Saat marah kemarin aku tidak berpikir sama sekali akan menikah keesokan harinya. Dengan cara apa adanya dan hanya dihadiri oleh beberapa orang. Kak Afrizal tersenyum padaku setelah melepaskan ciuman. Wajahku masih masam, sulit menyalahkan dia karena kemarin aku yang marah. Aku salah karena susah dihubungi. Sekarang hanya bisa mendesah berat membiarkan semua berlalu begitu saja. Tangan Kak Afrizal membuka kancing bajuku, matanya menatap dengan penuh pengharapan. Apa yang ingin dia lakukan?"Kakak mau apa?" tanyaku menghentikan tindakannya. Keningku berkerut."Kita kan udah sah, gituan sekarang nggak akan ada yang ngelarang." jawabnya. Memang sudah sah, tapi lihat keadaan dong! Kaki dan tangan kanannya digips, kepalanya juga masih ada luka yang belum kering. Masak mau gituan? Yang benar saja.Matanya berbinar melihat belahan dadaku, memang terhitung besar karena masih menyusui. Tangannya hendak memegang, buru-buru aku tepis. Aku mengancingkan kembali bajuku, membuatnya kecewa. Lalu
Aku mengambil tangannya, menggenggam erat sembari tersenyum. Duniaku adalah mereka, itu sudah cukup. Kepalaku menggeleng hingga rambut bergerak. "Aku sudah mendapatkan semuanya, Kakak dan anak-anak. Memang apa lagi yang aku butuhkan?" "Kebahagiaanmu sendiri, apa yang kamu sukai dan ingin jalani. Coba pikirkan." Sebenarnya ada yang aku sukai selain bersama mereka, tetapi itu hanya hobi. Belum berubah menjadi keinginan yang harus diperjuangkan. Sekali lagi Kak Afrizal mengelus rambutku sembari tersenyum. "Nggak usah buru-buru, pikiran baik-baik.""Aku seorang ibu dua anak, memangnya bisa meraih cita-cita?" tanyaku. Ragu untuk memulai keinginan.Sebenarnya dari pada ragu, aku lebih ke tidak percaya diri. Selama ini aku hidup untuk orang lain, selalu memikirkan orang lain. Aku jarang berbuat untuk diri sendiri. "Emangnya kenapa kalau udah jadi ibu? Banyak kok wanita karir di luar sana sukses meraih cita-cita.""Pendidikanku cuma SMA," imbuhku. "Kamu bisa kuliah kalau mau.""Umurku u
Aku menarik resleting tas, mengangkatnya dengan kekuatan penuh dan berjalan keluar bersama Kak Afrizal. Kami berbelok ke kanan hingga sampai lift, menuju lantai atas. Tempat Yuno dirawat. Ketika sudah sampai, Kak Afrizal enggan untuk masuk. Dia menarik napas kuat dan gugup. Lalu melangkah ke dalam dengan tongkat kruk. "Hay, kapan bangun?" tanyanya saat di samping Yuno. Aku tahu bahwa hanya dua orang yang mempertahankan hidup Yuno, yakni Kak Afrizal dan Husna. Padahal dokter bilang kemungkinan Yuno sadar sangat kecil.Semua orang menyerah, mengiklaskan jika Yuno harus mati dari pada tersiksa. Kurang lebih seperti itu. Aku tidak terlalu paham dan hanya dengar dari perdebatan orang-orang. Tidak berani bertanya langsung. Beberapa waktu lalu orang-orang berdebat tentang donor organ, Yuno sudah menyetujui pendonoran organ kalau terjadi sesuatu padanya. Sebagian menyetujui keputusan Yuno, sementara Husna dan Kak Afrizal bersikeras tidak mau. Mereka akan menunggu sampai kapanpun, yakin ba
Malam itu kami makan malam bersama setelah sekian lama, bercanda dan mengobrol panjang. Ulang tahun Cheril sudah terlewat, dirayakan sederhana di rumah sakit. Begitu pun Cheril sangat senang dan membahasnya terus menerus. Pertama kalinya ulang tahun dirayakan dengan kue tart. "Bu, lanjang Dede ko pindah?" tanyanya. Tadi siang sebelum menjemput Kak Afrizal, aku lebih dulu memindahkan box bayi Ramaniya di kamar Kak Afrizal. Karena kami akan tidur sekamar, akan lebih mudah jika Ramaniya juga ikut. Nampaknya itu menjadi perhatian Cheril yang sekarang harus tidur sendiri. "Cheril kan sudah jadi kakak, harus belajar tidur sendiri." Aku menimang Ramaniya yang matanya belum terpejam. "Tha jha ta." Bayiku itu sudah bisa berceloteh. Dia seneng dan tersenyum. Saat besar nanti, sepertinya Ramaniya akan menganggap Kak Afrizal sebagai ayahnya tanpa berpikir bahwa dia hanyalah anak tiri. Aku lebih suka seperti itu. Bayi ku tidak boleh tahu bahwa ayah kandungnya adalah pria jahat. "Ibu tidul m
Tatapannya serius, setuju dan mendukung keinginanku. Membuat bibir ini tersenyum lebar. Aku berhamburan memeluknya, memang hanya dia yang selalu mengerti. Telingaku mendengar detak jantungnya yang berdetak kencang. Usapan lembut datang di pucuk kepalaku. "Ajarin aku main ML, soalnya kemarin kalah terus." Dibanding dengan para anak muda, aku selalu kalah, ditambah tidak punya teman yang bisa mengajari. "Making love?" Alis Kak Afrizal terangkat. Aku memukul dadanya, membuat dia mengaduh pelan. Lalu melepaskan pelukan kami. Bibirku cemberut. "Mobile legend lah," jawabku dengan bibir cemberut, sepertinya dia sengaja menggoda. Menyebalkan sekali. "Aku sendiri juga nggak pernah main, tapi nanti aku coba. Suamimu ini kan pintar." Kedua tangannya mencubit pipiku gemas, sikap manja kami seperti anak yang baru pacaran. Tidak ada yang menyangka bahwa kami sudah memiliki anak berusia 4 tahun. Aku kembali memeluknya, sangat manja hingga Kak Afrizal menciumi pucuk kepalaku. Perlahan dia men
Kakinya yang sakit tidak bisa bertahan lama berada di atas, aku menutup rasa malu dan memuaskan dirinya. Memberikan pelayanan sebagai istri hingga kami merasa sama-sama puas.Bisa dibilang aku lebih berpengalaman dari Kak Afrizal, mungkin saat pertama kali aku tidak bisa melawan, saat itu pemerkosaan, tenaga Kak Afrizal besar, ketika dia mengambil kehormatan ku secara paksa, aku tidak bisa melakukan apapun. Namun, setelah menikah dengan Mas Malik, aku dipaksa harus bisa ini itu, termasuk urusan ranjang, dia sangat pemilih dan membuatku seperti wanita liar. Kalau aku tidak bisa memuaskannya, maka aku akan dipukuli. Belajar dari pengalaman, memuaskan Kak Afrizal bukan hal sulit. Dia terlihat sangat menyukai pelayanan ku. "Kamu hebat banget," pujinya setelah mencapai puncak. Mencium bibirku sembari tersenyum senang. Dulu aku tidak suka dipuji hanya karena kelihaikanku ranjang, tapi kalau Kak Afrizal yang muji, ntah kenapa aku suka dan wajahku memerah. "Istirahat dulu, nanti nambah la
Ketika Husna melahirkan, tengah malam Kak Afrizal berlari keluar tanpa peduli dengan kakinya yang belum sembuh benar. Mendampingi Husna melahirkan hingga memberi nama ke bayi yang baru lahir. Seolah bayi yang dilahirkan Husna adalah anaknya. Aku cemburu, aku curiga dan pikiran buruk terus bersemayam. Aku takut mereka main serong. Aku sudah pernah dikhianati, tidak menutup kemungkinan aku akan dikhianati kembali. Tetapi semua kekhawatiran ku terpatahkan saat aku mendengar Kak Afrizal memujiku di depan Husna. Ketika mereka berduaan di kamar rumah sakit. Bayi yang diberi nama Shezan Safaluna tertidur di box bayi. Suasana hening, aku mengintip dari balik jendela. Persis seperti penguntit. Kurang lebih kalimat yang aku dengar seperti ini,"Tiap ada kesempatan aku belajar main ML makanya mataku kayak panda, supaya aku bisa bantu Hana. Soalnya dia kalah terus, kayaknya tahun depan pun dia nggak bisa ikut turnamen." Impian isengku ternyata ditanggapi serius olehnya, membuatku terharu. Dia
Kak Afrizal duduk di ranjang, mengelus rambutku dengan lembut sampai aku bisa tidur. Dia memutar lagu relaksasi hingga membuatku ngantuk. Setelah makan dan minum obat, Kak Afrizal selalu menemani. Mengabaikan hal lain, fokus hanya padaku. Aku merasa sangat dicintai. Meskipun kehamilan ini jauh lebih berat dari pada sebelumnya, lewat Kak Afrizal aku merasa bahagia. Menikmati sisi romantis dari suami yang menjaga istrinya. Aku merasa semua penderitaan telah dibayar lunas. Dua kali hamil dan dua kali menanggung semua sendirian, aku dipaksa kuat oleh keadaan. Kini, aku tidak perlu melakukan hal itu lagi, tidak usah menahan diri ketika ngidam, bisa mengeluh ketika sakit. Kak Afrizal sangat memanjakan ku. Terkadang aku kasihan dengan Husna, dia merawat bayinya seorang diri tanpa suami. Kak Afrizal memang memperhatikan Husna selama kehamilan, tetapi tidak sama ketika bersamaku. Dia hanya memerhatikan sekedarnya dan masih menjaga jarak. Kalau bersamaku, Kak Afrizal menjadi suami yang siap
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?