan ting-ting setelah beberapa hari menikah, bahkan beberapa minggu, aura cantik dan segarnya masih terlihat. Ibu udah gak sabar mau punya cucu dari kamu Nuri." Nuri tersenyum. Ada yang menghempas dadanya saat ibunya mengatakan cucu darinya. Cucu? Entahlah, Bu, mungkin bukan dari Dika nanti cucunya atau entah berapa tahun lagi saya punya bayi. Tentu saja hal itu hanya ia ucapkan dalam hati. Tidak mungkin ia lontarkan begitu jelas pada ibu dan adiknya, bisa-bisa mereka marah. Ia juga takkan mungkin sanggup mengatakan pada Nura, bahwa suaminya sangat mencintai
Nuri baru masuk ke kamar pada pukul sepuluh malam. Ia baru saja mencuci piring, membereskan dapur, menyapu, serta mengepel rumah dua lantai suaminya. Kenapa ia melakukan semua itu malam hari? Agar esok hari, ia tidak terlalu repot dan bisa langsung memasak. Entah makanannya nanti dimaka suaminya atau tidak, yang jelas ia harus melakukan semua tugasnya sebagai istri. Barulah ia tenang pergi kursus setelah semua urusan rumah tangga beres. "Mas belum tidur?" tanya Nuri. "Belum, saya mau bicara sesuatu sama kamu." Nuri menelan ludahnya. Apakah suaminya akan menceraikannya? "Saya bersih-bersih dan sikat gigi dulu, Mas." Nuri pun masuk ke kamar mandi untuk menenangkan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah serius Dika membuatnya punya firasat tidak baik atas hal yang ingin dibicarakan oleh suaminya. Tidak ingin suaminya menunggu lama, Nuri pun bergegas menyikat gigi, mencuci muka, serta mengganti baju piyama bagian atasnya karena tadi sudah kebasahan saat mencuci piring. Suaminya mas
"Ya ampun, kain putih untuk ujian hari ini tertinggal!" Nuri menepuk jidatnya karena sudah teledor. "Wah, punya Luna hanya satu lembar, Tan, seukuran tugas yang diminta. Kita putar balik aja gak papa.""Oke, kita putar balik saja, belum jauh kok, masih dalam komplek rumah kamu." Daniel tersenyum pada Nuri dari spion depan. "Maaf ya, Mas Daniel, Luna, saya jadi merepotkan." Nuri benar-benar tidak enak hati pada Luna dan papanya karena harus putar balik, kembali ke rumah. Mobil pun berhenti persis di depan rumah Nuri. Wanita itu turun dengan tergesa-gesa. Ada Dika yang ternyata sedang memanaskan motor, mau berangkat bekerja. "Kenapa?" tanya Dika singkat. "Ada yang ketinggalan, Mas." Nuri berlari naik ke kamar praktek. Kain putih itu sudah ia siapkan di waras meja kerjanya, tetapi malah ia lupa membawanya. Tidak lama kemudian, Nuri sudah kembali memakai separuh dengan tergesa di depan pintu rumah "Kamu dijemput siapa?" tanya Dika yang saat ini sudah duduk di atas motor. "Oh, itu t
Nuri mencebik saat membaca pesan dari Dika, tentu saja tanpa niat membalasnya. Ia menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana kulitnya, tersenyum pada Luna yang saat ini sedang menikmati makan siang buatannya. "Keasinan gak, Luna?" tanya Nuri. Luna tak langsung menjawab, gadis itu masih adik terus mengunyah makanan Nuri hingga tandas tak bersisa. "Sempurna, Tante dan mulai besok, setiap ada jadwal kursus, Luna catering sama Tante Nuri aja. Sekalian buat makan sore Luna dan papa ya, Tante. Papa pasti setuju. Masalah bayaran, nanti bisa cincai. Ya, mau ya?" wajah Luna memelas penuh harap."Saya gak pandai masak, Luna. Kalau hari ini rasanya pas, itu kebetulan saja." Nuri tidak ingin GR dengan pujian Luna tetapi ia cukup lega karena masakannya pagi ini tidak keasinan. "Pokoknya, besok mau makan masakan Tante!" Nuri menghela napas. Ingin bersikeras menolak, tetapi tidak tega. Apalagi Luna sampai menjilati jari-jemarinya untuk menghabiskan sisa makanan darinya."Oke, tapi kalau besok
"Buang, Nuri!""Tidak mau, Mas Dika!" Nuri melebarkan bola matanya, lalu bergerak turun dari ranjang. Wanita itu mengambil bunga mawar yang sudah rapi ia tata di atas meja rias, lalu ia bawa keluar kamar. Satu-satunya tempat yang paling aman ia menaruh bunga itu adalah di kamar kerjanya. Dika hanya bisa berdecak kesal melihat Nuri tergolong keluar dari kamar. "Kamu baik-baik di sini dulu ya. Pak Bos lagi datang bulan, jadi labil." Nuri bicara pada bunga mawar yang sudah berada di atas meja kerjanya. Nuri kembali mengunci pintu kamar kerja itu, lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan sayur yang pagi tadi ia masak. Lalu ia juga menyiapkan teh untuk suaminya. Meskipun Dika bersikap semaunya, tetapi sebagai istri, ia harus tetap melayani. "Mas mau langsung makan atau mau mandi dulu?" tanya Nuri sambil membawakan teh ke dalam kamar. "Di mana kamu taruh bunga itu? Sudah kamu buangkan?" hanya Dika lagi. "Saya simpan. Sayang bunga mahal kalau dibuang. Apalagi yang ngasihnya tulus. Suda
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi