SANG kala bergerak, terus berjalan. Matahari dan bulan silih berganti menghiasi langit. Burung hantu dan burung perkutut bergantian bersuara. Hujan dan panas pun bergantian mengisi ruang udara di sana. Tapi kebersamaan itu semakin erat. Dunia seluas hutan membebaskan mereka bercengkerama bersama. Tak ada sekat lagi. Setiap sudut hutan adalah rumah mereka. Tanpa terasa, purnama kedua akan terlewati. Alam begitu memanjakan mereka. Berdua, hanya mengambil apa yang mereka perlukan. Menghabiskan seluruh hasil buruan, mengumpulkan makanan lalu menyimpannya rapi. Alam tak pernah murka. Berdua mereka menyatu dengan alam. Menolong apa pun yang perlu pertolongan seperti dulu Airlangga menolong anak rusa yang kakinya terjepit batu. Mereka memperbaiki sarang burung, membantu kancil melahirkan, atau mengobati luka kera. Semua mereka kerjakan sambil bermain bersama hewan-hewan itu. Ells membiarkan tupai memanjat tubuhnya, membiarkan tikus hutan mengendusi kakinya, menangkap ikan de
LAGI-lagi van Loen melamun menatap hutan melalui ambang jendela. Hatinya makin teriris ketika dia tahu anak gadisnya sudah tidak ada di hutan itu. Entah sekarang Ells ada di mana. Sudah nyaris dua purnama berlalu sejak mereka menemukan dua pasang jejak kaki mengarah ke luar hutan. Itu pun mereka terlambat sepekan. Umur jejak itu nyaris sama dengan jejak di timur. Ah, andai saja sejak awal aku mendengar saran Robert, tentu Ells lebih mudah terlacak. Mungkin Ells baru sehari atau dua hari meninggalkan hutan. Sepekan waktu yang cukup lama untuk melarikan diri. Verdomme! Van lLoen terus menyesali dan memaki. . Tok tok tok . Van Loen tidak terganggu. Jika itu Robert, anak itu akan masuk tanpa perlu suara mengizinkan masuk dari dalam. . Tok tok tok . Suara mengetuk lagi. Bukan Robert. “Kom binnen[1].” Pintu itu baru terbuka setelah van Loen mengizinkan masuk. “Apa aku mengganggumu, Fred?” Van Loen langsung me
AIRLANGGA dibangunkan tubuhnya sendiri sesuai jadwal hariannya. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malas memancarkan sinar. Nyaris tanpa geliat, tubuhnya langsung siaga saat teringat ada hal penting yang ingin dia kerjakan. Perlahan dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Ells yang meringkuk nyaman di ketiaknya. Tersenyum, dia menarik tangannya sambil mencium bagian mana pun dari tubuh perempuannya yang terdekat dengan bibirnya. “Jangan buka jendela itu, Angga.” Ells menggeliat ketika merasakan pelukan Angga mengendur. “Kemarilah lagi, Angga. Aku dingin.” Tangannya terjulur menggapai lelakinya, meminta pelukan lagi. “Tidak, Ells … aku hanya akan mematikan pelita.” Fajar telah datang. Matahari mulai menggeliat. “Apa ini sudah pagi, Angga?” Dia merengek, entah untuk apa. “Terlalu gelap. Aku tak suka.” “Sebentar lagi matahari datang, Sayang.” Airlangga hanya menggeleng saja untuk keanehan Ells. Tak suka terang tapi tak mau gelap. Menggerut
“LAGI, Ells?” tanya Airlangga ketika Ells sudah kembali dari tamasyanya. “Cukup untuk sekarang,” ujarnya sambil bergelung. Mengandung membuat gairahnya semakin menggila. “Baiklah...” Airlangga bergerak keluar sambil mengecup lembut bibir Ells. “Heyy… bagaimana denganmu, Angga?” Spontan Ells bergerak duduk. “Semua untukmu. Aku baik-baik saja. Aku tak mau kamu terlalu lelah.” Dia mengecup dahi Ells. “Satu kali lagi,” Ells melingkarkan lengannya di leher Airlangga, “kita melayang bersama.” Tersenyum lembut, Airlangga membalas, “Tawaran yang sulit untuk ditolak.” Dia mendorong lembut bahu Ells, dan langsung kembali mendatanginya. Hari baru datang sebagai pagi. Keduanya menikmati hari bersama alam. Berdua mendaki, melayang, tenggelam. Sungguh sebuah kebersamaan yang indah. *** Perjalanan itu sudah tuntas. Menyisakan rasa yang makin terikat kuat. Meninggalkan jejak-jejak hasrat di ruang kecil itu. Ada banyak cerita tertinggal di sana bersa
KEDUANYA masih terdiam. Mencari jalan terbaik du antara kebuntuan pikiran dan kecemasan hati. Semua memang bermula dari kesalahan, lalu bagaimana mereka memperbaiki kesalahan ini tanpa membuat kesalahan lain? Mereka berusaha mengembalikan hubungan ini dalam jalur yang benar. Namun awal yang buruk membuat jalan tersumbat terhalang puing-puing kesalahan. Namun kenapa awal yang buruk bisa menjadi sedemikian indah? Jarak mereka memang tidak berjeda, erat melekat seperti laut dan pantai. Tapi hubungan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan hati saja. Ada satu hal mendasar yang menjadi penghalang. Status mereka sebagai inlanders dan anak pejabat Belanda. “Tidak mungkin kita langsung datang berdua menghadap Papa.” Akhirnya Ells bersuara, menyingkap kabut kegalauan. “Tentu saja. Papamu tidak akan menerima penjelasan apa pun darimu, apalagi dariku. Jika kita langsung bertemu ayahmu artinya aku menyerahkan leher untuk disembelih di depan matamu.” Ells men
LANGIT segelap malam. Bintang utara berkedip lemah untuk tetap setia menunjukkan arah bagi makhluk tersesat. Bulan menjelang purnama terhalang tebalnya awan. Rinai hujan membentuk tirai alam yang indah. Angin membawa dingin. Keindahan yang terhalang kesuraman malam. Airlangga berusaha keras menekan perasaannya, hanya untuk sekadar menyisakan sedikit ruang di hatinya untuk tersenyum pada wanitanya. “Bercintalah denganku, Angga,” pinta Ells di dada Airlangga. Aku selalu bercinta denganmu, Daniella. Sekasar apa pun itu, aku selalu bercinta. Itu hanya aku kadang tak tahu cara lain memberitahukanmu besarnya kasihku. Aku selalu bercinta denganmu. Hanya denganmu. “Ells … aku mencintaimu…” Dengan cinta yang cukup untuk menenggelamkanku. Kembali, sesak itu memenuhi rongga dadanya. Apa pun yang dia lakukan, sesak itu tak berkurang, apalagi hilang. Tak menyisakan ruang sedikit pun untuk rasa lain, kecuali cinta. Cintanya pada Ells. Malam ini, m
“SELAMAT pagi, Ells,” sapanya ketika akhirnya Ells menggeliat. Dia memang menunggu Ells bangun, tapi itu berarti waktunya semakin dekat. Matahari tak bisa di tahan. Kelelawar sudah bersembunyi, berganti kicau burung menyambut hari. Hari memang masih sangat pagi, sisa malam masih sangat terasa. Dingin yang mengundang orang untuk kembali bergelung dan bergumul dengan kekasih. “Selamat pagi, Angga.” Mengarahkan wajahnya untuk kecupan selamat pagi dari Airlangga, yang disambut dengan sukacita. Dia mengecupi wajah gadisnya dengan intensitas yang berbeda dan berakhir di kecupan selembut bulu di puncak kepala. Kenapa semua hal kurasakan sebagai yang terakhir? Usai mengecup, Airlangga menatap lembut mata perempuannya. Begitu lembut sampai terasa rapuh. Apa yang tersirat melalui kecupan dan tatapan tertangkap cepat oleh Ells. “Angga,” merengkuh leher, memeluk Airlangga, “aku akan kembali.” Airlangga berusaha keras memasukkan kalimat itu ke alam bawah sadarn
“KAU mau kita turun sekarang?” Suaranya semakin pelan. “Lepas sedikit tengah hari kita sudah ada di tepi hutan. Rumahmu tak jauh dari sana.” Mengucapkan itu seperti mengucapkan kata perpisahan. “Apa sedekat itu?” “Ya.” “Aku senang, Angga. Kita tidak terpisah jauh. Nanti malam, kau tunggulah aku. Aku akan melihatmu melalui jendela kamarku.” “Tentu. Aku akan selalu melihat ke arah rumahmu.” “Kalau kita berjalan lurus apa akan lebih cepat?” “Tidak. Medannya lebih sulit, apalagi untuk wanita hamil. Kita akan sedikit memutar.” “Baiklah. Tak apa. Yang penting aku bisa melihat dari jendela kamar.” “Tentu.” “Apa rumah ini tegak lurus dari jendela kamarku?” Angga sedikit mengingat. “Tidak. Rumah ini sedikit ke arah tenggara. Menolehlah sedikit ke kanan.” “Baiklah.” Ells tersenyum. Airlangga pun. Tapi senyum itu malah membuat Ells runtuh dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan lelakinya. “Aku tidak mau pulang, Angga. Aku di sin
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t