Bab 84Ternyata"Ma, sibuk?" tanya Gibran. Aku segera menoleh ke asal suara. Terlihat Gibran berdiri tegap di ambang pintu kamar. Seketika aku mengulas senyum. "Nggak, Sayang! Sini masuk!" pintaku. Gibran terlihat menganggukan kepalanya pelan. Kemudian dia mulai masuk sesuai dengan perintahku. Ya, aku memang sudah sedang berada di kamar sekarang. Berselancar sejenak di dunia maya. Habis teleponan juga dengan Bang Thomas. Walau sebentar telponan dengan suami, sudah lebih dari cukup. Lagian Bang Thomas tak terlalu betah berlama-lama di panggilan telpon. Dia memang seperti itu, dari jaman belum menikah dulu."Iya, Ma," balasnya, kemudian dia melangkah masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia menutup kembali pintu kamarku. Melihat Gibran melangkah, aku perhatikan wajahnya terlihat sedikit tegang. Mungkin ada sesuatu yang mau dia sampai atau tanyakan. "Kamu sudah makan?" tanyaku kepada anak semata wayangku ini. Gibran manggut-manggut. Aku melipat kening tipis. Kemudian menata hati dan pikira
Bab 85Saran dari LastriMasalah yang terjadi dalam hidup, memang tak bisa di pikirkan sendirian. Tetap membutuhkan orang lain, untuk saling berbagi pendapat dan saling sharing. Tentunya orang yang sangat bisa di percaya. Bukan sembarangan orang.Jika salah memilih teman curhat, bukan jalan keluar yang kita dapat, tapi sebaliknya, masalah akan semakin runyam. Itu yang aku alami saat ini. Saat ini pikiran dan hati sama-sama kalut. Nggak tahu kenapa kelicikan Mas Bima itu seolah aku bisa rasakan. Walau aku sendiri belum tahu, rencana apa yang Mas Bima pikirkan sekarang. Karena dia terlihat lugu dan polos. Mungkin orang lain bisa terberdaya, tapi tidak denganku.Tapi aku sangat yakin jika dia belum berubah. Dia masih jahat dan licik. Itu yang aku nilai dari mantan suamiku sekarang. Aku tahu dia sudah tak sebergaya dulu, tapi aku sangat yakin, walau nampaknya dia tulus tapi di dalam sini belum yakin kalau dia itu benar-benar bisa tulus. Entahlah! Susah aku menjelaskan. *****************
Lastri selama ini juga sudah menganggap Azkia anak kandungnya. Walau hanya keponakan tapi dia sangat care dengan Azkia. Bukan dia saja tapi suaminya juga sama. Sama-sama Sayang dengan keponakannya ini. "Masukan Azkia di asrama, Mbak. Jadi tidak satu rumah dengan Bu Putri. Bukannya tak percaya dengan Bu Putri, tapi kita menjaga kebaikan hubungan kita selama ini, jangan sampai gara-gara masalah ini semuanya jadi kurang baik, apalagi Bu Putri kan juga punya anak laki-laki, jadi menurutku kok kurang pas gitu," jelas Lastri. Kutelan ludah ini sejenak. Mengatur terus diri ini. Setelah Lastri menjelaskan seperti itu, hati ini berkemelut hebat. Sangat hebat. Aku menoleh ke Lastri kemudian menoleh ke Emak secara bergantian. Ingin tahu reaksi ke duanya. Mereka terlihat sama-sama tulus. Ya, aku percaya seribu persen kalau mereka memang sangat tulus dengan aku dan anak-anakku. "Iya, Emak setuju dengan saran dari Lastri. Jadi tidak satu rumah dengan Bu Putri. Tak masalah Azkia di sekolahkan di
Bab 87Reaksi Maftuh"Kalau seperti saran Lastri, Mas setuju. Jadi kita tak melepas begitu saja. Maksudnya tak jadi tanggung jawab Bu Putri, tetap tanggung jawab kita," ucap Mas Maftuh. Aku mengangguk mendengarnya. Ya, aku telah menceritakan tentang saran dari Lastri dan juga Emak. Aku hanya manggut-manggut sejenak. Paham maksud tujuan mereka."Iya, Mas. Aku tapi nggak enak sama Bu Putri, karena beliau sudah senang banget saat aku ngomong kalau Azkia aku titipkan ke beliau. Bu Putri nampaknya sangat senang sekali," jelasku. Ya, saat ini itu yang aku rasakan. Sudah terlanjur ngomong sama Bu Putri. Nggak tahu nanti akan bagaimana reaksinya, jika aku ceritakan masalah ini. Mas Maftuh terlihat menghela napas panjang. Kemudian dia mengusap pelan wajahnya sendiri. Kami sekarang ada di dalam kamar. Sudah selesai makan malam juga. Anak-anak pada belajar di kamarnya masing-masing. "Lebih baik nggak enak sekarang, tapi hati kita sama-sama lega, dari pada nggak enak di belakang," ucap Mas Maf
"Teh ku habis, bisa minta tolong buatin lagi? Mau tidur juga belum ngantuk," jawab mas Maftuh. Seketika bibir ini mengembang. Masya Allah ... cuma minta tolong buatkan teh saja, rasanya kok sweet sekali. Hi hi hi. "Ok, aku buatkan dulu, ya! Tunggu sebentar," balasku dengan penuh semangat. Sungguh sangat ikhlas sekali. Kalau Mas Bima dulu, sudah terasa babu aku dibuatnya. Kalau ini, Alhamdulillah ... dia membuatku nyaman, jadi kalaupun dia meminta tolong, hati ini sangat ikhlas melakukannya. "Iya, terimakasih!" balas Mas Maftuh, sungguh suaranya sangat bikin hati adem sekali. Hanya aku tanggapi dengan senyuman saja. Kemudian aku segera beranjak dan segera melangkah menuju ke dapur. Untuk membuatkan teh hangat untuk suami tercinta.*************************************"Mas aku telpon Bu Putri sekarang aja, ya?" ucapku, meminta saran kepada suami. Karena aku pun juga belum ngantuk. Pun Mas Maftuh. Aku lihat dia juga belum mengantuk. Mas Maftuh melirik ke arah jam dinding. Pun aku men
Bab 89Pekerjaan Itu"Eh, Bima!!! Mau ke mana kamu?" telinga ini tiba-tiba mendengar suara perempuan dengan nada lantang. Segera aku menoleh ke asal suara, ternyata Mami Marka. Astaga ... ini kan belum ada sebulan? Kenapa dia sudah mencariku? Apa dia mau menagih? Ah, kalau ketemu Mami Marka memang bawaannya horor banget. "Eh, Mami Marka," ucapku basa basi hanya untuk menanggapinya saja seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal sebenarnya. Dia terlihat melangkah mendekat. Seperti biasa dia ke mana-mana selalu dilindungi oleh bodyguardnya. Bikin serem saja. Aku sekarang sedang di jalan. Jalan kaki mau ke pangkalan ojek. Mau naik ojek ingin segera ke rumah Ali. Seperti yang sudah aku pikirkan, aku iyakan dulu saja pekerjaan dari Ali. Dari pada nggak ada kerjaan dan aku bingung mau makan apa jika uang ini habis. Setidaknya ikut Ali, aku sudah tak mikir makan lagi. Gaji pun utuh. Hanya untuk batu lompatan saja. "Mau ke mana?" tanya Mami Marka ketus. Kutelan ludah ini sejenak. Melihat B
"Owh ... Bos Ali kebetulan ada di dalam. Apakah sebelumnya sudah ada janji?" tanyanya tegas. Kutelan ludah ini sejenak. Buat janji? Sudah kayak orang penting saja si Ali. Hem ... tapi ok lah ... mungkin memang Ali sangatlah sukses. Satpam ini memanggil Ali dengan sebutan Bos Ali? Keren banget hidup Ali. Benar-benar diluar dugaanku pokoknya. Nampaknya dia juga sangat dihormati sekali. Pokoknya benar-benar diluar dugaanku. "Sudah kemarin," jawabku santai. Ya singkat begitu saja. Kalaupun satpam ini nelpon Ali, pasti Ali nggak kaget aku datang ke sini. "Bentar, saya telpon Bos Ali dulu. Siapa nama anda?" tanya balik satpam itu. Kan, benar dugaanku, pasti satpam ini akan telpon Ali. Itu artinya rumah ini, tak boleh asal masuk orang. Benar-benar penjagaan ketat. "Bima!" jawabku tegas. Hem ... udah kayak ketemu sama presiden saja rasanya. Harus ada janji dan harus di pastikan siapa yang datang. Kerenlah pokoknya. "Bos, ini ada orang bernama Bima, mau ketemu sama Bos!" ucap satpam itu.
Bab 91Jawab TelponTapi tumben Bu Putri tak angkat telpon dariku. Biasanya walau ngantuk pun, tetap saja dia angkat. Karena Bu Putri orangnya gampang sekali bangun dari tidur. Tak susah. Intinya gampang sekali bangun. Mudah-mudahan Bu Putri baik-baik saja. Tak ada yang terjadi apa-apa dengan beliau. Dreet! Dreet! Dreet!Gawaiku terasa bergetar. Tak berselang lama berbunyi. Segera aku meraih gawaiku ini. "Mungkin dari Bu Putri," ucap Mas Maftuh. Setelah gawai ada di tangan segera aku cek. Ternyata benar. Memang dari Bu Putri. "Iya, Mas, Memang telpon dari Bu Putri," ucapku. Mas Maftuh terlihat mengulas senyum. Segera aku mengangkat telpon dari Bu Putri. "Hallo ... Tih?" terdengar suara khas Bu Putri dari seberang. "Iya, Bu," balasku singkat. "Ada apa tadi nelpon? Aku lagi ...." Bu Putri menghentikan suaranya. Cukup membuat kening ini melipat. Kenapa dia menghentikan ucapannya? Benar-benar tak seperti biasanya. "Emm, Bu Putri lagi sibuk?" tanyaku untuk lebih memastikan. Karena
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda