Meskipun Ibu meninggalkan Rizal sejak berusia 4 tahun, membuatnya merasa dibuang dan ditinggalkan. Juga tidak ada yang mengurus apalagi menyayangi. Saat itu hatinya sakit, terluka dan ingin membenci. Namun, ada satu alasan kenapa Rizal masih mau menunggu Ibu sampai kelas 2 SD. Selama 4 tahun berharap ibu datang kembali dan membawanya ikut serta. Yakni, ingatan tentang ibu yang mengelus kepalanya setiap malam. Memberikan makanan enak meskipun harus menjual barang. Terus menggenggam tangan kecilnya ketika menyebrang jalan. Berusaha membelikan baju supaya tidak diejek teman-teman. Rizal merasa bahwa ibu menyayanginya.Saat itu Rizal berpikir bahwa pasti ibu akan kembali untuk membawanya pergi, mungkin saja ibu mencari tempat tinggal dulu sebelum menjemputnya. Maka ia terus menunggu dengan sabar. Percaya bahwa ibu menyayanginya. Dia merindukan ibu setiap malam, terus melihat langit di bawah pohon rambutan. Apakah ibu juga merindukan dia? Kapan datang menjemputnya? Dia bahkan menyiapka
Berkali-kali Hana ingin menyerah, pernah juga memilih pergi menyusul kedua orangtuanya. Dua kali mencoba bunuh diri, dia tidak sekuat yang ibu Rizal bilang. Luka di hatinya sangat banyak sampai sulit diobati. Air matanya menetes begitu saja, andai orang tuanya tahu betapa dia lemah. Apakah mereka akan kecewa? "Aku rapuh, nggak kuat. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku."Hana masih menunduk, air matanya menetes menjatuhi gendongan Ramaniya. Usapan di kepalanya masih terus ibu lakukan. Pelan nan menenangkan. "Hana bisa bertahan sejauh ini merupakan sebuah kebanggaan." Kalimat yang terucap begitu indah, membuat hati Hana berdesir. Tangan keriput ibu mengusap pipi Hana dengan lembut, menghilangkan air mata dari sana sembari tersenyum. "Terima kasih, Bu."Hana merasakan sosok ibu lagi setelah sekian lama, tidak seperti ibunya Malik yang tidak pernah berkata lembut. Kali ini dia dipuji dan diapresiasi. Hana merasa sangat bersyukur. Rizal hanya tersenyum melihat dua wanita yang akr
Cincin melingkar manis di jariku, tanggal pernikahan sudah ditentukan. Masa iddah sudah selesai, gedung pernikahan dan gaun sudah dipesan. Undangan sudah disebar, kami tidak memiliki keluarga, hanya ibu dari Kak Afrizal yang tersisa. Kalau bibi dan pamanku di Lampung tidak aku undang, pasti hanya akan membuat kacau. Aku bilang ke Diandra bisa ke Jakarta bersama keluarga Kahfi. Tidak perlu susah-susah mengeluarkan uang. Dia bisa hadir di pernikahanku saja aku sangat senang. Di telepon, Diandra menangis haru. Setelah semua hal yang aku lalui, akhirnya kebahagiaan datang. Dari dulu dia tahu bagaimana perasaan dan perjuanganku. Sembari menangis sesenggukan dia katakan bahwa sangat bahagia, akan hadir di pernikahanku. Berbeda dengan pernikahanku dulu bersama Mas Malik, kali aku sangat bahagia. Tidak ada paksaan atau keraguan lagi.Namun hari ini, aku mendapat berita buruk. Presiden direktur WterSun Group sebelumnya meninggal dunia. Kak Afrizal memintaku untuk ikut melayat, Ramaniya dan
Setelah pemakaman aku pulang bersama Kak Afrizal, dia mampir ke tampatku untuk numpang mandi. Tidak mau menemui Ramaniya dan Cheril yang sekarang ada di apartemen dalam keadaan pulang dari makam. Sementara aku sendiri hanya berganti baju."Mau makan nggak Kak? Aku masakin mie?" tanyaku. "Iya, aku mandi dulu." Kak Afrizal masuk ke dalam kamar mandi, suara air mengalir terdengar. Aku memutuskan masak dua mie instan dengan dua telur. Biasanya aku makan ini sendiri di malam hari. Aku tidak mengizinkan Cheril makan mie instan karena tidak sehat, malah aku sendiri yang makan diam-diam. Lucu jika mengingatnya. Ketika mie sebentar lagi matang pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Kak Afrizal dengan rambut basah. Keluar dan menaruh handuk di jemuran. "Bentar lagi matang, duduk duluan aja Kak depan TV." Aku mengaduk mie yang mendidih di panci. Bukannya duduk di sofa, Kak Afrizal malah berdiri di sampingku. Melihat ke dalam panci lalu menoleh ke arahku, sedikit mencondongkan tubuh supa
Aku menggendong Cheril sampai rumah sakit, air mataku terus mengalir. Ketakutan memenuhi dada, aku menandatangani surat pernyataan setuju atas operasi yang akan berlangsung. Berharap Kak Afrizal baik-baik saja. Memeluk Cheril di depan ruang operasi dengan air mata yang terus mengalir. Sepertinya Tuhan tidak ada habisnya menguji, kebahagiaan yang sudah didepan mata hilang hanya dengan sekejap. "Yah ana, Bu?" tanya Cheril. Masih belum paham bahwa ayahnya sedang dioperasi. Berjuang antara hidup dan mati. "Ayah sedang berjuang di dalam sana. Cheril doain Ayah, ya?" Aku menghapus air mata, tidak sanggup jika harus membayangkan Cheril akan kehilangan ayahnya. Bocah itu mengangguk, setuju mendoakan ayahnya. Bahkan tangan kecil itu menghapus air mataku yang tidak bisa berhenti menetes, Cheril lebih kuat dariku. Setelah menunggu kurang lebih tiga jam. Akhirnya dokter keluar, memberitahu kondisi Kak Afrizal yang sudah melewati masa kritis.Namun, Kak Afrizal belum sadarkan diri. Aku lega,
Setelah mengetahui kondisi Kak Afrizal yang baik-baik saja, hanya tinggal pemulihan, aku ingin memulangkan Cheril, supaya ia beristirahat dan tidak menggangu di sini, tapi anak itu bersikeras menginap. "Elil mau Ayah." Bocah itu berpegangan pada besi di ranjang Kak Afrizal, semakin lama Cheril susah diatur. Tidak menurut seperti dulu, menjadi lebih berani berekspresi dan menunjukkan keinginan. Itu karena Kak Afrizal sangat memanjakan Cheril. Memang bagus jika Cheril menjadi balita normal yang mungkin sedikit nakal, tidak pendiam dan menekan keinginannya seperti dulu. Tetapi ini menjadi sulit untukku. "Udahlah, nggak papa. Biar Cheril nginep di sini." Kak Afrizal membela Cheril. Ini yang membuat Cheril semakin nakal. Selalu dibela.Aku menyerah, melepas tangan Cheril. Membiarkan anak itu terus berada di sisi ayahnya. "Ini udah malem, Cheril harus tidur.""Elil gak au tidul." "Kalau Cheril nggak mau tidur, ibu bakal paksa Cheril pulang." Kali ini aku lebih tegas, membuat Cheril m
Selepas Hana meninggalkan ruangan, Rizal termenung. Masih belum mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Hana cemburu? Ingin dinikahi? Ngembek? Sekarang pergi tidak ingin merawatnya lagi. Sesuatu yang tidak dia perkirakan, selama ini Hana selalu pengertian. Tadi pagi dia bilang sedang datang bulan, mungkin karena itu emosinya tidak stabil. Rizal memiringkan tubuhnya menarik troli berisi baskom, memerasnya sendiri dengan tangan kiri. Sebisanya dan masih ada air yang menetes, mengelap dadanya tanpa sentuhan Hana lagi. Dari sana Rizal tahu bahwa Hana sangat dibutuhkan.Sekarang perusahaan dalam masa kritis, banyak hal yang harus dia urus bersama Husna. Apalagi Nyonya Elja ternyata sakit. Kalau dia menikah sekarang ditakutkan akan menggangu fokusnya. Dia ingin memberikan pengertian kepada Hana perihal ini, supaya Hana lebih sabar menunggu. Hana hanya sedang ngambek, nanti juga baikan dan kembali. Kalau Hana ingin bekerja karena bosan maka ia akan mengijinkan. Memiliki pekerjaan mungkin bis
Pagi harinya Hana baru sadar bahwa kehabisan kuota, dia buru-buru mengisi pulsa dan ratusan pesan masuk dari Rizal. Membuat matanya melotot. Permintaan maaf dari Rizal dan rencana untuk menikah hari ini membuat Hana seperti terkena serangan jantung. Rizal pasti sudah gila karena marahan kemarin, tapi tidak seharusnya dia berlebihan seperti ini. Hana membaca semua pesan itu satu persatu. Semuanya menunjukkan bahwa Rizal seperti orang yang kehilangan akal. "Pa, Bu?" tanya Cheril yang berjalan ke arahnya. "Ayo ke rumah sakit sekarang." Cheril diam saja, dia melirik susunan lego yang dihancurkan oleh tangan kecil Ramaniya. Bocah itu mengangguk, menara yang dibuat dari lego sudah porak poranda. Malas jika harus mengulang dari awal. Lebih baik ke rumah sakit saja.Hana segera mengganti baju Cheril dan Ramaniya, lalu memesan taxi. Di dalam taxi perjalanan ke rumah sakit ia melihat pesan dari Rizal yang belum dibaca semuanya. Jangan tinggalkan aku, Hana. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?